Semenjak Vladimir Putin, pemimpin besar Rusia mengumumkan bahwa Rusia akan menginvasi Ukraina dalam nama "Operasi Militer" pada tanggal 24 Februari 2022.
Banyak pihak yang beranggapan bahwa Ukraina akan jatuh ke tangan Rusia hanya dalam hitungan hari dan bernasib layaknya Irak dibawah Saddam Hussein ketika militer Amerika Serikat mampu menguasai Irak dan menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein hanya dalam hitungan hari.
Namun, ternyata hingga kini semua anggapan tersebut terbantahkan. Ukraina yang dipertahankan oleh seluruh kekuatan militernya baik dari darat, laut, dan udara serta dibantu oleh puluhan hingga ratusan ribu sukarelawan baik dari penduduk sipil hingga pihak asing.
Ternyata mampu memberikan perlawanan yang sangat sengit terhadap kekuatan militer Rusia yang mungkin secara logika, jumlah dan perlengkapan militer Rusia jauh di atas Ukraina.
Harapan Ukraina semakin tinggi ketika negara-negara EU dan sekutu lainya lainya seperti Inggris, Prancis, Jerman, Polandia, hingga Amerika Serikat mengirimkan bantuan berupa ribuan pucuk senjata, perlengkapan militer, medis, hingga dana keuangan.
Perlawanan sengit dari Ukraina ternyata mampu membuat semua strategi dan rencana militer Rusia untuk "menjatuhkan" Ukraina dibawah pemerintahan Volodimir Zelenskiy menjadi berantakan.
Akibatnya, ribuan personel tentara Rusia harus kehilangan nyawanya, selain itu Rusia juga kehilangan ratusan kekuatan perlengkapan militernya seperti pesawat, helikopter, tank, truk, hingga BTR.
Selain itu, Rusia juga kehilangan puluhan kekuatan udaranya seperti pesawat dan helikopter yang jatuh terkena tembakan rudal anti pesawat dan RPG serta Javelin Ukraina.
Tapi, yang menjadi pukulan telak bagi Vladimir Putin adalah ketika dia harus kehilangan 3 jenderal terbaiknya yang gugur di Ukraina hanya dalam waktu 8 hari.
Ketiga jenderal tersebut adalah Mayjen Andrei Sukhovetsky, Mayjen Vitaliy Gerasimov, terakhir adalah Mayjen Andrei Kolesnikov yang gugur pada tanggal 11 Maret 2022.
Selain itu, Putin juga kehilangan beberapa perwira militer Rusia lainya seperti Letkol Denis Glebov, Perwira Chechnya yaitu Magomed Tusayev, Letkol Dmitry Safronov, Komandan Konstantin Zizevsky, Letkol Yuri Agarkov, Vladimir Zhonga hingga terakhir adalah komandan tank, Kolonel Andrei Zakharov.
Perlawanan sengit dari Ukraina bukan hanya menyebabkan Rusia harus kehilangan ribuan nyawa prajurit dan ratusan perlengkapan militernya, tetapi juga menyebabkan ratusan hingga ribuan tentara Rusia juga mengalami krisis moral dan mental.
Kondisi tersebut dapat terlihat dari banyaknya tentara Rusia yang menyerah dan ditangkap beserta dengan perlengkapan militernya seperti tank, RPG, mortar, dan pucuk senjata lainya.
Terakhir terungkap bahwa hampir seluruh tentara Rusia tersebut “ditipu” oleh pimpinan militer mereka bahwa mereka akan mengadakan latihan militer di wilayah Ukraina yang dikuasai oleh separatis Rusia. Selain itu, banyak tentara Rusia yang juga tak berkeinginan untuk berperang di Ukraina.
Hingga kini pertempuran semakin berjalan sengit antara militer Ukraina melawan invasi militer Rusia. Beberapa wilayah dan kota di Ukraina telah yang jatuh ke tangan militer Rusia seperti Kherson, Mariupol dan wilayah Ukraina timur lainya.
Meski demikian, Rusia tetap menghadapi perlawanan sengit dari militer Ukraina dibantu oleh sukarelawan dari pihak penduduk sipil dan asing sehingga kerugian militer Rusia baik dari prajurit dan perlengkapan militer semakin bertambah.
Pertanyaan besar kini mengarah ke Vladimir Putin, apa maksud dan tujuan dari invasi Rusia ke Ukraina? Apakah memang murni untuk menjaga “kemurnian poros Eropa Timur” dari NATO?
Ataukah ini adalah puncak dari paranoia terbesar Putin apabila kelak Rusia akan diserang oleh negara—negara NATO dan sekutunya seperti Amerika Serikat?
Meskipun Uni Soviet telah runtuh sejak 31 tahun yang lalu, tak serta merta membuat hubungan Rusia yang merupakan kiblat dari poros komunis di masa lampau dengan negara-negara blok barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Australia menjadi lancar dan baik begitu saja.
Nuansa dan suasana perang dingin yang terjadi selama 46 tahun lamanya dari tahun 1945 hingga 1991 tersebut tetap terbawa hingga masa kini hingga puncaknya adalah invasi Rusia ke Ukraina di tahun 2022 ini.
Meskipun secara sistem pemerintahan, ekonomi, hingga keagamaan Rusia kini menerapkan prinsip liberal, Rusia tetaplah berprinsip pada konsep komunisme dalam hal menjalin hubungan bernegara yaitu menjalin hubungan spesial dan bersekutu dengan negara-negara yang dianggap “musuh” negara-negara blok barat.
Seperti pada perang dingin sebelumnya, Rusia lebih memiliki hubungan dekat dengan negara-negara sekutu komunisnya seperti China dan Korea Utara. Selain itu, Rusia juga memiliki hubungan dekat dengan Iran dan rezim Bashar Al-Assad di Suriah.
Keempat negara yang merupakan sekutu Rusia tersebut merupakan negara yang memiliki hubungan yang cukup panas dengan negara-negara blok barat khususnya Amerika Serikat.
Tak heran jika terjadi suatu konflik kecil antara negara blok barat dengan keempat negara tersebut, Rusia pasti akan langsung memasang badan untuk membela. Sehingga seringkali menimbulkan ancaman dan kekhawatiran Internasional.
Perang sipil Suriah adalah contoh paling nyata akan kekuatan dari intervensi Rusia. Sejak tahun 2015, Putin memutuskan untuk turut serta dalam perang berdarah ini dengan mengirimkan bantuan militer berupa pesawat, tank, dan persenjataan lainya.
Selain itu, Putin juga mengirimkan ribuan tentara khusus untuk membantu pasukan Suriah dibawah pemerintahan Bashar Al-Assad dalam rangka melawan pemberontak Suriah atau FSA (Free Syrian Army).
Dalam perang ini, FSA didukung oleh negara-negara barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis hingga Turki. Tak heran jika seringkali tanpa disengaja, militer Rusia berkonfrontasi dengan militer dari pihak sekutu FSA tersebut.
Perang Suriah ini dapat dianggap sebagai perang “ antar blok” terbesar setelah perang Korea, perang 6 hari dan perang Vietnam dimana pada ketiga perang tersebut.
Negara-negara blok barat dan timur masing-masing melakukan intervensi dan memberikan bantuan kekuatan militer kepada kedua pihak yang saling bertikai.
Kembali ke Ukraina.Sejak tahun 2008, Ukraina memang membuat panas Vladimir Putin dan pejabat Rusia lainya setelah mereka lebih memilih untuk dekat dengan EU dan NATO.
Ketika Volodimir Zelenskiy terpilih sebagai Presiden Ukraina, hubungan panas dengan Ukraina dengan Rusia mencapai puncaknya karena Rusia menganggap Ukraina tinggal setapak lagi untuk bergabung dengan NATO.
Bagi Vladimir Putin, ini adalah sebuah ancaman besar bagi Rusia karena jika Ukraina bergabung dengan NATO, akan membuka sebuah potensi bagi negara-negara NATO dan sekutunya termasuk Amerika Serikat untuk membangun fasilitas dan kekuatan militer di Ukraina.
Terlebih, dampak perang sipil Suriah ternyata membawa hubungan yang panas antara Rusia dengan NATO dan sekutunya terutama Turki dan Amerika Serikat.
Sehingga menjadi sebuah ancaman bagi Putin apabila NATO dan sekutunya tersebut melancarkan serangan ke Rusia melalui pangkalan militer yang mereka bangun di Ukraina jika perang sipil Suriah semakin berpihak kearah Rusia.
Paranoia Putin mungkin dapat berdasarkan pada apa yang dialami oleh jutaan seluruh masyarakat Amerika Serikat ketika terjadi krisis rudal Kuba pada tahun 1962.
Ketika negara Kuba yang dipimpin oleh revolusioner komunis, Fidel Castro dan Che Guevara bekerja sama dengan Uni Soviet untuk membangun pangkalan rudal, jarak dari Kuba ke pantai Miami di Amerika Serikat hanya berjarah 531 km. Ini pula yang ditakutkan Putin apabila Ukraina bergabung dengan NATO.
Akhirnya, Vladimir Putin memutuskan untuk menginvasi Ukraina dengan memberikan peringatan kepada pemerintahan Volodimir Zelenskiy sembari menyebarkan propaganda untuk membebaskan etnis Rusia di Ukraina dari diskriminasi.
Selain itu, Putin juga menyebarkan propaganda bahwa Ukraina berideologi dengan paham Nazi dan juga sedang membangun senjata biologis disana.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika Ukraina bergabung dengan NATO, negara-negara barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Prancis akan berani menyerang Rusia?
Mengingat komunis sudah runtuh, sepertinya akan sulit untuk mencari alasan bagi negara-negara barat untuk menyerang Rusia mengingat pemimpin dari negara-negara tersebut seperti Boris Johnson, Macron, dan Joe Biden memiliki “hati lembut” untuk menciptakan perang dan konflik.
Justru sebaliknya, banyak pihak yang menuding bahwa Vladimir Putin terkena “Stalin Syndrome” yaitu sebuah paranoia dan kecurigaan berlebih yang dialami oleh Josef Stalin sehingga mengakibatkan Stalin melakukan tindakan kejam dengan menghilangkan banyak nyawa yang dianggap sainganya termasuk orang kepercayaanya sendiri. Benarkan demikian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H