Kalau seorang perempuan mau berjuang keras untuk mendapatkan calon suaminya, maka ia akan mau pula berjuang keras untuk mempertahankan suaminya kelak!
Emosiku sudah reda dan tangisku pun sudah berhenti. Mataku kemudian beradu pandang dengan Maya yang menatapku dengan rasa sayang. "Aku belum pernah melihat kamu menangis, pasti bebanmu berat sekali." katanya sambil menyeka wajahku dengan tisu.
Duh Gusti, aku tak menyangka kalau responnya seperti ini. Maya bahkan terlihat seperti ibuku saja. Akan tetapi hal itu malah membuatku jadi grogi.
"Kamu harus tahu sayang, kita tidak pernah putus. Emangnya kita putus? Kapan coba kita putus? Kita terakhir ketemu waktu kamu mengunjungi aku ke Australia setahun lalu. Setelah itu kita berantem, gak ngomongan, tapi kita gak pernah putus. Emangnya kapan kamu putusin aku? Gak pernah! Jadi kita akan menghadapi persoalan ini bersama-sama!"
Aku kaget mendengar perkataan Maya, tapi sebelum aku berbicara ia sudah berbicara lagi. "inilah akibatnya kalau pasangan kehilangan komunikasi dan kebersamaan, maka orang ketiga pasti akan hadir di antara mereka. Apakah kita akan membiarkan ada orang ketiga di antara kita? Tidak! Tidak akan pernah! Kita telah melakukan kesalahan, tapi kita akan memperbaikinya sayang. Trust me, everything will be ok. Aku janji sayang!"
Maya kemudian menyenderkan tubuhnya ke bahuku. Ia kemudian mulai menangis terisak-isak. Aku tak pernah melihatnya menangis. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku kemudian memeluknya dan ia kemudian membenamkan kepalanya ke dadaku. Aku diam saja karena tak tahu harus ngomong apa.
"Aku juga salah, seharusnya aku membiarkanmu dulu tinggal bersamaku di Australia." katanya lagi sambil menangis. Aku kemudian membelai rambutnya sampai kami kemudian tertidur.
Kartu kini sudah terbuka. Artinya Maya sudah mengetahui kehadiran Ratih. Setidaknya aku tidak perlu harus menutupi keberadaan Ratih. Apakah itu membuat posisiku lebih baik? Pastinya tidak!
Saat ini Maya memang masih memberiku kesempatan untuk menyelesaikan sendiri hubunganku dengan Ratih. Akan tetapi cepat atau lambat akan tiba masanya "hari penghakiman." Maya pasti akan segera turun tangan ketika dirasanya tidak ada proges dalam masalah ini.
Sebenarnya ada juga rasa kesal yang kurasakan karena merasakan sedikit intimidasi dari Maya. Aku berhak dong memutuskan siapa yang akan menjadi pacarku. Akan tetapi tiba-tiba aku merasa ada juga perlunya konflik seperti ini, mirip-mirip dengan Manajemen konflik yang selalu diterapkan di berbagai perusahaan.
Apalagi aku sebenarnya bukan hanya sekedar mencari pacar, tetapi juga calon istri. Aku tentunya berhak mendapatkan calon terbaik yang memang sungguh-sungguh bukan sekedar menginginkanku saja, tapi juga mau berjuang keras untuk mendapatkanku.
Bukan apa-apa, ada beberapa orang yang kukenal ditinggal istrinya ketika dianya bangkrut dan kemudian menjadi kere atau sakit keras. Aku sungguh tak mau bernasib begitu!
Kalau seorang perempuan mau berjuang keras untuk mendapatkan calon suaminya, maka ia akan mau pula berjuang keras untuk mempertahankan suaminya kelak! Tidak terbayang kalau aku sampai ditinggal istri, apalagi pas sayang-sayangnya. Matek aku!
Entah kenapa tiba-tiba ada rasa aneh yang kini mulai menggangguku. Ada rasa sakit hati kepada Maya yang sebelumnya tidak pernah kurasakan! Aku menuduh Maya yang menjadi penyebab semua kegilaan ini. Seandainya ia dulu mau menerima ideku, maka kami pasti akan tetap bersama dalam kebahagiaan. Namun ia malah membiarkanku terperosok terlalu jauh bersama Ratih. Ketika Ratih kemudian keguguran maka semuanya menjadi berubah. Aku lalu mengikatkan jiwa- ragaku pada Ratih!
Masa bulan madu bersama Maya tampaknya sudah usai. Kisah manis beberapa minggu ini bersamanya kuanggap sebagai hal yang wajar saja bagi para mantan yang sudah lama tidak bertemu. Tidak diharapkan, tapi sudah terjadi. It just happened dan tidak perlu disesali karena tidak ada gunanya. Sekarang waktunya move-on dan bangkit dari mimpi, sebab yang ada hanyalah "Ratih, Ratih, Ratih."
Sayup-sayup aku mendengar lagu lawas dari Phill Collins, "If leaving me is easy, and you know coming back is harder..." Yupp, Maya tidak bisa datang tiba-tiba seenaknya ke kehidupanku seakan-akan tidak ada yang berubah dalam kehidupan kami berdua. Jancok tenan rek, sekarang aku harus mulai menentukan sikap!
***
Â
Haruskah aku berbicara kepada Ratih soal Maya? Separuh cintaku kepada Maya tampaknya sudah sirna. Kalau nanti aku ke Surabaya, aku akan membicarakannya lagi dengan Maya. Aku yakin kalau ia akan berbesar hati dan mengikhlaskan aku dengan Ratih. Apalagi Ratih adalah cinta pertamaku. Kata orang First love never dies. Jadi sebaiknya tidak usah membahas Maya dengan Ratih, nanti melukai hatinya.
Akan tetapi sungguh tidak adil kalau aku sampai tidur dengan orang lain tanpa sepengetahuan pacarku! Bagaimana kalau Ratih tahu dari orang lain? Bagaimana kalau tiba-tiba video bokep "1o detik Hot Soerabaja" beredar di jagad maya, dan aktornya adalah aku bersama Maya? Mampoes aku!
Jadi sebaiknya aku harus cepat-cepat "mengaku dosa" sebelum terjadi "hari kiamat," dan pintu neraka keburu dibuka!Â
Tapi bagaimana mengatakannya? Apakah cerita dulu baru nangis, atau nangis dulu baru cerita? Duh Gusti, bantulah hambamu yang celaka ini duh Gusti.
Akhirnya akupun membuat pengakuan sehabis makan malam bersama Ratih. Aku menangis terisak-isak karena menahan malu dan takut. Rasanya sedih sekali ketika kita mengkhianati orang yang kita sayangi. Akan tetapi aku sudah pasrah. Aku pasti dimarahi dan bisa saja diputuskan Ratih.
Aku tidak berani menatap Ratih. Aku menyembunyikan wajahku dengan cara menunduk sambil sesekali menyeka air mataku.Â
"Aku benci kamu, benci banget! Kamu tega bohongin aku. Kamu pikir aku gak tau? Aku sih udah curiga, mosok tiap minggu ke Surabaya? Dasar lon*e, enak aja merebut pacar orang! Dulu dia kan udah ninggalin kamu? Kamu sih yang bego, mau aja ketemu dia lagi!"
Waduh nyonya besar murka. Tadinya aku sudah mau bilang, "Maya itu bukan lon*e," tapi tak jadi karena pasti akan semakin membuat nyonya besar marah, dan dianggap aku membela si lon*e itu. Waduh aku koq jadi ikut-ikutan. Duh Gusti, ampuni dosa hamba ini Gusti.
"Kamu juga sih! kalo dulu kalian pisahnya jelas, kan enak. clear. Sekarang dia besar kepala karena merasa kalian gak pernah putus! Kampret!" Ratih terus saja nyerocos seperti peluru mitraliur tanpa henti.
Aku tetap saja berdiam diri sambil sesekali melatih pernafasan. "Tarik nafas panjang, tahan, dan lepaskan perlahan." Menghadapi perempuan yang sedang marah memang sebaiknya berdiam diri saja. Belajarlah menghadapi kenyataan! Jangan sampai lupa protap, "Masuk telinga kiri, keluar dari telinga kanan. Kalau masuk dari telinga kanan, jangan ditahan, nanti bisa mabok! Cepat-cepat keluarkan dari telinga kiri."
Entah sudah berapa lama Ratih marah-marah. Sungguh inilah pertama kalinya aku melihat Ratih marah. Aku jelas keder melihatnya. Tiba-tiba ia mendekatiku, "Tapi aku gak mau pisah sama kamu." katanya sambil memelukku.Â
Duh Gusti, kalau main bola ini pasti sudah menit ke-89! Akupun segera memeluknya sambil berbisik penuh penyesalan, "Aku juga gak mau pisah sama kamu, maafin aku ya sayang."
Aku jadi ingat seorang pundit sepak bola yang sering mengatakan, "Sekalipun gawang elo kemasukan banyak, sepanjang elo lebih banyak masukin gol ke gawang lawan, you still win the game!"
Nah, kalimat Ratih terakhir itu adalah pertanda bahwa aku lebih banyak memasukkan gol ke gawang lawan. "Prittt, wasit kemudian meniup peluit panjang untuk mengakhiri pertandingan!"
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H