Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jadi Presiden Itu Berat, Kau Takkan Kuat, Biar Aku saja

25 Agustus 2023   00:26 Diperbarui: 25 Agustus 2023   00:41 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tidak ada musuh dan teman yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan!"

Januari 2023 lalu penulis menulis di Kompasiana perihal peta perpolitikan tanah air. Ketika itu terbentuk empat koalisi (sementara) untuk Pilpre 2024 nanti.

Keempatnya adalah

  • PDIP (ketika itu masih sendiri)
  • Gerindra+PKB
  • Koalisi Perubahan (Nasdem, PKS dan Demokrat)
  • KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) terdiri dari Golkar, PAN dan PPP.

Seperti yang sudah diduga ketika itu, KIB pasti akan bubar sendiri karena tidak punya kader yang punya nilai jual untuk dijadikan sebagai sosok Capres. Daripada "merugi" mereka ini pasti akan bergabung ke koalisi lainnya.

PPP kemudian bergabung ke PDIP, sedangkan Golkar dan PAN berlabuh ke Gerindra plus PKB.

Dengan demikian kini ada tiga koalisi "yang rencananya" akan bermain pada perhelatan Pemilu 2024 nanti.

Setakat ini ada tiga Capres yang sudah dideklarasikan oleh koalisi partai yakni, Ganjar Pranowo, sang old crack, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.

Mari kita lihat lihat prospek masing-masing dari capres tersebut,

  • Ganjar Pranowo

Sejak semula nama Ganjar sudah digadang-gadang menjadi capres PDIP. Bahkan secara tersamar Jokowi juga sudah menyatakan dukungannya kepada "pria berambut putih tersebut," tapi PDIP mingkem. Namun bukan pedeipe namanya kalau tidak begitu. "Dari yang tadinya mingkem, tapi tetiba misuh!"

Belum lagi kasus "uji kesetiaan," ketika si rambut putih disuruh menolak kedatangan Timnas Israel pada ajang Piala Dunia U-20, dengan "menggadaikan" nama Sukarno. Penulis dan penggemar sepak bola yang tadinya berkata "yes" kepada Ganjar, langsung auto "tunggu dulu!" Ini adalah blunder khas PDIP. Penulis berani taruhan kalau kasus ini telah membuat elektabilitas Ganjar turun!

PDIP adalah satu-satunya partai yang bisa mengusung capresnya sendiri tanpa perlu harus berkoalisi. Hal itu rupanya membuat mereka jemawa, lalu mager. Walaupun PPP sudah bergabung, tetapi faktanya sekarang koalisi PDIP-PPP menjadi yang terkecil diantara pesaing lainnya.

Partai wong cilik ini rupanya tidak tahu kalau penghasilan pengemis itu lebih banyak dari pada penghasilan pegawai kantoran berdasi. Walaupun tidak terkena pajak penghasilan, tapi pendapatan pengemis bisa mencapai Rp 30 juta/bulan! Itu semuanya berkat uang receh. Pengemis ini pinter sekali memainkan ilmu psikologi. 

Kalau Pengemis menaruh uang gocap atau lembaran seratus ribu di gelas bekas air mineral yang menjadi wadah uang mengemis itu, maka orang-orang akan illfeel. "Lha elo... dompet gue aja kulit ketemu kulit, elo punya duit gocap dan seratusan, masih ngemis juga!" Akhirnya si pengemis tadi malah dihipnotis. Uang gocap dan seratusan ribu tadi lalu berpindah tangan! Hahaha.

Jadi dengan menaruh uang receh di tempat kecil (bukan di ember juga) itu akan membuat orang menaruh belas kasihan, lalu memberikan uang receh yang kalau dikumpulkan, hasilnya bisa sampai sejeti per hari.


Lalu apa korelasi uang receh dengan PDIP?

Nah, beberapa waktu lalu rupanya ada Relawan Jokowi yang mengalihkan dukungan mereka kepada Prabowo. Padahal mereka ini tegak lurus dengan Jokowi. Rupanya mereka ini merasa terabaikan, karena tidak dilibatkan dalam proses pencapresan Ganjar.

"Lha elo...recehan mau ikutan urusan capres!" Begitulah kira-kira kata Mak Nyak alias Nyonya Besar.

Kemarin juga PSI (Partai Solidaritas Indonesia) akhirnya mengalihkan dukungan mereka kepada Prabowo. Padahal tadinya mereka ini mendukung Ganjar, bahkan sebelum PDIP sendiri mendukungnya! Hahaha.

Ini kan aneh pakai banget. Sebagai pendukung berat Jokowi, PSI sejatinya tegak lurus dengan PDIP, tapi kini malah menjauh. Dulu mendukung Ganjar, dimarahi! Kini gak dukung Ganjar, ya podo wae, dimarahi juga, hahaha.

Inilah yang penulis sebut PDIP mengabaikan hal-hal yang dianggapnya receh (seperti dalam kasus uang receh pengemis tadi) Tentunya PDIP berpikir kalau suara Pilpres itu berada di tangan rakyat, bukan di tangan koalisi partai. Itulah sebabnya PDIP tidak begitu agresif untuk bersinergi dengan pihak-paihak lain.

Namun ternyata dua pesaing PDIP justru menggarap hal ini dengan serius. Prabowo tentu sangat serius ketika ia mau bertandang ke markas PSI! Ia juga sangat serius ketika menerima Budiman Sujatmiko dengan tangan terbuka.

Anies tentu sangat serius ketika ia mau menyambangi majelis taklim-majelis taklim yang bahkan berada di gang-gang di seantero negeri ini. Sebab hal itu pula lah yang menghantarkannya bisa duduk sebagai Gubernur DKI Jakarta dulu. Dukungan-dukungan receh kalau dikumpulkan tentunya akan menjadi besar bukan?

  • Prabowo Subianto

Practice makes perfect dan pengalaman adalah guru terbaik. Sering-sering berada di posisi capres tentunya membuat Prabowo sadar dan paham bagaimana caranya untuk menjadi presiden beneran. 

Berada di kabinet bersama seorang presiden beneran pun membuatnya semakin paham "apa yang harus, dan apa yang tidak boleh dilakukan." Bukan hil yang mustahal pula kalau "petugas partai" itu kelak akan menjadi sekondannya, bila harinya tiba.

Kunjungannya ke kantor PSI, dan kemudian pertemuannya dengan Budiman Sudjatmiko tentunya mempunyai makna politis yang tinggi. Budiman adalah sosok penting PDIP (bukan karena ketokohannya) tetapi karena ia bisa dipakai sebagai "jualan masa lalu," betapa kejamnya rezim Orba terhadap wong cilik!

Dalam dunia perpolitikan tanah air, PSI dan Budiman tentulah hanya sekedar "uang receh saja." Akan tetapi hal itu sangat besar manfaatnya untuk menunjang popularitas Prabowo di kalangan milenial dan Gen Z.

Budiman kini malah menjadi pendukung berat Prabowo. Mungkin saja nama Budiman ini dianggap ampuh menjadi "deterjen" untuk membersihkan kotoran masa lalu. Akan tetapi, bukankah semua pihak perpolitikan di tanah air selalu menjual masa lalu untuk kepentingan politik mereka itu?

Orba menjual "keganasan PKI" sebagai alat politik, tanpa pernah juga membantu "korban PKI." Lebih dari setengah juta jiwa orang-orang yang dianggap PKI kemudian menghilang dari negeri ini.

Ketika masanya tiba, "Orde Reformasi" kemudian datang dengan menjual "keganasan Orba" sebagai alat politik. Di zaman Orba anggota parlemen mengenal "kata sakti 4 D," Datang, Duduk, Diam dan Duit.

Kala itu parlemen tidak gaduh dan belagu. Sekarang orang parlemen justru tengil karena bancakan proyek justru dimulai dari sana!

Tanpa rasa malu, mereka ini saling gosok, gesek dan gasak untuk mengejar bancakan!

Akan kah PSI, Budiman dan lain-lainnya itu sukses untuk mendongkrak suara Prabowo?  Wallahu a'lam.

Kalau ada yang datang, tentu ada yang pergi. Prabowo sepertinya akan kehilangan kelompok agama aristokrat dan fundamentalis yang selama ini mendukungnya. Yang tersisa kini adalah kelompok agama yang dianggap liberal dan kaum abangan, tapi justru suara mereka ini lah sebenarnya lebih banyak.

Berkat dukungan Golkar dan PAN yang datang merapat, maka kini koalisi gemuk Gerindra menjadi yang terdepan dalam perburuan kursi Capres 2024.

  • Anies Baswedan

Anies menjadi orang pertama yang dideklarasikan menjadi capres 2024. Memang ketika itu suasananya agak haru, karena yang mendeklarasikan adalah Nasdem. Dengan perolehan suara sebesar 9,05 persen saja tentunya Nasdem tidak bisa sendirian mencalonkan capresnya.

Untunglah PKS dan Demokrat kemudian datang merapat, tentunya dengan beberapa alasan. Buat PKS tentunya karena di tempat lain mereka ini kurang diterima, plus kedekatan emosional dengan Anies.

Sama seperti PKS, Demokrat juga kurang diterima karena Demokrat maunya AHY menjadi Capres/Cawapres. Ketika jatah Capres sudah menjadi milik Prabowo, tentunya jatah Cawapres pastinya diminati Golkar dan PKB yang lebih besar suaranya dari pada Demokrat. Akhirnya Demokrat pun merapat ke Koalisi Perubahan dengan harapan bisa mendapat jatah Cawapres buat AHY. 

Walaupun lebih awal terbentuk, tapi koalisi ini rawan konflik kepentingan.

Masalah AHY ini lah yang menjadi batu sandungan bagi Koalisi Perubahan sampai saat ini. Friksi saling tuduh di antara Nasdem dengan Demokrat sering terjadi. Akibatnya elektabilitas Anies pun terus tergerus.

Kalau Demokrat tidak mendapat jaminan AHY menjadi Cawapres, maka Demokrat akan mundur. Otomatis koalisi ini akan bubar. Itulah sebabnya Demokrat terus menagih Anies soal deklarasi Cawapres ini.

Situasi pelik tentu dialami Nasdem. Mereka tertekan "lahir batin!" Sudah berkorban banyak uang dan perasaan untuk koalisi ini, hanya untuk menuai kekecewaan. Sebaliknya dengan Anies, PKS dan Demokrat yang bersikap nothing to lose.

Di Koalisi Perubahan ini Anies tidak perlu keluar modal. Jadi kalau koalisi ini bubar, ya sudah. Mungkin belum rezekinya saat ini menjadi Capres. Namun apabila dari hasil survey elektabilitas koalisi gemuk Gerindra semakin meningkat, maka tidak tertutup kemungkinan PDIP akan menarik Anies menjadi Cawapres Ganjar!

Kalau sudah begini, maka Anies akan berkata, "bye bye" kepada Koalisi Perubahan! Hahaha

Kalau Anies nantinya merapat ke PDIP, maka ini akan menjadi Sejarah baru dalam dunia perpolitikan Indonesia! Capres dari koalisi tiga partai penantang kabur untuk menjadi Cawapres di partai petahana, hahaha.

Situasi di Koalisi Perubahan ini memang sangat pelik, dan sulit diprediksi. Jadi sebaiknya kita tunggu saja sampai pengumuman resmi dari KPU.

Wassalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun