Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

“Pengebirian” Fasilitas Perkotaan, Menghasilkan Kota yang ‘Hilang Kendali’

18 Mei 2016   11:23 Diperbarui: 18 Mei 2016   11:32 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By Christie Damayanti


www.pinterest.com

Sebelumnya :

Reformasi Jakarta? Mulailah dengan “Reformasi Mental Warga”

Keanekaragaman Jangan Sekali-Sekali Diseragamkan!

‘Peluang’ Jakarta Itu Ada dimana?

‘Pukulan’ bagi Pemukiman Jakarta

Reformasi ‘Identitas Kota’ untuk Jakarta

Siapa yang Memanipulasi Jakarta?

Sindrom ‘Mimpi untuk Jakarta’ : Metropolitan dan Kemewahan atau Kesejahteraan?

Jakarta yang ‘Terluka’ dan ‘Bernanah’

***

Mengapa sekarang di kota2 besar, khususnya Jakarta, sering terjadi perkelahian pelajar? Atau perkelahian antar kelompok?

Semakin kesini, perkotaan benar2 ‘loose control’atau‘hilang kendali’. Konsep perkotaan dunia sebenaarnya sudah baku. Dengan warga kota yang semakin bertambah, sebenarnya juga konsep perkotaan harusnya tidak berubah. Sebuah kota, pasti mempunyai penduduk, dimana kehidupan warga nya ini harus senyaman mungkin. Apalagi jika kota tersebut sudah mencapai titik tingkat dunia.

Warga kota membutuhkan kenyamanan hidup supaya menghasilkan sebuah karya yang bagus untuk penghidupan. Sangat wajar, bukan?

Fasilitas2 perkotaan itu mengarahkan kepada keyamanan hidup. Ada pemukiman, fasilitas pekerjaan, perdagangan untuk kebutuhan hidup bahkan fasilitas untuk bersenang2. Yang memang notebebe disesuaikan dengan konsep zoning dan kebutuhan penduduknya di setiap kota. Itu pun sangat amat wajar.

Ketika fasilitas2 itu “dikebiri” oleh perkotaan, apa yang didapatkan oleh warga kota? Pemukiman, dari ‘landed house’ sampai apartemen mewah, dari  rumah sederhana dan rusunawa, harusnya ada di sebuah kota, karena warga kota tidak bisa diseragamkan.

Lalu kebutuhan pekerjaan, dari gedung2 perkantoran mewah di CBD, atau ruko2 di pinggiran, dari erdagangan dalam mall2 besar mewah atau too2 kecil di lingkungan, atau pun gudang2 yang mendiami perkotaan. Juga fasilitas2 umum seperti rumah sakit besar dan mewah bertaraf internasional atau klinik2 kecil dalam ruko2 legal, atapun pasar2 modern di mall besar atau pasar2 tradisional dan warung2, pun seharusnya ada di sebuah kota, yang sekali lagi, notebene disesuaikan dengan kebutuhan kota itu.

Bagaimana dengan fasilitas umum seperti taman bermain?

Fasilitas olah raga? Fasilitas pendidikan non-formal termasuk perpustakaan, atau fasilitas2 lain non-yang tidak usah banyak keluar uang?

Dimanakah fasilitas2 itu di Jakarta?

Jujur, apa yang terjadi fasilitas2 ini di Jakarta?

“Pengebirian” fasilitas2 perkotaan non-yang tidak banyak mengeluarkan uang, yang notebene merupakan kebutuhan besar bagi warga kota yang hidupnya pas-pasan, ini lah yang terjadi sekarang!

Aku ingat ketika aku masih berada di bangku SD tahun sekitar 1976-1982. Aku banyak bermain di taman2 umum. Didepan sekolah SD di Blok M, ada tamah bermain yang besar dengan fasilitas2 bermain anak2. Ada ayunan, jungkat jungkt, juga ruang terbuka yang luas untuk bermain basket dan volley ….

Ah … banyak dan menarik!

Lalu dari sekolahku berjalan ke selatan ada balai warga yang besar, indoor, yang banyak dipakai untuk berolah raga, atau berlatih cheerleader. Antara anak2 SD seperti ku dan teman, anak2 SMP bahkan kakak SMA tidak ada jarak. Kami bermain bersama. Berlatih music bersama dan tertawa bersama, walau bukan dari sekolah yang sama …..

Dan balai warga itu tersebar di beberapa titik kota, sesuai denganperencanaan (itu aku pastikan, karena dulu kami sering diundang untuk berkumpul dengan teman2 kami, ke balai warga di kecamatan lain.

Bahkan aku selalu ujian karate Inkai di Balai Warga di Pasar Minggu. Menyenangkan dengan bertemu teman2 baru di perkampungan sekitar itu.

