Kedua-duanya sama, tak mendapat akses terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Salah satu dampaknya adalah seperti yang saya ceritakam di atas, lahir generasi yang merespon negatif terhadap fenomena yang terjadi luar dirinya, di alam raya ini.
Kejadian GMT pada era tahun 2016, tahun 1980-an, ratusan dan bahkan ribuan tahun yang lalu adalah fenomena alam yang sama. Kejadian itu berulang setiap sekitar 30 tahun sekali. Tetapi yang membedakan adalah cara manusia merespon. Dan cara manusia merespon ditentukan oleh pengetahuan yang dimilikinya. Ditentukan oleh pendidikannya.
Saya kecil adalah potret dari anak dari para orang tua yang tumbuh dalam tradisional yang melihat fenomena alam dalam kaca mata mitos. Mitos menjadi keyakinan oleh sebab kedangkalan pengetahuan yang memunculkan perasaan gagal paham atas apa yang terjadi. Ketakutan saya kecil saat melihat fenomena GMT sesungguhnya ditanamkan oleh perasaan yang sama oleh para orang tua kami.
Sementara pada anakku, perasaan kegembiraan dalam tantangan padanya adalah potret dari anak yang tumbuh dari orang tuanya yang berhasil bangkit dari keterpurukan pendidikan orangtuanya dan tekun merangkai nasib menggapai pendidikan yang lebih maju. Ah,... Betapa saya berharap hal yang sama juga semakin banyak terjadi pada rekan-rekan segenerasiku di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H