Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih baik turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kepemimpinan Transaksional vs Transformasional

5 Juli 2022   18:15 Diperbarui: 24 Januari 2024   05:32 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi: www.forbes.com

Pemimpin adalah mereka yang mampu mengimplementasikan visinya sesuai konteks, piawai merumuskan ide, serta ulet dalam eksekusi demi imajinasi masa depannya. Pemimpin yang cakap dapat tercermin dari kemampuannya memengaruhi rekan, bawahan, ataupun barangkali, atasannya. Jika seorang pemimpin tidak mampu mengilhami siapa pun yang dipimpinnya, maka buyarlah dampak kebermanfaatannya.

“There is no more powerful engine driving an organization toward excellence and long-range success than an attractive, worth-while, widely shared, and achievable vision of the future.”

- Burton Nanus

Secara kasat mata, pemimpin biasanya mewujud dalam posisi atau jabatan tertentu seperti kepala pemerintahan, direktur perusahaan, ketua partai politik, ketua asosiasi, ketua senat mahasiswa, dan jabatan struktural lainnya. Kita lebih sering mengasosiasikan pemimpin dalam kriteria-kriteria formal, posisi yang memiliki otoritas dan kuasa, dipilih melalui kongres, pemilu, atau muktamar, juga yang dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu (Darmaputera, 2004). Itu adalah kepemimpinan formal.

Lain halnya kepemimpinan formal sebagaimana diungkapkan di atas, kita juga bisa melihat kepemimpinan bukan pada jabatan formalnya, melainkan pada kriteria sosial. Pemimpin dengan kriteria ini biasanya tidak dipertimbangkan jabatannya, karena sudah memiliki pengaruh sosial dan dapat menggerakkan masyarakat. Pemimpin model ini lebih memiliki kuasa secara de facto dalam pertimbangan-pertimbangan politis. Ia bahkan bisa secara siginifkan mempengaruhi pemegang otoritas, baik yang secara hierarkis berada di bawah ataupun di atasnya (Kenneth Blanchard, 2006).

Kepemimpian sosial bisa dibagi dalam dua kategori: kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional. Berkaitan dengan dia kriteria tersebut, izinkan saya menceritakan dua kisah berikut ini untuk memberikan ilustrasi mengenai definisi masing-masing:

Sepakbola sebagai Kontrol Stabilitas

Ada yang menarik dari perspektif kontrol politik yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda kala dilanda resesi ekonomi saat itu. Great Depression (depresi akut) yang terjadi di Amerika saat itu berimbas pada negara-negara timur, tidak terkecuali Hindia Belanda. Krisis itu berlangsung sejak akhir dekade 1920-an. Komoditi hasil alam yang selama ini menjadi andalan perekonomian Hindia Belanda mengalami pemerosotan harga. Dalam rentang tahun 1929-1930, barang ekspor Hindia Belanda mengalami penurunan sebanyak 28%. Sejak 1931-1935, pendapatan Hindia Belanda dari ekspor pun hanya berkisar 37% dari total pendapatan yang diperoleh di periode 1920-an (Zen RS, 2016).

Hal ini pun berimbas pada banyaknya industri yang kolaps, angka pengangguran melesat naik, berbanding lurus dengan menurunnya pendapatan nasional. Akibatnya, gelandangan berserakan ke seluruh penjuru kota, sebuah “penyakit sosial” yang dianggap seperti ancaman serius oleh pemerintah kala itu.

Para aktivis pergerakan dihantui oleh Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge yang dikenal sebagai tangan besi. Ia dikenal sebagai pemimpin yang keras dengan gerakan kemerdekaan dan tidak segan memainkan pemberedelan terhadap sejumlah pers pendukung pergerakan. Hal ini didukung dengan kata-katanya yang populer saat itu: “Belanda sudah menjajah Nusantara sejak 300 tahun lalu, dan akan berkuasa sampai 300 tahun lagi” (Ingleson, 1983). Kala itu, penangkapan besar-besaran ditargetkan pada kaum pergerakan. Sukarno ditangkap kedua kalinya untuk kemudian diasingkan ke pulau Ende, menyusul Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir yang ditangkap dan diasingkan ke Digoel.

Pemerintah kolonial yakin bahwa penanganan resesi ekonomi yang mengakibatkan pengangguran besar-besaran. Bagi pemerintah, situasi ini tidak boleh dimanfaatkan begitu saja oleh para aktivis pergerakan. Mereka sadar bahwa masalah pengangguran yang akut tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara represif.

Akhirnya, Hari Sepakbola dicanangkan pada pertengahan 1932. Sepakbola menjadi alat “transaksi politik” kolonial. Ini adalah salah satu wujud kepemimpinan transaksional.

Pencanangan Hari Sepakbola dilakukan secara meriah oleh Gubernur Jenderal de Jonge yang terkenal arogan itu. Dilihat dari sejarahnya yang dimanfaatkan para aktivis pergerakan sebagai sarana komunikasi dan koordinasi, sepakbola dianggap “terlalu empuk” jika harus menjadi wahana perlawanan. Alih-alih bersikap represif, sepakbola justru digunakan dengan sehalus mungkin untuk meminimalisir potensi pemberontakan dari kaum “pengangguran dan gelandangan” (baca, kaum pergerakan).

Rugbi dan Perjuangan Kesetaraan di Afrika Selatan

Lain hal dengan de Jonge, lain hal pula dengan Nelson Mandela. Tokoh pelabrak politik apartheid ini begitu harum namanya jika kita berbicara tentang kesetaraan hak kulit hitam dan kulit putih. Selain sepak terjangnya sebagai pengacara kondang yang membela hak orang-orang kulit hitam, ia pun aktif di Kongres Nasional Afrika atau ANC yang galak menyuarakan kesetaraan hak kulit hitam.

Setelah ANC dilarang oleh otoritas negara kala itu, Nelson Mandela melakukan perlawanan bersenjata dalam gerakan bawah tanah, dengan menyerang pusat-pusat industri. Tahun 1964, jajaran pimpinan gerakan bawah tanah ditangkap. Termasuk di antaranya, Nelson Mandela dan Walter Sisulu yang dikenai hukuman seumur hidup. Di pengadilan, Mandela menekankan ia bersedia mati untuk visinya.

Usai menghabiskan 27 tahun di penjara, pada 11 Februari 1990, Nelson Mandela resmi menghirup udara bebas. Tidak lama kemudian, pada 1991, ia diangkat jadi orang nomor satu di Partai Kongres Nasional Afrika (ANC). Dua tahun selepas terpilih, Mandela, bersama Presiden Afrika Selatan (Afsel) saat itu, F.W. de Klerk, mengumumkan bahwa ANC dan Partai Nasional sepakat untuk membentuk pemerintahan transisi. (John Carlin, 2008).

Kendati demikian, jalan untuk menciptakan kehidupan yang adil bagi masyarakat Afrika Selatan masih jauh terlaksana. Politik apartheid boleh dihapuskan, tetapi Afrika Selatan tetap tersegregasi secara kultural berdasarkan warna kulit. Mandela memperoleh banyak tekanan. Ia masih dianggap “teroris” oleh orang-orang kulit putih Afrika Selatan karena pernah menjadi panglima tertinggi organisasi sayap militer ANC.

Dari dua narasi cerita atas kita bisa melihat secara kontekstual pebedaan antara kepemimpina transaksional dengan kepemimpinan transformasional. De Jonge yang begitu kentara memainkan konsep kepemimpinan transaksional, sementara cerita tentang Mandela merujuk pada konsep kepemimpinan transformasional.

Kepemimpinan transaksional dilandasi oleh pertukaran kepentingan antara pemimpin dengan yang terpimpin demi tercapainya tujuan, sementara kepemimpinan transformasional digagas oleh tujuan bersama yang kuat dengan dorongan perubahan sosial yang kuat. Menurut Ndraha (2003), kita tidak harus saklek dengan salah satu konsep saja. Pemakaian gaya kepemimpinan yang variatif dapat membuat kebijakan yang efektif di segala situasi.

Unsur-unsur yang dimiliki pemimpin: kekuasaan; kewibawaan; popularitas; dan pengikut sangat bergantung pada struktur dan adat kebudayaan masing-masing masyarakat. Kepemimpinan pemerintahan, menurut Ndraha (2003), wajib menyediakan produk jasa publik dan komitmen pada tujuannya terhadap sipil. Menjaring kualitas manusia guna menyelaraskan tujuan antara pemerintahan dan sipil menjadi salah satu penentu keberhasilan pemerintahan. Dan kebijakan yang efektif termasuk salah satu parameter yang krusial dalam menunjang kinerja pemerintahan.

Baik dalam kriteria formal dan sosial, model kepemimpinan transaksional dan transformasional dapat memberikan pengaruh yang berbeda-beda dalam sebuah organisasi. Semua ini tergantung bagaimana pemimpin menyikapi atau memberikan contoh yang baik kepada para pengikutnya. Terlepas dari gaya dan hasil baik-buruk, de Jonge dan Mandela mencontohkan kita pada visi seorang pemimpin yang berdampak. Nilai-nilai sosial memang tidak dapat diingkari, tetapi tidak etis jika dimanfaatkan hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu saja. []

Baca Juga: 

The Weakest Link dan Kekuatannya

Penghargaan Kiprah Pemuda Kepulauan Seribu

Orang Tua Tak Cukup Hanya Menjadi Pendengar yang Baik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun