Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Jokowi Ledek Surya Palloh

26 Januari 2023   20:10 Diperbarui: 26 Januari 2023   20:19 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua orang lelaki yang sedang ngopi di sebuah warkop kaget ketika mendapati dua ekor lalat mengapung di kedua gelas mereka. Kebetulan mereka ini sedang menunggu giliran untuk mencoblos di TPS dekat warkop tadi. Pemilih realistis kemudian memanggil pelayan untuk memesan segelas kopi lagi. Tak lama kemudian pelayan datang membawa segelas kopi baru tanpa lalat.

Pemilih emosional juga memanggil pelayan, lalu memakinya sembari menunjuk gelas berisi lalat tadi. Pelayan kemudian pergi membawa gelas. Sesampai di dapur, ia kemudian mengupil, lalu mengambil lalat malang itu dari dalam gelas dengan jarinya. Tak lama kemudian pelayan tersebut datang membawa "segelas kopi lama" tanpa lalat

Beberapa waktu lalu Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres pada Pilpres 2024 mendatang. Pemilih emosional kemudian tertawa kegirangan. Sebaliknya Pemilih realistis bersikap skeptis. Apakah Nasdem benar-benar sudah menghitung untung-rugi ketika mencalonkan seseorang pada Pilpres 2024 mendatang, padahal KPU sendiri belum membuka pendaftaran?

Berdasarkan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, syarat parpol mengajukan capres cawapres di Pilpres 2024 mendatang setidaknya harus memiliki paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR 2019 lalu.

Seperti kita ketahui, perolehan suara Nasdem pada Pemilu 2019 lalu adalah sebesar 10,26%. Artinya Nasdem sendiri tidak bisa mengajukan capres-cawapres di Pilpres 2024 mendatang.

Akhirnya Nasdem mencoba berkoalisi dengan Demokrat dan PKS. Tiga purnama pun berlalu, tapi belum ada kemajuan yang dicapai. Target Demokrat tentunya adalah AHY duduk sebagai cawapres Anies plus jatah beberapa menteri sekiranya mereka bisa memenangkan Pilpres 2024 nanti. Itu adalah harga mati tanpa bisa ditawar. Akan halnya PKS, setelah tersandung kasus "Jenderal kardus" pada Pilpres lalu, mereka kini menetapkan Cawapres sendiri juga.

Nasdem pun seperti memakan buah simalakama. "Tak dimakan mati gebetan, kalau dimakan mati pula selingkuhan." Soalnya bukan apa-apa, hanya Demokrat (jumlah suara 9,39%) dan PKS (jumlah suara 8,7%) saja parpol yang paling realistis bisa dijadikan konco untuk perhelatan Pilpres 2024 nanti.

Teranyar, Golkar, PPP dan PAN membentuk koalisi baru bernama, KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) Ketiganya tentu saja akan mengusung Ketum parpol mereka sendiri sebagai Capres/Cawapres nantinya.

Walaupun memang sangat tipis kemungkinan menang bagi KIB seandainya mereka memaksa mengusung calon dari kader sendiri nantinya. Jadi ada kemungkinan "wani piro" sebagai bentuk kata pengganti frasa "jenderal kardus" untuk Pilpres 2024 nanti.

Akan tetapi keputusan soal ini pasti nantinya akan terjadi pada "last minute" pemasukan nama Capres/Cawapres dari parpol ke KPU. "Mangga yang matang di pohon tentunya lebih mahal harganya daripada mangga yang dipetik lalu kemudian diperam." Iya kalau mangga tersebut dijual ke yang bersangkutan. Lha, kalau dijual ke orang lain, batal deh makan mangga tahun 2024 nanti, wkwkwk.

Kalau Gerindra sendiri telah jelas "Usul-asalnya!" Tiga kali nyapres untuk kemudian gagal maning, tidaklah menyurutkan asa Gerindra untuk tetap setia mengusung nama sang Ketum sendiri.

Jadi bagi Gerindra haram hukumnya untuk mengusung nama Ketum parpol lain, termasuk juga nama mertua sendiri untuk diusung menjadi Capres 2024 nanti.

Kalau PDIP tidak usah ditanya, aku moh! Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya? Mukamu cepmek bertanya-tanya? Kata Nyonya besar marah-marah!

Teranyar PKB kemudian bersekutu dengan Gerindra membentuk dwitunggal untuk Pilpres 2024 mendatang. Dengan demikian posisi sementara untuk "perpilpresan 2024" adalah sebagai berikut,

  • PDIP sendirian ataupun bersama parpol lainnya akan menentukan Capres/Cawapres dari kader sendiri.
  • KIB trio ataupun bersama parpol lainnya akan menentukan Capres/Cawapres yang cocok dengan "kebutuhan internal koalisi."
  • Gerindra+PKB akan mengusung Prabowo plus Cawapres dari parpol/pihak lain yang dianggap mampu menambah perolehan suara.
  • Nasdem tentunya perlu effort besar mewujudkan koalisi dengan Demokrat dan PKS, agar bisa mengusung pasangan Anies-AHY. Ini memang pekerjaan berat, mengingat besar kemungkinan PKS tidak mau ketiban "isu kardus lagi."
  • Kalau sekiranya koalisi Nasdem, Demokrat dan PKS ini gagal terwujud, maka "ongkos politiknya" akan sangat mahal sekali untuk merayu salah satu atau salah dua anggota KIB untuk bergabung.

Sebagai catatan, adalah sebuah "hil yang sangat mustahal" kalau sekiranya PKS tidak mendukung Anies. Sebab grassroot-nya memang di situ! Pemilih PKS adalah "Islam Kanan" yang sangat jelas identitasnya, dan sampai sekarang ini sosok Anies adalah pilihan yang tepat. Kandidat lain memang Islam juga, tetapi ditengarai sebagai "Islam abangan, atau Islam liberal." Kalau nanti PKS memilih Ganjar/Puan atau Prabowo, maka kursi PKS di Senayan dipastikan akan hantjoer berantakan.

Jadi dalam hal ini SP (Surya Palloh) bisalah tersenyum, sebab PKS tidak akan mungkin pindah ke lain hati. Sayangnya jumlah suara Nasdem dan PKS berdua belum cukup untuk mengusung Capres sendiri.

Sama halnya dengan Gerindra, target Demokrat adalah Capres/Cawapres, dan itu adalah harga mati. Tidak ada istilah "wani piro" bagi mereka, yang ada hanya, "ente jual ane beli!" Jadi kini SP harus berpikir keras bagaimana mengkondisikan semuanya ini agar berjalan lancar nantinya.

***

"Tidak ada musuh dan teman yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan!"

Saat ini Nasdem mendapat tekanan hebat dari masyarakat, mengingat Nasdem (dengan tiga orang menteri di kabinet) adalah bagian dari Pemerintahan (Jokowi)

Jangankan bintang-bintang yang bertaburan di langit sana, semut merah yang berbaris di dinding tanpa menatapku curiga saja tahu kalau Anies itu adalah antitesis Jokowi!

Ketika Jokowi melakukan Normalisasi saluran, maka Anies menawarkan Naturalisasi (yang sayangnya hingga akhir jabatannya tidak dilaksanakan juga!) Lah, bijimana melaksanakannya kalau Petunjuk Teknis Pelaksanaannya dari Gubernur tidak pernah ada. Lah, bagaimana tukang insinyiur bisa menyusun Petunjuk Teknis kalau di buku Teknik Sipil sendiri tidak ditemukan rumus untuk perhitungan Naturalisasi!

Akhirnya Nasdem terkesan seperti sedang menjalankan "politik dua kaki." Yah, orang Nasdem bisa saja berkilah kalau Nasdem akan tetap setia mengawal Jokowi sampai akhir masa jabatannya, tetapi sembari mendukung Anies juga untuk pencalonan presiden 2024 nanti.

Di tangan kanan Om Bewok ada madu, di tangan kiri ada racun. Ketika Pakde bertanya, "Apa yang akan kau berikan padaku?"

"Keong ratjoen Pakde" jawab Om Bewok tersipoe maloe.

Bagi penulis tentunya tidak masalah kalau Nasdem hendak mendukung Anies atau siapapun, apalagi Jokowi pun tidak bisa dipilih lagi. Akan tetapi seyogianya parpol itu bisa menjadi contoh yang baik untuk memberikan pendidikan politik yang patut dan elegan bagi masyarakat awam agar tidak ada "dusta di antara kita." 

Kalau parpol masih suka melakukan "akobat politik," maka jangan heran kalau di pintu rumah warga akan ditemukan stiker, "Menerima serangan fajar, wani piro? NB : Setia sampai akhir. "

"Kamu pasti nanya? Kamu juga bertanya-tanya?" Kalau parpol lain mengusung kandidat/Ketum partai sendiri, mengapa Nasdem tidak mengusung kandidat/Ketum partai sendiri sebagai Capres/Cawapres pada Pilpres 2024 nanti?

Jawabannya sederhana. Ini bukan urusan (partai) politik tapi urusan (partai) bisnis yang harus menghitung untung-rugi. Apalagi kandidat/Ketum partai sendiri pun tidak laku dijual!

Bukankah seharusnya partai politik itu punya integritas? Pasti pertamanya suaranya kecil, tapi tetap setia mengusung kandidat sendiri. Lama kelamaan masyarakat akan menilai kalau parpol ini punya integritas, lalu mereka pun bergabung dengan parpol tersebut. Akhirnya parpol tersebut menjadi besar dan punya kandidat yang punya integritas berkat pengkaderan partai dan dukungan anggota partainya sendiri.

Lah, kalau pemegang kartu anggota Nasdem nantinya disuruh mendukung Kader/Ketum parpol PKS, ini kan namanya politik kaki lima, apalagi platform kedua parpol ini sangat jauh berbeda. wkwk.

***

"Apapun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro." Apapun parpolnya, presidennya Anies Baswedan. 

Pengamat politik "kelas Senayan" ataupun "kelas warkop" pastinya paham akan realita ini. Anies itu memang punya basis pendukung non-parpol yang kental. Artinya pendukung Anies dengan sendirinya akan mendukung parpol pendukung Anies ke Senayan. Dan satu hal lagi, pendukung Anies tidak akan pernah memilih PDIP!

Khusus "wong cilik," menurut penulis, persentasi suara mereka di Senayan 2024 nanti tidak akan jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya, sebab "seorang marhaen pastinya akan selalu berbaju merah."

Dengan adagium di atas, kini pengurus parpol tinggal "pegang kalkulator" untuk menghitung potensi suara pendukung Anies dan suara "wong cilik, alias marhaen berbaju merah" tadi.

Dalam politik hal ini disebut juga sebagai coat-tail effect atau "efek ekor jas," yakni potensi pertambahan jumlah suara yang bisa diperoleh parpol dengan mengusung tokoh yang populer di masyarakat.

Namun namanya berdagang kan tidak selalu bisa untung, bisa juga buntung. Surya Palloh tentunya sudah punya hitung-hitungan soal ini.

Penulis berandai-andai, sekiranya penulis menjadi Ketum Nasdem, penulis juga pasti akan memilih Anies Baswedan! Namun deklarasinya tidak sekarang! 


Memang dalam politik tidak ada musuh dan teman yang abadi. Namun SP sering melakukan manuver berbahaya, (diantaranya Pertemuan Gondangdia jilid I dan jilid II untuk mengantisipasi "diplomasi nasi goreng Mega-Prabowo" dan "diplomasi sate senayan Jokowi-Prabowo" 2019 lalu) termasuk juga deklarasi Anies ini, ketika Nasdem justru masih berada dalam koalisi pemerintahan.

Akhirnya orang parpol berkata, "He's not a good friend" tersebab SP bisa menggunting dalam lipatan. Pakde pun lalu menasehati cucunya yang gak bisa diem itu, "a friend in need is a friend indeed, are you still my friend?"

"No!" jawab cucunya sambil berlari dengan kaos kutang!

Jadi langkah politik SP berpaling ke kanan memang sudah tepat, sebab susah rasanya parpol nasionalis mau berkongsi lagi dengannya. Yah cuma itu tadi, kita ini kan "Orang Timur" yang masih perlu mengedepankan etika, apalagi terhadap "orang yang lebih tua."

Jadi hati boleh panas, ego menggelegak, tapi pala harus tetep adem. Selamat berjuang bagi Nasdem, semoga nanti suaranya tidak tergerus seperti PBB dan Hanura...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun