Sore ini aku sedang berziarah ke makam Armand. Entah mengapa aku sering kali berziarah ke makam Armand. Padahal sebelumnya aku tak pernah berziarah. Bahkan aku cenderung takut kalau melintasi sebuah pekuburan. Sewaktu masih kecil, kalau melewati Tanah Kusir, sekalipun di siang hari, maka aku akan menutup mataku rapat-rapat. Konon katanya di pekuburan itu banyak arwah-arwah penasaran bergentayangan, Hi hi!
Pekuburan ternyata menjadi tempat yang paling tepat dan bijaksana untuk refleksi diri. Melepaskan unek-unek, mencari jawaban dari satu permasalahan, dan juga untuk bersyukur! Yah, bersyukur karena sekalipun kere, jomlo dan menderita, tapi masih hidup. Masih bisa ketawa dan yang paling penting masih bisa jatuh cinta!
Sudah sebulan ini aku "putus hubungan" dengan Maya. Kami berantem dan sama-sama marah. Ego yang besar membuat kami tak sudi menjadi orang pertama yang memulai telfon. Mungkin sebaiknya begitu saja. Dulu juga aku sudah katakan, lebih baik hubungan kami di-pending dulu. Pacaran ala LDR ini terlalu berat. "Aku bukan Dilan." Aku tak kuat menanggung rindu dan cemburu.
Maya kini dekat dengan Daniel, teman sekampusnya. Aku kenal Daniel di Australia karena dulu sering bermain sepak bola dengannya. Daniel anak Indo yang tinggal di Australia. Anaknya baik, ramah dan yang pasti guantengnya poll. Maya selalu berkata tidak ada hubungan khusus dengan Daniel, hanya teman biasa saja. Akan tetapi hatiku selalu resah binti gelisah, dan aku tak pandai pula untuk menyembunyikannya!
Ah, ingin rasanya percaya sepenuhnya kepada Maya. Akan tetapi faktanya akulah yang selalu kena ghosting dan menjadi korban dalam hubungan asmaraku. Ibarat mobil, aku ini mobil sejuta umat lawas. Daniel itu HRV-nya. Mosok cewe cakep lebih memilih mobil sejuta umat daripada HRV? Yah, aku mencoba realistis saja. Aku akan menghapus wajah Maya dari memori hatiku.
Entah mengapa aku kini jadi suka merokok. Memang hanya sekedar dinyalain, lalu dipegang-pegang saja. Sesekali dihisap walaupun membuat mata perih dan batuk kecil. Namun aku penasaran, dan mencoba menemukan sensasi dari balik sebatang rokok yang menyala-nyala itu.
Tiba-tiba aku terkejut ketika melihat sosok Ratih yang berjalan ke arahku. "Hai Rat," aku menyapanya.
"Hai Bram, sorry. Aku sebenarnya tak ingin mengganggu, tapi aku udah lebih dari sejam menunggu kamu. Ini uda sore, aku cuma mau meletakkan kembang aja di makam Armand."
"Oh gitu, aduh Rat, aku minta maaf ya jadi mengganggu. Aku kebetulan aja lewat sini, jadi mampir sebentar. Eh rupanya jadi kelamaan, maaf ya. Aku pergi dulu."
"Eh, gapapa Bram, aku juga mau pergi." kata Ratih sambil meletakkan kembang di makam.
Aku kemudian mengeluarkan kembang yang tadi kubawa dari vas agar Ratih bisa memasukkan kembang yang dibawanya tadi ke dalam vas itu.
"Eh gapapa Bram, kembangnya jangan dikeluarin, semua kembangnya bisa masuk koq dalam vas ini."
Duh Gusti, aku koq jadi nganu ya gara-gara vas ini.
"Gak terasa ya Bram, Armand udah tiga bulan aja perginya."
"Iya ya, tapi kamu baik-baik aja kan Rat?"
"Sejak kamu kabur ke Surabaya dulu, aku tidak pernah baik-baik lagi Bram!"
Duh Gusti, aku tidak percaya pada apa yang kudengar barusan! Rasanya seperti disamber petir di "sore bolong!" Aku tak tahu harus berkata apa.
"Aku benci sama kamu Bram, benci banget!"
