[caption caption="Gerhana Matahari Total 2016"][/caption]
Ini sekitar awal tahun 1980-an. Umurku baru seusia taman kanak-kanak. Lebih kurang seumuran anakku Fadhilah saat ini. Waktu itu, perasaan takut begitu menghujam dalam. Ketakutan yang dalam atas fenomena gerhana matahari total waktu itu. Saat gerhana menjelang, aku masih tinggal di rumah nenek. Katanya, matahari sedang akan dimakan oleh Kala - semacam mahluk raksasa yang lebih kuat dari matahari. Nenek memerintahkanku jangan sekali-kali ke luar rumah.
Saat matahari gelap total, mengintip ke luar rumah pun tidak boleh. Kami tutup rapat-rapat mata dengan tangan. Takut kalau mata sedikit terbuka akan buta. Bahkan saya diminta masuk ke kolong dipan tempat tidur dan mata harus terpejam. Ngeri sekali perasaan yang aku idap waktu itu.
[caption caption="Bersama Anak dan Istri Melihat Gerhana Matahari Total 2016"]
Perasaan ini berbeda jauh dengan yang diekspresikan anakku saat terjadi Gerhana Matahari Total (GMT) kemarin (9/3/2016). Ia bahkan menyambut dengan suka cita. Tak tampak ada ketakutan sedikit pun.
Fadhilah yang baru berumur belum genap 5 tahun, sudah menunggu-nunggu saat datangnya GMT jauh hari sebelumnya. Pasalnya, saya memang menjanjikan akan mengajaknya menyaksikan peristiwa langka itu di tempt asal neneknya, pulau Bangka. Baginya, datangnya gerhana adalah sebuah keriangan yang penuh tantangan untuk berimajinasi. Dan benar, saat harinya tiba, tak tampak ada lelah sedikitpun menempuh perjalanan pergi-pulang dengan moda transportasi udara, darat dan laut dari Jakarta ke Bangka.
Saat gerhana, ia tidak sembunyi seperti kami dulu. Ia justru ke tempat lapang, bersama ribuan penyaksi lainnya. Saat momen gerhana total menjelang, kami perintahkan ia kenakan kacamata gerhananya, itupun masih sekali-sekali ia geser untuk bisa mengintip. Padahal saya kecil dulu, masuk kolong, mata merem dan tutup mata dengan telapa tangan.
Apakah tanpa imajinasi? Sebagai anak ia tentu berimajinasi mengenai fenomena itu. Sempat aku pantik imajinasinya dengan menanyakan, "itu matahari lagi dimakan bulan ya?" Tetapi ia jawab, "matahari sedang main petak umpet dengan bulan." Bedakan dengan imajinasi saat kecilku dulu, "matahari sedang merasakan sakit karena pelan-pelan mau dimakan oleh 'monster' Kala"
Perbedaan perasaan dan ekspresi antara aku kecil dengan anakku dalam merespon fenomena alam adalah potret perbedaan pendidikan dua zaman. Nenekku, orang tuaku, adalah mewakili sebuah generasi anak bangsa di mana negara ini hanya mampu memberikan pendidikan bagi segelintir rakyatnya.
Nenek dan orang tuaku adalah bagian dari mayoritas rakyat yang waktu itu tak terjangkau pendidikan modern. Bukan tidak berpendidikan, tetapi nenek dan orang tua kami waktu itu memilih 'fanatik' pada pendidikan tradisional pesantren sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim berkuasa waktu itu. Sayangnya sekolah umum waktu itu identik dengan sebuah rezim yang secara politik waktu itu keluarga kami memilih untuk berseberangan.
Tapi nenekku pun masih beruntung. Di belahan Indonesia yang lain, bahkan masih banyak yang pendidikan tradisional pun tak sempat mengenyamnya.
Kedua-duanya sama, tak mendapat akses terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Salah satu dampaknya adalah seperti yang saya ceritakam di atas, lahir generasi yang merespon negatif terhadap fenomena yang terjadi luar dirinya, di alam raya ini.
Kejadian GMT pada era tahun 2016, tahun 1980-an, ratusan dan bahkan ribuan tahun yang lalu adalah fenomena alam yang sama. Kejadian itu berulang setiap sekitar 30 tahun sekali. Tetapi yang membedakan adalah cara manusia merespon. Dan cara manusia merespon ditentukan oleh pengetahuan yang dimilikinya. Ditentukan oleh pendidikannya.
Saya kecil adalah potret dari anak dari para orang tua yang tumbuh dalam tradisional yang melihat fenomena alam dalam kaca mata mitos. Mitos menjadi keyakinan oleh sebab kedangkalan pengetahuan yang memunculkan perasaan gagal paham atas apa yang terjadi. Ketakutan saya kecil saat melihat fenomena GMT sesungguhnya ditanamkan oleh perasaan yang sama oleh para orang tua kami.
Sementara pada anakku, perasaan kegembiraan dalam tantangan padanya adalah potret dari anak yang tumbuh dari orang tuanya yang berhasil bangkit dari keterpurukan pendidikan orangtuanya dan tekun merangkai nasib menggapai pendidikan yang lebih maju. Ah,... Betapa saya berharap hal yang sama juga semakin banyak terjadi pada rekan-rekan segenerasiku di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H