Pelecehan seksual dan pemerkosaan bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Baik korban maupun pelaku pun bisa dari kalangan mana saja. Untungnya, Indonesia termasuk negara yang cukup membebaskan penyiaran segala pemberitaan untuk konsumsi publik, sehingga kita tidak perlu susah mencari-cari berita tentang kasus kriminal ini.
Satu berita yang menjadi perhatian bagi kita semua beberapa minggu terakhir ini adalah Ditreskrimum Polda NTB menetapkan tersangka seorang pemuda difabel bernawa I Wayan Agus Suaratma (22) alias IWAS alias Agus dalam kasus pelecehan seksual (bahkan ada pengakuan korban telah terjadi pemerkosaan) dengan update korban sebanyak 15 orang. Adapun korban tersebut diantaranya mahasiswi dan tiga anak di bawah umur.
Berdasarkan penuturan saksi korban melalui pengacara dan bukti rekaman video yang beredar di media massa, dalam melancarkan aksinya Agus melakukan berbagai teknik manipulasi psikologis kepada korban dan calon korban. Awalnya Agus menghampiri korban yang sendirian, lalu bercerita kesedihan dirinya tentang kondisinya sebagai orang cacat yang seolah tidak berdaya melakukan kejahatan. Hal ini untuk menarik kepercayaan dan simpati korban.
Kemudian masuk melancarkan rayuan-rayuan, seperti memuji korban agar korban menjadi akrab dengan pelaku. Setelah korban percaya mau diajak ngobrol mendalam dan akhirnya jujur bercerita kekurangannya yaitu pengalaman 'kelamnya', maka dengan informasi rahasia tersebutlah Agus melakukan ancaman kepada korban bahwa akan membocorkan aib korbannya jika tidak mengikuti keinginannya.
Banyak sekali update modus-modus yang dilancarkan Agus untuk menjerat korbannya. Namun, pada intinya semua sama bahwa modus utama Agus adalah menggunakan kekurangan fisiknya untuk memperoleh simpati dan kepercayaan korbannya.
Pada informasi pengakuan dari korban yang lain, Agus telah melakukan tahap ancaman dengan kekerasan terhadap korban.
Berikut video rekaman Agus sedang melancarkan aksinya:
Berikut kesaksian korban yang berusia 18 tahun dan teman korban:
Manipulasi Taktik DARVO
Teknik manipulasi ini dikembangkan oleh Jeniffer Joy Freyd, P.hD. yang penjelasannya dapat diakses pada jjfreyd.com/darvo. Taktik DARVO sering dilakukan oleh para pelaku kriminal untuk lepas dari pertanggung jawaban kejahatan mereka atau lepas dari jerat hukum, terutama pada kasus pelecehan seksual. DARVO adalah singkatan dari Deny (Menolak), Attack (Menyerang), dan Reverse Victim and Offender (Membalikkan korban dan pelaku).
Dijelaskan Freyd bahwa pelaku dapat menyangkal perilaku atau kejahatan yang dilakukannya (Deny), menyerang individu yang melakukan konfrontasi (Attack), dan membalikkan peran korban dengan pelaku sehingga pelaku mengambil peran korban dan mengubah peran korban sebenarnya (pelapor) menjadi tersangka pelaku (Reverse Victim and Offender).
Hasil studi penelitian akses terbuka yang ditinjau sejawat tahun 2017 yang berjudul Perpetrator Responses to Victim Confrontation: DARVO and Victim Self-Blame oleh Harsey, Zubbrigen dan Freyd bahwa DARVO sebagai strategi pelaku dapat mampu melakukan pembungkaman korban melalui menyalahkan diri sendiri.
Selanjutnya, dalam penelitian yang ditinjau sejawat pada tahun 2020 yang berjudul DARVO's Impact on third parties and Anti-DARVOÂ oleh Harsey dan Freyd melaporkan bahwa paparan DARVO dapat menyebabkan berkurangnya keyakinan korban dan meningkatkan rasa bersalah korban, namun pada pihak ketiga yang dibekali pendidikan tentang DARVO dapat mengurangi perspektif individu terhadap pelaku dan korban yangmana menjadikan berkurangnya tingkat kepercayaan terhadap pelaku sebenarnya.
Video wawancara dengan tersangka pelecehan seksual:
Dalam beberapa video wawancara tersangka kepada wartawan yang beredar luas, ia berulang kali meyakinkan publik dengan menyangkal semua tuduhan korban-korban lalu mengatakan kondisi dirinya yang cacat tidak mungkin melakukan pelecehan seksual, berlanjut pengakuan melakukan hubungan badan atas dasar suka sama suka. Agus terus menyangkal, sementara saksi korban semakin hari terus bertambah dengan penjelasan satu pola dan alur cerita yang sama terkait modus yang dilancarkan Agus.
Dengan begitu, apakah Agus sedang menjalankan teknik DARVO? Mari percaya pada korban dahulu.
Pentingnya Percaya Kepada Korban Dahulu
Saya melihat fenomena yang sama antara perspektif korban pada awalnya dengan beberapa komentar yang ditulis netizen yang membela Agus di berbagai berita online. Mereka sama-sama tidak menyangka bahwa seorang yang memiliki kekurangan fisik yang mungkin secara logika bahkan tidak mampu membela dirinya kala terjadi kejahatan, justru menjadi pelaku kejahatan.