"Aaa ah aku.. aku minta maaf sama kamu Rat." kataku terbata-bata.
"Ah sudahlah, semuanya juga sudah berlalu. Aku cuma mau supaya kamu tahu aja Bram, aku dipaksa harus menunggu sepuluh tahun untuk mengatakan ini, karena kamu gak pernah ngasih kesempatan padaku untuk ngomong!" Tiba-tiba Ratih menangis terisak-isak.
Duh Gusti, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku juga tidak pernah menyangka kalau aku ternyata sejahat ini padanya. Aku memang tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara.
Aku kabur, bahkan beberapa kali mengganti nomer telpon, semata agar ia tidak bisa menghubungiku. Aduh, aku ternyata kekanak-kanakan sekali. Duh Gusti, aku malu sekali. Kalaupun tidak mau berhubungan lagi, seharusnya aku bicara baik-baik kepadanya.
Aku kemudian memeluk Ratih, "Aduh Rat aku baru sadar, aku malu sekali, aku minta maaf banget sama kamu Rat." Aku kini menangis sambil menahan malu dan rasa sedih.
Entah berapa lama kami berpelukan sambil menangis. Anehnya aku merasakan kelegaan. Apapun itu, selama ini ada perasaan tidak enak yang mengganjal ketika berbicara tentang Ratih. Seperti sebuah unfinished business.
Sayangnya berujung aib bagiku. Aku menemukan diriku ternyata cumah seorang bocah yang kekanak-kanakan, yang lebih suka kabur daripada secara gentleman menyelesaikan setiap masalah. Apapun itu aku kini menerimanya dengan ikhlas, sebab tanpa itu aku tidak akan pernah bisa menjadi pria dewasa!
Aku kemudian menyeka air mata Ratih dengan sapu tangan, lalu merapikan rambutnya yang berantakan. "Rat, kamu mau maafin aku kan?" kataku sambil memegang kedua bahu Ratna.
Ratih menatapku dalam-dalam, lalu mengangguk.
"Ngomong dong Rat, aku takut.."
"Iya, aku sudah maafin kamu koq, tapi yang lebih penting unek-unekku selama ini sudah lepas."
"Eh ini udah malem, kita pulang aja ya. Mobilmu parkir di mana Rat?"
"Tadi aku naik taksi Bram. Mobilku rusak, akinya ngadat."
"Yah uda aku antar aja, sekalian nanti ngecek akinya."
"Eh gapapa Bram, tadi aku udah nelfon papa koq, besok papa datang periksa akinya."
"Tapi ngantar kamunya, aku jadi kan?" kataku bercanda.
Lagu-lagu jadul yang mengalun lembut dari radio sepertinya tidak mampu menghalau kesunyian di dalam mobil. "Eh, gimana kabar Aldo sekarang?" tiba-tiba saja aku menyeletuk tanpa terkendali, dan terlambat menyadarinya!
"Eh, masih ingat aja ya kamu sama Aldo, hehe. Aldo sekarang di rumah bokap, di kamarku dulu."
"Lha, kenapa gak di bawa ke rumah? Aldo kan boneka kesayangan kamu?"
"Armand gak suka sama Aldo, jadi Aldo ditinggal di rumah bokap, haha."
"Ah, masak sih Armand gak suka sama Aldo?" Aku merasa heran.
"Hahaha. Dulu itu aku cerita ke Armand kalau kamu kenalan sama Aldo di kamarku, hahaha."
"Buset! Gila kamu ya, pantesan Armand gak suka, hahaha."
Tapi aku yakin Ratih pasti tidak akan cerita ke Armand "bagian keringatannya."
Tiba-tiba Ratih menyeletuk, "Aku tau apa yang kamu pikirkan..."
Duh Gusti, matek aku!
Lagu Don't Kill The Passion, lagu lawas zaman bokap, kemudian mengalun lembut dari radio. Liriknya begitu anu, membuat yang mendengar jadi nganu.
"Look at me. Look at me closely. Here's stand. And still the same.
Nothings changes. Yes it isn't different. I just know. I am not too late.
Don't kill the passion baby. No, Not the passion baby
Don't look for any new horizon. Don't left the feeling dye now.
Why should we say goodbye now. Our love was more.
Than just the passion. Don't kill the passion."
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H