Ada juga seorang dosen yang bertanya dan kontra dengan beberapa pernyataan2ku. Seperti tentang pertambahan ratusan bahkan mungkin ribuan mobil di Jakarta, tetapi panjang dan lebar jalan sepersekian persen saja pertambahannya.
Kujawab, mungkin kuliah pagi itu hanya sekedar menyinggung tentang itu, tetapi jika membaca full tentang pemikiranku, mungkin akan banyak diskusi2 selanjutnya.
Tentang perbandingan pertambahakn kendaraan bermotor dengan pertambahan lebar dan panjang jalan ini, sudah sering aku tuliskan beberakali di beberapa artikel2ku tentang Jakarta. Jika pertambahan kendaraan bermotor tidak ditutup, atau sedikit dikecilkan, tidak mungkin Jakarta akan berhenti macet!
Karena bisa dibayangkan, jika dalam 1 tahun ribuan kendaraan bermotor masuk ke Jakarta, sedangkan dalam 1 tahun, sebenarnya berapa luas jalanan Jakarta yang bertambah, tidak mungkin bisa berkolaborasi! Memang membangun jalan itu hanya butuh 'sim salabim?'
Ini ada diantaranya dalam tulisanku Antara Kebutuhan dan Keinginan, Antara Kenyataaan dan Mimpi [Kaum Hedonis] atau yang ini Bagaimana dengan  Penambahan Panjang Jalan untuk 'Konsep Gebrakan Transportasi di Jakarta?'. Bisa juga lebih expert, untuk membicarakan selanjutnya Jalan Layang Casablanca [Akan] Hanya Memindahkan Kemacetan ..... dan 'Fly-Over Pangeran Antasari'? Keren ga' sih?
Beberapa mahasiswa pun bertanya, tentang muka air tanah, atau tentang sungai2, yang kukatakan sejak jaman Belanda, sungai Ciliwung atau 13 sungai2yang mengaliri Jakarta itu belum pernah dikeruk, atau tentang "tenggelamnya Jakarta", karena sungai2 Jakarta yang rusak, mangrove yang amburadul, serta penyerapan yang minim, membuat Jakarka benar2 tenggelam.
 Aku juga banyak menjelaskan tentang turunnya permukaan tanah Jakarta akibat beban yang terlalu berat! Tentang Adakah yang Peduli, Jika Penurunan Muka Tanah Jakarta Setinggi 6,6 Meter Tahun 2030?,atau tentang Geger Kalijodo? Adalah untuk Penyelamatan Muka Tanah Jakarta, bahkan tentang Antara Bangunan Tanpa Ijin dengan Banjir yang Meluas di Jakarta.
Pada akhirnya, Bp Agung dari Smart City Jakarta, yang ternyata mengikuti kuliah pagi ku tentang Jakarta sejak awal, sudah sempat membaca beberapa artielku di kedua 2 buku ini. Sehingga, beliau sempat kontra juga tentang pernyataanku tentang "Keangkuhan Taman Monas", yang dipagari.
Hihihi.
Aku tidak menyalahkan pemprov DKI, ketika Taman Monas dipagari. Aku sangat mengerti itu. Bp Agung pun berkata, mengapa Pemprov memagari Taman Monas, karena banyak PKL yng masuk, dan berdagang disana, lalu masyarakat kota membuang sampah sembarang dan sebagainya dan sebagainya.