Mendengar kata "Mahasiswa" sudah pasti dipikiran kita bahwa mereka adalah sosok-sosok kritis dan terpelajar yang tidak mungkin membiarkan segala ketidak adilan terjadi kepada mereka. Termasuk kekerasan seksual.
Saya pun semasa kuliah, sering banget mendapatkan julukan dan kata-kata seperti, "pasti kamu orangnya kritis" dari masyarakat tempat saya tinggal.
Fenomena yang masih terjadi sekarang ini, seringnya apabila ada berita kekerasan seksual yang menimpa seorang Mahasiswa/i, yang dalam pemikiran sebagian besar orang dan dapat diwakili dilihat dalam komentar-komentar oleh netizen terlebih dahulu, kira-kira begini, "Mahasiswa kan kaum intelektual, kok bisa?", dan berkembang menjadi "mau sama mau kali"
Tulisan ini diharapkan sekaligus menjadi 'sedikit' jawaban atas pelecehan seksual yang baru-baru ini terjadi, yang dilakukan oleh pemuda difabel di NTB yangmana korbannya diantaranya Mahasiswi.
Apa itu Kekerasan Seksual ?
Menurut World Health Organization, kekerasan seksual adalah setiap tindakan seksual, upaya untuk melakukan tindakan seksual, atau tindakan lain yang ditujukan terhadap seksualitas seseorang dengan menggunakan pemaksaan, oleh siapa pun tanpa memandang hubungannya dengan korban, dalam situasi apa pun. Ini termasuk pemerkosaan, yang didefinisikan sebagai penetrasi vulva atau anus yang dipaksakan secara fisik atau dengan cara lain dengan menggunakan penis, bagian tubuh atau benda lain.
Adapun jenis-jenis tindakan kekerasan seksual di Indonesia terdapat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pada pasal 4, ayat 1 dan 2. Tentu yang kita soroti pada tulisan ini adalah jenis kekerasan seksual berupa pelecehan seksual fisik dan perkosaan.
Kecerdasan Emosional (EQ) Sangat Sedikit Diajarkan Di Kampus
Kita semua sepakat bahwa kebanyakan yang diajarkan sekolah adalah tentang Kecerdasan Intelektual (IQ) seperti materi-materi kuliah umum sebagai standar kelulusan, dan sangat sedikit sekali tentang Kecerdasan Emosional (EQ). Tentu mata kuliah agama bukanlah termasuk materi EQ, melainkan Kecerdasan Spiritual (SQ).
Kalaupun membahas EQ di kampus itu kebanyakan terkait dengan materi kepemimpinan yang lagi-lagi merupakan disiplin dan tanggung jawab kerja.
Dilansir dari laman unair.ac.id., Psikolog Firdaus Yuni Hartatik mengungkapkan ada dua aspek penyebab kekerasan seksual, yaitu perilaku dan situasional. Perilaku datang dari pelaku kekerasan seksual, seperti rayuan baik dalam bentuk halus, kasar, terbuka, fisik, maupun verbal dan bersifat searah baik verbal maupun nonfisik.
"Bentuk verbal, misalnya, bujukan seksual yang tidak diharapkan, gurauan atau pesan seksual yang terus menerus, mengajak kencan terus menerus walaupun telah ditolak. Sedangkan bentuk godaan fisik tatapan yang sugestif terhadap bagian tubuh" ujar Yuni.
Adapun, situasional yaitu kekerasan seksual terjadi tak mengenal tempat maupun kondisi tertentu, yangmana korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap ras, umur, karakteristik, status perkawinan, kelas sosial, maupun pendidikan, juga tak terbatas pada aktivitas ekonomi.
Self awareness sebagai salah satu jenis kecerdasan emosional dalam hal ini menjadi bagian yang sangat penting diajarkan yangmana agar individu dapat menyadari lingkungan sekitar,tidak melakukan aktivitas sendirian, mempercayai insting mereka, dan mengenal batasan-batasan dengan sekitar sebagai upaya menghindari potensi menjadi korban kekerasan seksual. Ini perlu diajarkan sejak dini, bahkan pada anak-anak yang biasa disebut sex education.
Sehingga, hal ini dapat disimpulkan bahwa, Mahasiswa/i yang umumnya menjadi korban kekerasan seksual adalah mereka yang kurang memiliki self awareness yangmana seringnya menganggap dunia ini isinya hanya orang-orang baik saja. Belum lagi, kenyataan banyaknya pelaku yang menggunakan teknik manipulasi psikologis dan emosional yang cukup sulit dikenali. Seperti, awalnya memancing rasa kasihan dan rasa bersalah pada diri korban yang baik.
Namun, lagi-lagi ini bukan menjadi kesalahan utama terjadinya kekerasan seksual, hanya faktor dari sisi korban yang diharapkan lebih mawas diri. Selain itu, self awareness berkurang karena kondisis psikologis mahasiswa/i yang cukup sibuk mengurusi aktivitas kuliah itu sendiri, dan diperparah normalisasi pelecehan seksual verbal yang masih ada berdalih guyon. Tentulah dalam setiap kejadian kekerasan seksual, pelaku satu-satunya yang harus disalahkan atas tindak kejahatannya dan mendapatkan hukuman.
Tidak Ada Yang Mau Terkena Musibah
Memberikan empati terlebih dahulu kepada orang yang terkena musibah apapun, tentulah lebih baik daripada memberikan judgemental kepada mereka dahulu terkait kenapa musibah tersebut bisa terjadi. Termasuk yang terkena musibah mengalami kekerasan seksual.
Sejatinya, manusia selalu ingin hal-hal baik terjadi kepadanya. Namun, karena dunia ini faktanya juga diisi oleh orang-orang jahat dan manipulatif, membuat korban yang tidak teredukasi bahaya manipulasi sejak dini di lingkungan rumahnya menjadi penyumbang tingginya angka kejahatan kekerasan seksual.
Ingatlah Selalu Percaya Korban Dahulu
Seharusnya dengan banyak berita yang beredar luas, baik di dalam maupun di luar negeri, maka kita sepakat menarik kesimpulan bahwa baik pelaku maupun korban kekerasan seksual bisa siapa saja, termasuk umurnya, jenis kelaminnya dan profesinya.
Korban kekerasan seksual yang akhirnya memiliki keberanian untuk melapor, sebelumnya sudah pasti mengalami proses psikologis yang tidaklah mudah.
Mengutip kembali unair.ac.id., Psikolog Yuni mengatakan:
“Korban juga dapat merasa kehilangan kekuatan, kehilangan harapan, hingga muncul pikiran bunuh diri,” ungkapnya.
Korban biasanya mengalami trauma dan depresi yang sulit mengungkapkan dirinya adalah korban. Sehingga, banyak fenomena korban yang akhirnya baru mau melapor setelah berbulan-bulan terjadi kekerasan seksual tersebut.
Dengan tetap "berdiri" bersama korban dahulu, mengelola harapan korban, dan ikut dalam proses pemulihan korban, disamping tetap mencari saksi-saksi dan bukti-bukti sebanyak-banyaknya tentu akan membuka jalan terang benderang kasus kekerasan seksual tersebut. Kebanyakan laporan benar terjadi tindak kekerasan seksual atau sedikitnya rekayasa atau laporan palsu.
Mari berkontribusi mengedukasi orang-orang, mulai dari yang terdekat dan terkasih agar tidak menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual.
Demikian, semoga bermanfaat :)
#MeToo.
Referensi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
https://apps.who.int/violence-info/sexual-violence/
https://unair.ac.id/ini-aspek-penyebab-kekerasan-seksual-menurut-psikolog/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H