Berlanjut ke SMP, aku dan teman2 sudah diperkenalkan dengan mall2 pertama, seperti Melawai, Ratu Plaza tau Gajah Mada Plaza. Oya ….. nama “mall” belum ada. Yang ada adala “plaza”.

Dari situ mulai “pengebirian” dengan mulai tidak dirawatnya taman2 kota atau balai warga di Jakarta. Bahkan taman2 kota justru digarap menjadi toko2 kecil tempat berdagang dan balai warga semakin tidak berfungsi, bahkan banyak taman2 kota menjadi tempat2 tidur para gelandangan atau untuk beristirahat mereka …..

Semakin kini, jaman SMA aku seakan “dibius” dengan kenyamanan dan kemodernan Jakarta. Aku merasa tidak diarahkan sebagai remaja Indonesia, yang tumbuh dan besar dengan konsep2 perkotaan awal.

Dan semakin dewasa ketika aku kuliah di Jakarta, aku mulai sadar tentang sebuah “generasi yang hilang” …..

Ya ….. pertumbuhan ku dari SD sampai kuliah, mengalami beberapa fase dan tahap. Ketika SMP dan SMA (6 tahun), cukup membuat aku dan teman2ku “melupakan” sesuatu tentang identitas remaja Indonesia. Beruntung, aku kuliah di jurusan arsitektur dan aku mulai mengerti tentang sebuah konsep perkotaan, yang akhirnya membawaku menjadi seperti sekarang ini.

Ini aku. Tetapi bagaimana dengan teman2ku yang lain? Sadarkah mereka tentang “identitas remaja Indonesia?” Berlanjut, apakah mereka sadar tentang “identitas manuia dewasa Indonesia?”

Lalu, bagaimana dengan generasi2 dibawahku? Dari awal tahun 1990-an sampai sekarang tahun millennium 2016? Berapa generasi yang ada setelah kesadaraku?

Tidak salah kan, jika aku berkata tentang beberapa generasi Indonesia yang hilang???

Ok, lanjut …..

Pertanyaan awal artikel ini adalah :

Mengapa sekarang di kota2 besar, khususnya Jakarta, sering terjadi perkelahian pelajar? Atau perkelahian antar kelompok?

Ditambah lagi, mereka sibuk dengagn gadhet dan dunia maya nya, yang merangsang berbuat yang tidak2 ….

Sudah jelas, kan?

Dengan “pengebirian” pemerintah kota yang tidak mem-fasilitasi warga kota dengan fasilitas2 non-yang tidak banyak keluar uang, SANGAT BERDAMPAK KEPADA REMAJA DAM WARGA KOTA YANG TIDAK BISA MENYALURKAN AKTIFITASNYA LEWAT KEGIATAN2 POSITIF.

Tidak ada taman2 bermain. Tidak ada fasilitas2 olah raga yang murah. Tidak adanya balai warga yang gratis untuk dipakai. Yang ada pemerintah membangun fasilitas2 berbayar, bahkan taman2 pun semakin rusak tak terpelihara.

Lapangan golf untuk latihan yang besar, yang tempat sebesar itu lebih baik untuk fasilitas ruang terbuka hijau dan lapangan olah raga gratis. Karena warga Jakarta adalah mayoritas merupakan warga menengan kebawah, bukan?

Anak2 di rumah2 kumuh, hanya bisa menyewa warnet yang hanya butuh 2000 perak per-jam untuk merselancar di dunia maya, tanpa pengaman, sehingga mereka gemar dengan kekerasa, dan kehidupan2 yang belum saatnya mereka nikmati.

MEREKA TIDAK BISA MENYALURKAN TENAGA MEREKA UNTUK HAL2 YANG PPOSITIF,sehingga hasilnya yang ada sekarang ini. Pencabulan anak2 SD oleh kakak2 merka yang SMP dan SMA. Bahkan orang2 dewasa yang hidupnya pas2an pun, hanya bisa menyewa warnet untuk hiburannya …..

Tragis ….. ironis ….. dan sangat miris …..

Era pak Ahok dan yang sebelumnya, pak Jokowi, memang muali terasa ada sebuah titik terang, dan semoga semuanya menjadi jernih. ‘Loose control’ atau ‘hilang kendali’ itu diharapkan semakin menghilang. Dan kota Jakarta semakin terkendali …..

Berharap untuk tidak ada “pengebirian2” fasilitas2 perkotaan, supaya kelak kota Jakarta justru bisa dan selalu memunculkan generasi2 muda berprestasi, yang mungkin awalnya hanya sebagai pemain basket atau volley, di lapangan olah raga gratis di taman2 perkampungan Jakarta ……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun