Pemerintah kolonial yakin bahwa penanganan resesi ekonomi yang mengakibatkan pengangguran besar-besaran. Bagi pemerintah, situasi ini tidak boleh dimanfaatkan begitu saja oleh para aktivis pergerakan. Mereka sadar bahwa masalah pengangguran yang akut tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara represif.
Akhirnya, Hari Sepakbola dicanangkan pada pertengahan 1932. Sepakbola menjadi alat “transaksi politik” kolonial. Ini adalah salah satu wujud kepemimpinan transaksional.
Pencanangan Hari Sepakbola dilakukan secara meriah oleh Gubernur Jenderal de Jonge yang terkenal arogan itu. Dilihat dari sejarahnya yang dimanfaatkan para aktivis pergerakan sebagai sarana komunikasi dan koordinasi, sepakbola dianggap “terlalu empuk” jika harus menjadi wahana perlawanan. Alih-alih bersikap represif, sepakbola justru digunakan dengan sehalus mungkin untuk meminimalisir potensi pemberontakan dari kaum “pengangguran dan gelandangan” (baca, kaum pergerakan).
Rugbi dan Perjuangan Kesetaraan di Afrika Selatan
Lain hal dengan de Jonge, lain hal pula dengan Nelson Mandela. Tokoh pelabrak politik apartheid ini begitu harum namanya jika kita berbicara tentang kesetaraan hak kulit hitam dan kulit putih. Selain sepak terjangnya sebagai pengacara kondang yang membela hak orang-orang kulit hitam, ia pun aktif di Kongres Nasional Afrika atau ANC yang galak menyuarakan kesetaraan hak kulit hitam.
Setelah ANC dilarang oleh otoritas negara kala itu, Nelson Mandela melakukan perlawanan bersenjata dalam gerakan bawah tanah, dengan menyerang pusat-pusat industri. Tahun 1964, jajaran pimpinan gerakan bawah tanah ditangkap. Termasuk di antaranya, Nelson Mandela dan Walter Sisulu yang dikenai hukuman seumur hidup. Di pengadilan, Mandela menekankan ia bersedia mati untuk visinya.
Usai menghabiskan 27 tahun di penjara, pada 11 Februari 1990, Nelson Mandela resmi menghirup udara bebas. Tidak lama kemudian, pada 1991, ia diangkat jadi orang nomor satu di Partai Kongres Nasional Afrika (ANC). Dua tahun selepas terpilih, Mandela, bersama Presiden Afrika Selatan (Afsel) saat itu, F.W. de Klerk, mengumumkan bahwa ANC dan Partai Nasional sepakat untuk membentuk pemerintahan transisi. (John Carlin, 2008).
Kendati demikian, jalan untuk menciptakan kehidupan yang adil bagi masyarakat Afrika Selatan masih jauh terlaksana. Politik apartheid boleh dihapuskan, tetapi Afrika Selatan tetap tersegregasi secara kultural berdasarkan warna kulit. Mandela memperoleh banyak tekanan. Ia masih dianggap “teroris” oleh orang-orang kulit putih Afrika Selatan karena pernah menjadi panglima tertinggi organisasi sayap militer ANC.
Dari dua narasi cerita atas kita bisa melihat secara kontekstual pebedaan antara kepemimpina transaksional dengan kepemimpinan transformasional. De Jonge yang begitu kentara memainkan konsep kepemimpinan transaksional, sementara cerita tentang Mandela merujuk pada konsep kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan transaksional dilandasi oleh pertukaran kepentingan antara pemimpin dengan yang terpimpin demi tercapainya tujuan, sementara kepemimpinan transformasional digagas oleh tujuan bersama yang kuat dengan dorongan perubahan sosial yang kuat. Menurut Ndraha (2003), kita tidak harus saklek dengan salah satu konsep saja. Pemakaian gaya kepemimpinan yang variatif dapat membuat kebijakan yang efektif di segala situasi.
Unsur-unsur yang dimiliki pemimpin: kekuasaan; kewibawaan; popularitas; dan pengikut sangat bergantung pada struktur dan adat kebudayaan masing-masing masyarakat. Kepemimpinan pemerintahan, menurut Ndraha (2003), wajib menyediakan produk jasa publik dan komitmen pada tujuannya terhadap sipil. Menjaring kualitas manusia guna menyelaraskan tujuan antara pemerintahan dan sipil menjadi salah satu penentu keberhasilan pemerintahan. Dan kebijakan yang efektif termasuk salah satu parameter yang krusial dalam menunjang kinerja pemerintahan.