Mohon tunggu...
Christie Kirana
Christie Kirana Mohon Tunggu... Lainnya - Mengucap Syukur Dalam Segala Keadaan

Kompasianer sejak tahun 2017

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pak Presiden, Jangan Habiskan Anggaran Pendidikan untuk Gaji Guru dan Dinas Pendidikan

29 November 2020   16:16 Diperbarui: 29 November 2020   16:23 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Christie Kirana

Kemaren 28 November 2020 diperingati sebagai HUT PGRI Ke-75. PGRI menggelar acara secara online dengan tema Kreativitas dan Dedikasi Guru untuk Indonesia Maju. PGRI menyadari bahwa sejak pandemi, mau tak mau tugas guru berubah. 

Guru harus kreatif melatih siswa belajar  mandiri secara offline dan online. Guru harus mampu  menjalankan kegiatan belajar mengajar KBM menggunakan teknologi bagi siswa dengan pantauan  orangtua di rumah. 

Konsep itu senada dengan Presiden Jokowi yang berpidato online. Bahkan di paragraf pertama pidatonya, Presiden menekankan  peranan orangtua sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya. Orangtua menjadi kunci keberhasilan pendidikan. 

Delapan bulan sudah kita ber-homelearning mestinya sudah menyadarkan semua orangtua bahwa guru bukan segala-galanya lagi bagi siswa.  Porsi guru semestinya sebagai  fasilitator, pemberi tugas, pemberi PR atau pemberi nilai.  

Homelearning semestinya menjadi momentum bagi semua orangtua  yang cerdas (bukan orangtua yang "bodoh dan masa bodo") untuk mengambil kembali haknya sebagai Guru Utama dan Terutama untuk anaknya di masa pendidikan dasar dan menengah.

Di sisi lain,  Mendikbud  yang juga berpidato online mengabarkan, banyak orangtua yang tidak sabar menitipkan anaknya kembali ke sekolah karena kelabakan menjalankan homelearning. Nah, orangtua semacam itu perlu disadarkan terutama jika mereka  berpendidikan minimal SLTA. 

Sebenarnya asal ada kemauan, mereka semestinya mampu membimbing  anaknya sendiri belajar TK sampai SMA.  Kalau dia tidak mampu, ijazahnya dipertanyakan hahaha. 

Sedikit perbandingan, sejak pandemi, jutaan  ibu langsung lancar berbelanja online, padahal tadinya gaptek. Mengapa mereka tidak memanfaatkan online untuk pembelajaran anak-anaknya juga? 

Problema pertama kacaunya kualitas pendidikan di Indonesia adalah "kemalasan dan masa bodohnya" orangtua untuk terlibat langsung pada pendidikan anaknya.  Orangtua nyaman menitipkan anaknya di sekolah formal, membayar uang sekolah dan memberi fasilitas dan les ini itu.  Padahal sejak 15 tahun lalu terjadi degradasi kualitas guru sekolah formal, jika dibandingkan kualitas guru Indonesia pada masa lalu,  atau dibandingkan dengan guru sekolah Singapura, Malaysia, dan negara lainnya masa sekarang.  

Kita berbicara latar belakang kebanyakan guru, baik  PNS / honorer,  yang kemungkinan bukan passion-nya, tetapi keterpaksaan. Karena itulah, "Guru Umar Bakrie"  atau  "guru  pahlawan tanpa tanda jasa"  langka. 

Jika kualitas guru demikian, apakah orangtua masih mempercayakan pendidikan  anak-anak (yang Anda cintai) kepada  guru-guru demikian. Jika anda perduli pada pendidikan anak anda, coba cek kriteria ini , apakah masih ada guru begitu bergentayangan  di sekolah-sekolah anak anda?  

  1. Guru yang tidak berdedikasi sehingga sekadar mengajar demi mendapatkan gaji atau  honor belaka 
  2. Guru yang cuma memberi  PR dan tugas setumpuk tanpa mau dan mampu mendidik siswa secara optimal 
  3. Guru yang membiarkan atau pura-pura tidak tahu  jika siswanya mencontek dan berbohong demi nilai  
  4. Guru yang menggadaikan harga diri dengan menjual nilai ke siswa-siswanya dengan berbagai cara  
  5. Guru yang mendiskreditkan Pemerintah dan menghina Pancasila dan meracuni siswa untuk membenci siswa yang berbeda SARA

Problema  kedua dalam Pendidikan Indonesia adalah mengatasi dan memberantas guru radikal anti Pancasila. Berdasarkan survey terpercaya,  lebih dari  50% guru muslim ternyata penganut paham radikal dan anti Pancasila. Karena itulah,  guru-guru radikal Anti Pancasila harus ditegur dan dipecat. Terlalu  besar risiko membiarkan guru -guru "sakit" leluasa merusak jiwa jutaan generasi muda Indonesia. 

Referensi

Problema ketiga adalah Pemerintah belum terbuka mendukung Komunitas Orangtua sebagai Guru Utama, yang siap mengajar anak-anaknya langsung. Komunitas itu dikenal dengan Homeschooling.  Padahal sejak 2017 PGRI, organisasi guru terbesar Indonesia sudah menyadari fenomena keberhasilan homeschooling tunggal maupun homeschooling komunitas di  Indonesia dengan mendirikan Asosiasi Pendidik dan Homeschooling APHI PGRI. 

Problema keempat adalah penggunaan dana pendidikan Indonesia yang tidak tepat sasaran. Dana berlimpah tetapi hasilnya zonk. Alokasi Dana Pendidikan sama sekali tidak meningkatkan kualitas pendidikan jutaan siswa di 514 kabupaten kota. Faktanya peringkat kualitas pendidikan Indonesia terbawah di dunia. Literasi Bahasa dan Matematika peringkat 72  dan  Sains  di peringkat 70 dari 78 negara peserta Programme for International Student Assessment PISA . Nilai tersebut cenderung stagnan dalam 10 - 15 tahun terakhir.

Ternyata alokasi  dana Pendidikan tahun 2020 senilai Rp 549,5  trilyun dihabiskan banyak sekali untuk gaji belasan ribu pegawai Kemdikbud + Dinas Pendidikan Provinsi sampai Kecamatan + jutaan  guru PNS dan honor guru dan PPPK.  

Dana Pendidikan juga digunakan untuk renovasi gedung-gedung sekolah bahkan membangun gedung gedung sekolah di tempat terpencil (tanpa kepastian siapa guru berkualitas yang mau mengajar di sana). 

Bahkan Dana Pendidikan berlimpah disiasati untuk proyek Organisasi Penggerak, yang sarat kepentingan,akhirnya dibatalkan. Masih ingat dengan 'prestasi'  Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang rajin sekali  mark-up anggaran, termasuk  Rp 82,8 milyar untuk membeli lem aibon.

Padahal amanat UUD 45 untuk Pendidikan adalah Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, terutama generasi muda usia sekolah. Pertanyaan kita apakah alokasi dana pendidikan APBN 2020 sudah tepat sasaran?  Kemdikbud menjawabnya  dengan 5 strategi baru :

  1. Kepala Sekolah dipilih dari guru-guru terbaik
  2. Mencetak guru generasi "baru" (dengan cara Kemendikbud membiayai  10.000 sekolah penggerak yang akan menjadi pusat pelatihan guru dan katalis bagi transformasi sekolah-sekolah lain).
  3. Menyederhanakan Kurikulum
  4. Asesmen Kompetensi Minimum AKM  sebagai pengganti Ujian Nasional. (Mulai 2021 AKM digunakan untuk mengukur kinerja sekolah berdasarkan literasi dan numerasi siswa, dua kompetensi inti yang menjadi fokus tes internasional seperti PISA)
  5. Platform teknologi pendidikan berbasis mobile  (Pembuatan platform teknologi dengan mendorong ratusan Organisasi Penggerak mendampingi guru-guru di Sekolah Penggerak)

Jika kita amati dari 5 grand desain Mas Menteri --yang cuma dua tahun sekolah di Indonesia, selebihnya di luar ngeri--  masih berorientasi pada guru, tidak langsung menyentuh  jutaan siswa.  

  • Asumsi Kemdikbud adalah : untuk mencerdaskan siswa harus melalui guru (sekolah formal).
  • Jadi prioritas Dana Pendidikan untuk pelatihan jutaan guru secara online dan offline selama bertahun-tahun (karena tidak cukup sekali pelatihan, harus berpuluh-puluh kali yang jelas menghabiskan Dana Pendidikan). Setelah guru-guru terlatih,  mereka pasti bisa  mencerdaskan semua siswanya. 
  • Padahal siapa yang bisa menjamin kalau  gurunya cerdas maka dia mampu otomatis mencerdaskan semua muridnya.

Apakah Strategi Kementerian berdasarkan  asumsi belaka? Karena di lapangan  berbeda. Kalau guru bagus maka semestinya semua (bukan beberapa) muridnya bagus.  

Satu bukti lagi,  selama pandemi ini,  mayoritas  murid sekolah formal (dan orangtuanya)  mengeluhkan kinerja para guru. Guru yang dimaksud bukan hanya guru junior, guru honorer, tetapi guru senior, guru berakreditasi ini itu, singkatnya guru guru berkompeten dan berpengalaman. Kenyatannya,  guru guru itu dikeluhkan karena kurang kreatif membuat murid-muridnya makin malas dan tertekan.

Apakah Kemdikbud sudah punya bukti ada relasi positif bahwa pelatihan selama ini pasti meningkatkan kompetensi guru dan dibuktikan mampu meningkatkan kompetensi siswa. Saran, supaya jelas, Kemdikbud buatlah  survey tingkat kepuasan siswa dan orangtua terhadap kualitas  ajar guru sekolah formal dan bandingkan dengan peningkatan kualitas pembelajaran siswa homeschooling di masa pandemi.

Ibu, Sekolah Pertamaku  

Jangan salah sangka,  kita masih menghargai profesi guru dan sangat menghargai guru yang profesional, yang berkompeten.  

Namun para guru mesti menyadari jaman berubah. Semboyan Pendidikan Nasional Tutwuri Handayani dari Menteri Pendidikan Pertama, Ki Hajar Dewantoro  menegaskan posisi  Guru ada di belakang. Guru adalah fasilitator pelajaran.  Sedangkan makna Ing Madya Mangun Karso menyiratkan guru harus  berada di tengah-tengah siswanya, merasakan kesulitan siswa.   Ing Ngarso Sung Tulodo menasehatkan jika di depan guru harus menjadi teladan; Guru tidak lagi menjadi narasumber tunggal berdiri di depan kelas;  porsi itu sudah digantikan internet. Sekarang, sadarilah bahwa posisi Guru bukanlah menjadi  pendidik utama di masa Revolusi Industri 4.0 saat ini.  

Lantas siapa yang menjadi Pendidik Utama anak-anak Indonesia? Kembali ke argumentasi awal. Pendidik Utama adalah orangtua. Jika ayah atau ibu  belum percaya diri untuk membimbing matematika, literasi bahasa dan sains, maka sebentar lagi ada solusi tepat dan hemat.  Saat ini, Tim Penggiat PISA  sedang merancang aplikasi khusus berfokus pembelajaran literasi dan numerasi standar PISA bagi  siswa SMP SMA. Sedangkan bagi mereka di  Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) Indonesia yang tak ada internet, bisa belajar rutin dari televisi satelite.  Tim akan melibatkan orangtua, mentor bimbel, bahkan guru sekolah formal yang lolos seleksi sebagai fasilitator tingkat kabupaten/kota.

Penutup

Andaikan Pak Presiden atau stafnya membaca tulisan ini (ssst Pak Jokowi mengaku membaca Kompasiana juga) saya berharap kita bisa berdiskusi lebih lanjut tentang teknis pelaksanaan;  mengingat sejauh ini Kemendikbud dan Kemenko PMK belum move on.  Mereka masih percaya dengan konsep usang bahwa  pembenahan pendidikan hanya melalui guru, tidak bisa langsung ke siswa dan orangtuanya.    

Dan supaya tidak disangka pansos dengan Presiden, haha,  ijinkan saya bernostalgia dengan Pak Jokowi sejak tahun 2016 lalu, yakni ketika saya:

  1. Menjadi Finalis Hackathon (Hacker Marathon) Merdeka dari 80 tim pilihan seluruh Indonesia,  bertempat di kompleks Istana Presiden 2016. 
  2. Sebagai satu dari dua anak Indonesia yang pernah diundang CEO Microsoft Internasional Satya Nadella ke Amerika 2017. 
  3. Karena saya termasuk pengurus junior di APHI PGRI, saat  perayaan langsung HUT PGRI  2016-2018, kita sempat berselfie, hahaha.

Mengapa saya merepotkan diri membuat tulisan kritis dan berharap dibaca Presiden? Karena tidak semua generasi Z dan milenial  Indonesia beruntung seperti saya  dan Mas Kaesang yang berkuliah di luar negeri dan menikmati pendidikan berkualitas.  Apalagi para pakar pendidikan mengatakan bahwa Pendidikan Indonesia sudah ketinggalan 30 tahun = 360 bulan dari standar negara negara maju. 

Jika tidak ada terobosan strategi pembelajaran, dan cuma percaya pada strategi Kemendikbud 2020 yang ngotot melatih guru-guru entah sampai kapan, maka saya katakan, Generasi Indonesia Emas 2045 cuma halusinasi.  Bonus Demografi bisa berbalik  menjadi Bencana Demografi. Nasib puluhan juta  anak Indonesia bersekolah terutama di Daerah 3T  dan belasan juta anak Indonesia yang tidak bersekolah, ada di tangan Pak Presiden. Jadi mari kita bekerja bersama-sama, bukan berdasar asumsi, apalagi halusinasi.  

Sumber: Kemdikbud
Sumber: Kemdikbud

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun