Tapi bagaimana mengatakannya? Apakah cerita dulu baru nangis, atau nangis dulu baru cerita? Duh Gusti, bantulah hambamu yang celaka ini duh Gusti.
Akhirnya akupun membuat pengakuan sehabis makan malam bersama Ratih. Aku menangis terisak-isak karena menahan malu dan takut. Rasanya sedih sekali ketika kita mengkhianati orang yang kita sayangi. Akan tetapi aku sudah pasrah. Aku pasti dimarahi dan bisa saja diputuskan Ratih.
Aku tidak berani menatap Ratih. Aku menyembunyikan wajahku dengan cara menunduk sambil sesekali menyeka air mataku.Â
"Aku benci kamu, benci banget! Kamu tega bohongin aku. Kamu pikir aku gak tau? Aku sih udah curiga, mosok tiap minggu ke Surabaya? Dasar lon*e, enak aja merebut pacar orang! Dulu dia kan udah ninggalin kamu? Kamu sih yang bego, mau aja ketemu dia lagi!"
Waduh nyonya besar murka. Tadinya aku sudah mau bilang, "Maya itu bukan lon*e," tapi tak jadi karena pasti akan semakin membuat nyonya besar marah, dan dianggap aku membela si lon*e itu. Waduh aku koq jadi ikut-ikutan. Duh Gusti, ampuni dosa hamba ini Gusti.
"Kamu juga sih! kalo dulu kalian pisahnya jelas, kan enak. clear. Sekarang dia besar kepala karena merasa kalian gak pernah putus! Kampret!" Ratih terus saja nyerocos seperti peluru mitraliur tanpa henti.
Aku tetap saja berdiam diri sambil sesekali melatih pernafasan. "Tarik nafas panjang, tahan, dan lepaskan perlahan." Menghadapi perempuan yang sedang marah memang sebaiknya berdiam diri saja. Belajarlah menghadapi kenyataan! Jangan sampai lupa protap, "Masuk telinga kiri, keluar dari telinga kanan. Kalau masuk dari telinga kanan, jangan ditahan, nanti bisa mabok! Cepat-cepat keluarkan dari telinga kiri."
Entah sudah berapa lama Ratih marah-marah. Sungguh inilah pertama kalinya aku melihat Ratih marah. Aku jelas keder melihatnya. Tiba-tiba ia mendekatiku, "Tapi aku gak mau pisah sama kamu." katanya sambil memelukku.Â
Duh Gusti, kalau main bola ini pasti sudah menit ke-89! Akupun segera memeluknya sambil berbisik penuh penyesalan, "Aku juga gak mau pisah sama kamu, maafin aku ya sayang."
Aku jadi ingat seorang pundit sepak bola yang sering mengatakan, "Sekalipun gawang elo kemasukan banyak, sepanjang elo lebih banyak masukin gol ke gawang lawan, you still win the game!"
Nah, kalimat Ratih terakhir itu adalah pertanda bahwa aku lebih banyak memasukkan gol ke gawang lawan. "Prittt, wasit kemudian meniup peluit panjang untuk mengakhiri pertandingan!"