Apakah Kemdikbud sudah punya bukti ada relasi positif bahwa pelatihan selama ini pasti meningkatkan kompetensi guru dan dibuktikan mampu meningkatkan kompetensi siswa. Saran, supaya jelas, Kemdikbud buatlah  survey tingkat kepuasan siswa dan orangtua terhadap kualitas  ajar guru sekolah formal dan bandingkan dengan peningkatan kualitas pembelajaran siswa homeschooling di masa pandemi.
Ibu, Sekolah Pertamaku Â
Jangan salah sangka, Â kita masih menghargai profesi guru dan sangat menghargai guru yang profesional, yang berkompeten. Â
Namun para guru mesti menyadari jaman berubah. Semboyan Pendidikan Nasional Tutwuri Handayani dari Menteri Pendidikan Pertama, Ki Hajar Dewantoro  menegaskan posisi  Guru ada di belakang. Guru adalah fasilitator pelajaran.  Sedangkan makna Ing Madya Mangun Karso menyiratkan guru harus  berada di tengah-tengah siswanya, merasakan kesulitan siswa.  Ing Ngarso Sung Tulodo menasehatkan jika di depan guru harus menjadi teladan; Guru tidak lagi menjadi narasumber tunggal berdiri di depan kelas;  porsi itu sudah digantikan internet. Sekarang, sadarilah bahwa posisi Guru bukanlah menjadi  pendidik utama di masa Revolusi Industri 4.0 saat ini. Â
Lantas siapa yang menjadi Pendidik Utama anak-anak Indonesia? Kembali ke argumentasi awal. Pendidik Utama adalah orangtua. Jika ayah atau ibu  belum percaya diri untuk membimbing matematika, literasi bahasa dan sains, maka sebentar lagi ada solusi tepat dan hemat.  Saat ini, Tim Penggiat PISA  sedang merancang aplikasi khusus berfokus pembelajaran literasi dan numerasi standar PISA bagi  siswa SMP SMA. Sedangkan bagi mereka di  Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) Indonesia yang tak ada internet, bisa belajar rutin dari televisi satelite.  Tim akan melibatkan orangtua, mentor bimbel, bahkan guru sekolah formal yang lolos seleksi sebagai fasilitator tingkat kabupaten/kota.
Penutup
Andaikan Pak Presiden atau stafnya membaca tulisan ini (ssst Pak Jokowi mengaku membaca Kompasiana juga) saya berharap kita bisa berdiskusi lebih lanjut tentang teknis pelaksanaan;  mengingat sejauh ini Kemendikbud dan Kemenko PMK belum move on.  Mereka masih percaya dengan konsep usang bahwa  pembenahan pendidikan hanya melalui guru, tidak bisa langsung ke siswa dan orangtuanya.  Â
Dan supaya tidak disangka pansos dengan Presiden, haha, Â ijinkan saya bernostalgia dengan Pak Jokowi sejak tahun 2016 lalu, yakni ketika saya:
- Menjadi Finalis Hackathon (Hacker Marathon) Merdeka dari 80 tim pilihan seluruh Indonesia, Â bertempat di kompleks Istana Presiden 2016.Â
- Sebagai satu dari dua anak Indonesia yang pernah diundang CEO Microsoft Internasional Satya Nadella ke Amerika 2017.Â
- Karena saya termasuk pengurus junior di APHI PGRI, saat perayaan langsung HUT PGRI  2016-2018, kita sempat berselfie, hahaha.
Mengapa saya merepotkan diri membuat tulisan kritis dan berharap dibaca Presiden? Karena tidak semua generasi Z dan milenial  Indonesia beruntung seperti saya  dan Mas Kaesang yang berkuliah di luar negeri dan menikmati pendidikan berkualitas.  Apalagi para pakar pendidikan mengatakan bahwa Pendidikan Indonesia sudah ketinggalan 30 tahun = 360 bulan dari standar negara negara maju.Â
Jika tidak ada terobosan strategi pembelajaran, dan cuma percaya pada strategi Kemendikbud 2020 yang ngotot melatih guru-guru entah sampai kapan, maka saya katakan, Generasi Indonesia Emas 2045 cuma halusinasi.  Bonus Demografi bisa berbalik  menjadi Bencana Demografi. Nasib puluhan juta  anak Indonesia bersekolah terutama di Daerah 3T  dan belasan juta anak Indonesia yang tidak bersekolah, ada di tangan Pak Presiden. Jadi mari kita bekerja bersama-sama, bukan berdasar asumsi, apalagi halusinasi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H