4. Mengelola manajemen TPU
Jika semuanya sudah bisa dilakukan, tinggal memanage TPU. Aku tidak tahu tentang manajemen TPU. Tetapi aku hanya ingin mengatakan bahwa TPU ini adalah tempat semua warga Jakarta. Di negara lain, banyak TPU justru sebagai tempat berjalan-jalan. Untuk sekedar menhirup udara segar.
Sebuah TPU adalah tempat bagi warga yang sudah dipanggil Tuhan. Banyak orang kesana untuk berdoa, menyambangi atau sekedar ikut berbagi disana. Seharusnya, TPU bebas dari polusi suara atau polusi pemandangan. Maksudnya, untuk polusi suara, janganlah terlalu berisik, tanpa debu dan jangan TPUÂ sebagai 'jalan potong' atau 'jalan tikus' seperti di TPU Menteng Pulo, tempat papaku berada.
Selain itu, janganlah para gembala melepaskan kambing-kambing dan domba-dombanya untuk berkeliaran disana, tanpa pengawasan. Bahkan, banyak kambing atau domba-domba 'tinggal' di beberapa makam beserta keluarganya! Kelihatannya tidak etis ketika sekelompok kambing atau domba tidur dan beristirahat di sebuah makam. Harusnya, kambing dan domba tidak boleh masuk ke makam ...
Sekelompok kambing yang selalu berbarengan ( mungkin sebuah keluarga ) berjalan, makan rumput dan tanaman serta 'tinggal' di pemakaman TPU Menteng Pulo ini .....
Kambing yang seenaknya saja bahkan naik ke sebuah nisan hanya untuk makan daun-daunan yang dia inginkan. Siapa yang punya? Dimana gembalanya?
Ini sekelumit pemikiranku tentang TPU yang bisa dikelola sebagai RTH menuju 30% RTH Jakarta. Kreatifitas pemda benar-benar dibutuhkan, menyusul rencana RTH 30%, dan terkendala oleh dana, waktu serta SDM dan orang-orang yang mengelolanya.