Semarang yang juga kota pesisir dan kota pelabuhan, sama dengan Amsterdam. Belanda membangun kanal2 untuk transportasi selain jalan darat. Konsepnya persis dengan Amsterdam atau beberapa kota di Belanda. Sehingga kanal2 di Semarang berkonotasi sebagai kanal2 di Negeri Belanda.
Aku mengamati lingkungan sekitar Kota Tua Semarang ini. Pikiranku melayang2, membayagkan jaman keemasan daerah tersebut. Sebuah kota di Jawa Tegah, dalam penjajahan Belanda, bangunan2 khas Belanda dengan penduduk sebagian Belanda, sebagian Peranakan China dan sebagian pribumi (Jawa).
Aku juga membayangkan bangunan2 khas Belanda di Negeri Belanda nya sendiri. Memang idak seratus persen sama konsepnya, tetapi disesuaikan dengan keinginan mereka. Dan terbangunlah “Little Netherland” dengan campuran dengan arsitektur local serta peranakan China. Seperti foto bangunan di bawah ini :
Railing di balkon lantai 2 rumah2 tersebut, merupakan desain khas Asia dengan kanopi2nya, sebagai konsep benua Asia yang mempunyai curah hujan yang tinggi (kanopi minimal 100 cm untuk menahan air hujan dan angin).
Bangunan2 tua yang sangat cantik! Tetapi tidak di mata warga indonesia, khususnya warga Semarang. Mengapa? Karena bangunan ini ‘sepepian’ di tengah kemodrenan Semarang. Warga Indonesia lebih memilih desain2 modren untuk kotaya, dan menghancur-leburkan Kota Tuanya.
Padahal, konsep Kota Tua merupakan cikal bakal kota Modren. Jika kota modern tahun 2015 sekarang ini, akan menjadi Kota Tua 2015, di tahun 2115 dan tahun2 setelahnya, bukan?
Di Semarang dan kota2 di Indonesia, bukan hanya dibangun gedung2 ala Belanda saja, tetapi ‘merangkul’ konsep2 dari arsitektur local Indonesia, Asia bangkan China Peranakan. Hasilnya adalah bangunan2 tua nan-cantik, salah satunya yang ada di Semarang ini.