Namun, lagi-lagi sebagai seorang yang pernah mengikuti kelas tentang bahaya manipulasi dan pernah mengalaminya tapi bukan tentang pelecehan seksual atau pun pemerkosaan, saya memahami jika maksud seseorang mengambil keuntungan dari korban dengan perlu membuat korban melakukan apa yang pelaku mau, maka dengan melakukan trik manipulasi psikologis itu tentu jauh lebih ampuh, efektif, dan efisien daripada tindakan memerintah secara terang-terangan atau paksaan.
Bayangkan, betapa beratnya menjadi korban yang sudah mengalami kerugian fisik dan mental yang sedang dalam tahap penyembuhan diri sambil membela diri mencari keadilan, kini juga harus menghadapi luka hatinya akibat pembelaan netizen terhadap pelaku.
Pada banyak sumber, korban pelecehan seksual dan pemerkosaan mengalami Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD) yang membuatnya sulit untuk mengungkapkan dirinya adalah korban. Bahkan, banyak berita yang menyiarkan korban melakukan bunuh diri.
Ada satu artikel yang menarik bagi saya dari The Guardian berjudul "Â Behind the scenes with a police rape team: 'We start by believing the victim' " . Saya mengutip Chadwick mengatakan faktanya ketika seseorang baru saja diperkosa, mereka (korban) 'ada dimana-mana' . Detektif harus menerima bahwa keterangan pertama kali korban mengandung banyak kekurangan seperti tidak akurat, bisa saja memberikan keterangan waktu yang salah, hari yang salah, tempat yang salah, atau aturan yang salah. Dan detektif harus lebih sabar dari keinginan untuk segera menyelesaikan kasusnya.
Dari artikel tersebut, kita juga dapat mengambil point penting bahwa pelapor yang mengaku korban mungkin saja berbohong karena balas dendam apapun alasannya. Namun, dibandingkan laporan palsu, lebih banyak kasus yang dilaporkan benar terjadi. Sehingga kejahatan ini menjadi tugas yang cukup 'khusus' untuk polisi.
Dengan memberikan dukungan kepercayaan kepada korban, mengelola harapan korban, dan membantu korban menjalani proses pemulihan justru membuat kasus tersebut menemui kejelasan kebenarannya.
Tugas Polisi Mencari Saksi Sebanyak-banyaknya
Dengan pengalamannya sebagai seorang polisi, Irjen Pol (Purn) Aryanto Sutadi pada perbincangan acara Apa Kabar Indonesia Malam TV One, berjudul "Mandi Suci" Jurus Agus Kelabui Mahasiswi, menyimpulkan bahwa setiap tersangka jika diperiksa tidak akan mungkin mengakui walaupun sudah ditunjukkan bukti-bukti, namun barulah ketika keadaan terpepet pelaku mengakui jika dapat memperingan hukumannya.
Dengan pengakuan Agus yang menjual kata tidak bisa apa-apa sehingga tidak mungkin bisa melakukan kejahatan, bahkan membranding bahwa polisi brutal, maka seharunya polisi waspada. Berikut cuplikan lengkap perbincangannya:
Saya sangat setuju dengan beliau bahwa polisi harus fokus mencari dan mengumpulkan saksi-saksi sebanyak -banyaknya dan alat bukti sebanyak-banyaknya untuk penyidikan, sementara itu apa saja yang didapatkan polisi bisa langsung diekspose ke masyarakat. Selain itu, perlunya korban-korban berbicara ke publik, yang dalam hal ini bila tidak berkenan mengekspose dirinya, juga bisa melalui pengacara agar ikut meyakinkan masyarakat juga.
Hal tersebut kebanyakan yang saya cermati dari kasus kriminal dengan jumlah korban yang banyak dan berhasil dijadikan dokumenter film, dapat memancing keberanian korban-korban lain untuk bersuara dan ikut melaporkan pelaku tindak kriminal tersebut, karena korban merasakan tidak sendiri dan banyaknya dukungan dari sesama korban dan masyarakat, sehingga makin terang benderanglah kasus ini.
Jangan Mudah Percaya Orang Asing
Melihat dan mendengar pengakuan korban yang awalnya merasa kasihan, menjadi pentingnya memberikan pemahaman, terutama kepada orang-orang terkasih bahwa tidak semua orang jahat itu selalu melakukan tindakan-tindakan jahat tersebut secara terang-terangan. Pada level tertentu, pelaku menggunakan berbagai teknik manipulasi psikologis sehingga seolah kejahatan yang terjadi atas persetujuan korban juga.
Menanamkan kepada anak-anak agar tidak beraktivitas sendirian tanpa teman, mengajarkan anak-anak agar tidak langsung percaya kepada orang-orang asing atau yang baru dikenalnya, dan tidak mudah terpengaruh dengan cerita sedih seseorang dapat menjadi penyaring awal agar tidak menjadi korban dari pelaku manipulatif.
Demikian analisis saya sebagai masyarakat biasa yang sangat antusias mengikuti jalannya kasus ini.
Semoga kasus ini segera mencapai titik terang, korban selalu mendapatkan pendampingan yang tepat sehingga cepat pulih, serta tentunya pelaku juga segera dihukum seberat-beratnya. Aamin.
Semoga bermanfaat :)
Referensi Lainnya
Terus Bertambah Korban Pelecehan Pria Difabel, Ini Respon Irjen Pol Purn Aryanto | AKIM tvOne
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H