By Christie Damayanti
Fenomena urbanisme Jakarta sudah terlanjur terus ada. Arus urbanisasi dari luar kota ke Jakarta semakin melimpah, sehingga menjadikan Jakarta semakin padat.
Adakah yang benar-benar menghitung, kapan Jakarta akan penuh sesak dengan manusia serta tetek-bengek kebutuhannya, yang notebene belum tentu bisa digunakan oleh perkotaan?
Fenomena urbanisme ini membuat Jakarta sangat padat, dan masalah pemukiman dan ‘turunannya’ (termasuk lapangan pekerjaan, kejahatan serta kebutuhan sandang pangan dan papan), menempati masalah terbesar saat ini.
Bagaimana pemerintah kota mengatasinya?
Tentu karena Jakarta tanahnya pun semakin padat, tidak mungkin membuat ‘landed-house’. Landed-house hanya bisa dibangun di pinggiran kota, dan ini memicu masalah baru, tentang KEMACETAN dan PEMEKARAN KOTA JAKARTA ….. dan pemekaran kota tentu akan menjadi sebuah ‘debat panjang’. Bagaimana konsep pemekaran, bagaimana kota-kota penunjang ini bisa bersinergi dengan kota induk, dan sebagainya.
Alternatif lain adalah membangun apartemen, rumah susun dari kelas sangat sederhana (rusunawa) sampai sangat mewah dengan harga miliaran.
Mari kita bicara dulu tentang sebuah fenomena baru, seiring dengan kaum urban :
Apartemen kecil sekarang semakin menjadi fenomena untuk warga Jakarta. Awalnya ketika akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, di Jakarta diperkenalan kehidupan apartemen oleh pengembang besar. Di mana ketika itu aku masih sebagai junior arsitek, membangun beberapa apartemen mewah di Jakarta.
Waktu itu, apartemen baru diperkenalkan, dan masih sebagai hunian mahal dan mewah dengan luas perunitnya antara 60 meter persegi sampai dengan ratusan meter persegi di Penthouse, dengan spesifikasi yang tinggi.
Sebagai arsitek muda, aku sangat antusias untuk berusaha mendesain yang terbaik, secara waktu itu, tempat aku bekerja, hanya di sanalah baru ada pengembang dengan konsep apartemen mewah dengan konsultan asing, dan aku sangat menikmati dalam perencanaan serta diskusi-diskusi penting demi kelancaran proyek ini.
Dan ternyata fenomena apartemen di Jakarta, bertumbuh sebagai dasar hidup kaum urban Jakarta. Dengan bertambahnya warga Jakarta karena arus urbanisasi, ternyata konsep apartemen dengan unit besar untuk keluarga, tidak selamanya diminati, secara harga hunian besar semakin lama semakin mahal. Sehingga, banyak warga Jakarta memilih membeli rumah di pinggiran Jakarta, juga ternyata banyak pengembang yang menggambar-gemborkan bahwa tinggal di pinggiran Jakarta lebih baik dibandingkan tinggal di ‘downtown’ kota Jakarta.
Tetapi dengan adanya konsep ‘Back to The City’ (konsep ini akan aku bahas segera), yang digagas oleh sebuah pengembang, ternyata kaum urban lebih memilih membeli apartemen kecil, ditambah para pengembang juga merubah konsep sebelumnya. Dan pengembang pun membangun banyak apartemen kelas menengah ke bawah dengan unit-unit yang semakin kecil.
Seperti beberapa apartemen kelas menengah ke bawah, per-unitnya hanya seperti type RSS yaitu type 21 m2, 36 m2 dan 48 m2. Bahkan ada yang bertipe belasan m2 saja.
Untukku, konsep ini sangat relevan bagi warga Jakarta. Tetapi, dengan adanya konsep unit sebesar type RSS, aku sangat prihatin. Jika ada di atas tanah, maksudnya merupakan bangunan rumah, mungkin masih terasa manusiawinya.
Bangunan rumah type 21 m2, 36 m2 dan 48 m2 teryata cukup manusiawi, terlebih dengan adanya kelebihan di pekarangannya. Tetapi jika hunian bertipe di atas ada di sebuah bangunan tinggi seperti apartemen atau rusun, aku merasa sangat tidak manusia.
Mari kita amati.
Rata-rata keluarga Indonesia dengan konsep KB berhasil, ada 4 orang / keluarga, 1 anak laki2 dan 1 anak perempuan. Dengan type 21 m2, 36 m2 dan 48 m2 saja, tidak dimungkinkan untuk 3 kamar. Sebuah kamar untuk orang tuanya, sebuah kamar untuk anak laki-laki dan sebuah kamar untuk anak perempuan. Tetapi pun, bisa diperoleh dengan menata dan mendesain dengan fleksible.
Tetapi jika 1 keluarga lebih dari 5 orang, akan sangat tidak manusiawi lagi, sehingga jika kita ke sebuah rusunami atau apartemen dari pengembang besar tetapi bertipe seperti di atas, kesan pertama adalah ‘kumuh’.
Dengan kepadatan warga di lingkungan rusun atau apartemen kecil tadi, ditambah banyaknya fasilitas berdagang ( tetapi TIDAK DENGAN fasilitas umum seperti RTH serta ruang terbukan untuk bermain anak ), menyebabkan kekumuhan sebuah apartemen dan rusun menjadi sebuah daerah ’slum’ baru dalam dunia modern.
Slum-slum di rusun apartemen bertipe unit kecil, ternyata juga tidak memberikan pencerahan bagi warga Jakarta untuk berusaha membuat hunian mereka lebih baik lagi. Justru semakin berkembanglah kekumuhannya, dengan ‘menggandeng’ kegiatan-kegiatan yang seharusnya tidak ada di sebuah hunian keluarga.
Sebagai arsitek dan urban planner, secara pribadi aku sering men-survey banyak rusun dan apartemen berunit type kecil. Tempat-tempat itu terasa tidak terlalu nyaman bagi kehidupan keluarga. Bukan hanya fisiknya saja, tempat itu sangat ’suram dan mengerikan’ ketika kita berada disana tanpa mengenal daerah dan warga disana.
Suram maksudnya, benar-benar suram secara secara harafiah. Sepertinya, si pengembang dan manajemen sudah ‘lepas tangan’ tanpa aturan dan tanpa maintenance secara fisik sama sekali. Bangunan itu tidak pernah di pelihara (?), cat sudah mengelupas, banyak pintu tidak pernah di servis mejadi selalu berbunyi, lampu suram yang sebenarnya ditanggung oleh manajemen, serta lingkungannya yang tidak nyaman, walau hanya untuk melintas saja.
Belum lagi ketika aku mewawancarai beberapa orang yang tinggal di daerah itu, ternyata banyak warga di lokasi ini sangat rentan dengan prostitusi atau pun perjudian. Tidak menyolok tetapi sangat intensif dan terus berjalan sejak dulu, bahkan sampai sekarang.
Jika dilihat dari lokasi dan ‘kekumuhan’nya, sangat tidak mungkin akan ada yang mempunyai mobil mewah. Tetapi kenyataannya, banyak sekali mobil mewah Eropa tahun terbaru berada di pekarangan rusun dan apartemen berunit kecil.
Bukan aku membedakan, tetapi sangat logis ketika kita melihat sebuah lokasi kumuh tetapi bisa mempunyai mobil-mobil mewah terbaru. Bukan pula berprasangka buruk, tetapi pasti banyak warga yang bertanya-tanya seperti pertanyaanku di atas.
Konsep urban yang bekerja di Jakarta, merupakan fenomena masa kini. Dengan kekerasan hidup kota metropolitan, sangat dimengerti jika masing-masing warga bekerja keras demi uang, walau tidak banyak yang bisa mencari uang dengan lebih baik, di lokasi yang seperti itu. Memang tidak bisa disama-ratakan satu dengan yang lain, dan kita tidak boleh berprasangka negatif.
Konsep rusun dengan hunian kecil pun, dimanfaatkan oleh sekelompok warga yang mempunyai uang berlebih untuk membeli beberapa unit, bahkan membeli unit di 1 lantai. Untuk apa? Bisa untuk investasi, untuk disewakan atau dijual lagi beberapa saat kemudian sebagai ‘2nd layer’ dan harganya pasti menanjak dengan drastis.
Ada pula warga membeli unit banyak untuk disewakan khusus mahasiswa jika rusun atau apartemen itu berada di daerah kampus. Dan ternyata, cukup menyenangkan jika teman satu kampus, bahkan satu kelas, tinggal di tempat / kost yang sama.
Tetapi ternyata ada juga warga masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Banyak warga masyarakat yang ternyata ‘penduduk gelap’.
Maksudnya, ketika survey-ku menanyakan tentang bukti diri berupa KTP ( jika aku survey untuk keperluan sesuatu, aku selalu menanyakan jati diri untuk terhindar dari ‘fitnah’, secara dari dulu aku adalah seorang perempuan yang kata banyak orang, lebih mirip menjadi seorang perempuan kuliahan dan bisa ter’fitnah’ jika aku berada dalam sebuah lingkungan yang tidak dikenal ) untuk bisa share.
Jika aku tidak menanyakan KTP, mereka atau orang tersebut akan gampang mengatakan apapun tanpa pertanggungjawaban, bukan? Dan itu yang menghasilkan PENDUDUK GELAP …..
‘Penduduk gelap’ tersebut maksudku adalah warga masyarakat yang hasil arus urbanisasi dan tidak mempunyai KTP Jakarta, atau juga orang-orang yang tidak mau disebutkan namanya tetapi mau bercerita, karena banyak hal.
‘Penduduk gelap’ itu juga ternyata hanya sementara di lokasi ini, karena mempunyai unit untuk ’sharing’, maksudnya antara pria dan wanita. Maksudnya juga, mereka berbagi unit tanpa ikatan perkawinan.
Begitu banyak yang aku dapatkan di sebuah lokasi rusun atau apartemen-apartemen berunit tipe kecil. Hampir semua yang aku datangi, walau tidak semuanya terkesan ’suram dan seram’. Dan fenomena ini, terus melaju, seiring dengan kehidupan dan lingkungan modern bagi kaum urban kota metropolitan.
***
Sebelumnya :
Apa yang Tersisa dari ‘Landmark Jakarta?’
Mengeksplor Jakarta lewat ‘Misteri-Misteri’ di Dalamnya
“Pengebirian” Fasilitas Perkotaan, Menghasilkan Kota yang ‘Hilang Kendali’
Reformasi Jakarta? Mulailah dengan “Reformasi Mental Warga”
Keanekaragaman Jangan Sekali-Sekali Diseragamkan!
‘Peluang’ Jakarta Itu Ada dimana?
‘Pukulan’ bagi Pemukiman Jakarta
Reformasi ‘Identitas Kota’ untuk Jakarta
Siapa yang Memanipulasi Jakarta?
Sindrom ‘Mimpi untuk Jakarta’ : Metropolitan dan Kemewahan atau Kesejahteraan?
Jakarta yang ‘Terluka’ dan ‘Bernanah’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H