Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

'Nishi Funabashi', Kota Kecil Tempat Hatiku Berlabuh

10 Agustus 2017   11:02 Diperbarui: 11 Agustus 2017   21:25 1694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By Christie Damayanti


Nishi Funabashi.

Sebuah 'kota kecamatan' di distrik Chiba, kota pendukung Tokyo sebagai ibukota Jepang, merupakan tempat hatiku berlabuh .....

Mengapa?

Ya, karena anakku, Michelle, malaikat kecilku, pelabuhan hatiku, sekarang bertempat tinggal. Ketika Tuhan memberikan jawaban atas permintaan Michelle untuk bersekolah dan tinggal di Jepang datang, aku sudah bersiap untuk 'melepas' dia, sejak April tahun 2017 ini.

Michelle, anakku yang kecil memang unik dan seorang anak ajaib. Itu pun kata2 dokter2nya sejak kecil. Karena Michelle sudah mengalami permasalahan dalam hidupnya sejak di dalam kandungan. Dengan aku hamil bersama tumor yang terus berkembang menjadi kanker, mendesak Michelle dan selalu kesakitan.

Sampai pada akhirnya, Michelle dilahirkan dengan paksa berumur 7 bulan, mengalami 'kuning', terlilit tali pusat, sampai ketika dokter mengangkat dia dari rahimku yang dibedah secara Caesar, Michelle pun tidak menangis, dengan tubuh biru lebam. Dan ketika itu, aku menjerit dan menangis, seakan hidupku ikut pergi bersamanya .....

Lalu, bagai sehelai rambut dibelah 1000, tiba2 Michelle menangis dan berteriak! Tubuhnya meronta2 dan aku lega, sebelum akhirnya aku mati suri dengan perdarahan hebat, membanjiri meja operasi yang mendukung tubuhku!

Aku tidak peduli, jika aku mati! Yang aku pedulikan adalah, anakku selemat! Puji Tuhan! ......

Lalu, di umur 4 bulan Michelle hidup dari 2 bulan harus berada di ruang kecil inkubator, dan sering kejang2 (step), dokter menemukan bahwa pendengaran Michelle 'sedikit' tergnggu. Untukku, bukan sedikit, tetapi sudah sampai aku membayangkan akan mempunyai seorang anak tuna rungu!!!

4  Tahun pertama dalam hiddup Michelle, dia tidak bisa mendengar. Jika manusia biasa taraf pendengarannya sampai 20dB (disibel), dan bisa mendengar bisik2, tetapi Michelle hanya bisa mendengar 95dB, dimana hanya guntur yang menggelegar atau kita berteriak di kupingnya, dia baru mendengar. Dan jika taraf pendengarannya 100dB, kata dokter dia benar2 tuli!

4 Tahun aku bergumul untuk menyembuhkannya. Setiap minggu di RSCM, di kliknik Tumbuh Kembang, aku datangi untuk terapi. Di rumah dia harus dibekal headphone dengan suara2 lembut, lagu2 dengan walkman. Awalnya, dia sangat excited, tetapi lama kelamaan, dia bosan dan selalu membating walkmannya.

Aku memberikan terapi tersendiri di rumah, karena aku berhenti bekerja untuk Michelle. Aku ajari dia untuk dia bisa 'membaca' bibirku berbicara. Mulai dari belajar membaca huruf2 A, B, C , D dan sebagainya sampai aku tahu, bahwa dia bisa meresap terapiku, ketika 4 tahun kemudia, Tuhan memberikan dia sembuh .....

Dan akhirnya, dokter mengatakan bahwa nantinya Michelle akan bermasalah dengan syarafnya, karena obat2 syaraf yang diminumnya. Dengan sering step, 2 tahun Michelle harus minum luminal, obat syaraf yang akan memberikan effek dikemudian hari.

Tetapi ...... Puji Tuhan!

Michelle bertumbuh menjadi seorang anak yang sangat cantik, kecilnya sangat excited dan terus bergerak,mendekati hiperaktif dan ..... sangat pintar! Ternyata obat2an nya memang 'mengganggu' syarafnya, tetapi di sisi yang positif!

Tanpa belajar pun, Michelle selalu juara. Jika tidak juara pun, nilai2nya luar biasa! Tanpa belajar, dia mampu menyerap apa yang dia inginkan, dan memperlajari, apa yang seharusnya orang lain harus belajar keras! Salah satunya dia memang bermimpi untuk sekolah dan tinggal di Jepang sejak kecil .....

Berawal dari dia suka kucing Doraemon, lalu berlatih menggambar Manga, sampai tergila2 oleh boy-band Jepang (dan Korea), mimpi Michelle terus terajut, sampai sesaat sebelum dia terbang ke Jepang .....

Sejak SD, aku tahu bahwa dia ingin belajar Bahasa Jepang dengan huruf2 cacingnya, tetapi dia tidak mau untuk les, apalagi les privat. Malas, katanya. Jadi, dia benar2 belajar sendiri sampai aku sadar, ketika SMA aku belikan tablet dan dia benar2 hidup dengan tabletnya.

Dan waktu aku mengamati tabletnya, ternyata dia membaca novel berbahasa Inggris dan Jepang, di sebuah situs E-Book!

Astaga! 

Untuk baca novel berbahasa Inggris saja, aku sudah kepayahan, bagaimana Michlle mampu melakukannya? Apalagi berbahasa Jepang, dengan huruf2 Kanji dan Hiragana-Katakana nya!

Tetapi yang jelas, dia sudah tamat les Bahasa Inggris di LIA di taraf Advance, sementara teman2 se-les nya, adalah anak2 kuliah Bahasa dan Sastra Inggris atau pegawai2 yang dikursuskan oleh perusahaannya. Dan dia lulus terbaik, dari semuanya, tahun 2016 lalu!

Michelle memang pintar sekali, dan Tuhan Yesus memang sangat luar biasa!

Sampai pada akhirnya, dia minta dileskan Bahasa Jepang secara private di rumah, karena harus menghadapi ujian nasional N5 (seperti Toofle), untuk mulai merajut masa depannya di Jepang. Dan ketika dia sudah terbang, dan aku dipanggil sekolahnya untuk menerima tanda kelulusannya di SMAK Penabur 7, aku benar2 terbelalak dengan nilai2nya, dimana waktu ujian SMA dia sama sekali tidak belajar .....

Dengan rata2 kelulusannya 89  dari nilai yang diperebutkan 100, Rencana Tuhan untuk Michelle memang luaaaaarrrrr biasaaaaaa ......

***

Tanggal 25 April 2017, separuh hatiku tercerabut ketika aku melihat Michelle berjalan sendirian, membawa kopernya, masuk, dan akhirnya terbang ke Jepang, jam 23.15. Malam itu, tangis ku pecah. Aku memantau pesawatnya lewat Google, detik demi detik pesawatnya bergerak.

Hatiku sedih luar biasa karena aku hidup dengannya, sehari2. Dia tidur denganku 1 ranjang dan semuanya kita lakukan berdua. Sementara Dennis kakaknya, memang tinggal di apartemen/dormitory/asrama universitas nya.

Jadi, malam itu setelah Michelle terbang, hatiku sampai seakar2nya, seakan ikut terbang bersamanya ....

Esok paginya, setelah 7 jam perjalanannya ke Haneda, Michelle dijemput yang mengurusnya dan temannya dan diajari untuk hidup di apartemen serta kepengurusannya dengan dokumen2nya. Singat kata, Michelle tinggal di sebuah kota kecil, di Chiba, untuk hidup prihatin dengan apartemen kecilnya, dengan seorang teman perempuannya juga dari Jakarta.

Nishi Funabashi, itulah kota kecil itu. Dimana dengan lokasi ini, 20 menit naik kereta ke Tokyo (sekolahnya di distrik Ryogoku Tokyo, sebuah distrik yang terkenal dengan sumo dan tinju 'ala' Jepang nya), biaya sewa apartemennya tidak terlalu mahal, sekitar 32.000 Yen/bulan (anggap 1 Yen = Rp.120), dengan 2 orang (jadi total 64.000 Yen/bulan. Jika di Tokyo, apalagi dekat denan sekolahnya, dia berada di level 100.000 Yen/bulan, dengan kamar2 yang lebih sempit!

Station Nishi Funabashi
Station Nishi Funabashi
Nishi Funabashi, sebuah tempat dimana Michelle akan merajut mimpi2nya mulai sejak awal di Jepang. Dia harus mandiri, sementara dia sejak dulu tidak pernah mandiri karena kemanjaan yang aku berikan padanya, tetapi sekarang dia benar2 harus hidup mandiri.

Memasak sendiri, jika dia tidak mau kehabisan uang ditengah2 bulan. Dia harus mencucui baju sendiri, walau ada laundry koin di bawah apartemennya. Dan dia harus mengejar kereta atau bus untuk ke sekolah tau ke tempat2 yang dia butuhkan untk kegiatannya, jika tidak mau terlambat kesana.

Sementara di Jakarta, dia hanya tinggal duduk dan memonopoli tabletnya dengan "Jepang"nya, karena supir yang kutugaskan untuk kemanapun yang dia butuhkan .....

Kemajaannya selama ini di Jakarta, memang membuat aku kangen dan sangat rindu, serta membuat aku kawatir apakah dia mampu bertahan hidup disana? Apakah dia mampu memasak? Mampu cuci baju sendiri atau mampu membaca jadwal kereta yang selalu on time, sementara bahasanya semua 'bahasa/tulisan cacing?'

Tetapi, di Nishis Funabashi ini, kemanjaan Michelle mulai berangsur pudar. Dan di Nishi Funabashi ini, kemandirian Michelle terus diasah. Dengan bantuan Hendra, yang mengurus anak2 dari Jakarta bersekolah di Jepang, dan kakak2 kelasnya serta sahabat2 berunya, di Nishi Funabashi ini, Michelle benar2 akan mampu bertahan sampai dia menjangkau semua mimpi2nya, yang sebenarnya aku tidak tahu, apa yang dia mau ......

Doaku untuknya adalah yang terbaik! Apapun yang dia inginkan, Tuhan akan selalu melibatkan Rencana NYA. Dan aku percaya itu .....

Untuk malaikat kecilku di Nishi Funabashi, doa mama terus besertamu, dan semua yang terbaik untukmu, sayang .....

Aku, Michelle, dan Cintya, roommate Micheele di depan apartemennya .....
Aku, Michelle, dan Cintya, roommate Micheele di depan apartemennya .....

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun