Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Hati Untuk Satu Cinta (Bagian 6)

14 Januari 2022   19:15 Diperbarui: 14 Januari 2022   19:17 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pisau tajam karena diasah," dan aku cemburu karena tidak punya hasrat untuk mengasahnya."

Aku nyaris saja mengetuk pintu kamar ketika pintu itu kemudian terbuka dari dalam. Sosok Ratih kemudian keluar dari kamar. "Hai" kataku dengan gugup. "Apa kabar Rat, gimana keadaan Armand."

Ratih kemudian menjabat tanganku sambil berkata, "Hai Bram, masuklah." Aku terperanjat. Tangan Ratih begitu dingin, mungkin sedingin hatinya yang tampak membeku. Aku kemudian menyerahkan keranjang buah dan roti yang kubawa kepadanya.

Sosok Armand terbaring lemah. Aku terkejut melihat penampilannya. Tubuhnya kurus kering dengan rambut plontos. Matanya begitu kuyu. Beda sekali dengan penampilan Armand yang selama ini kukenal. Tubuh atletis, muka tampan dengan rambut panjang tebal itu rupanya sudah sirna. Mata kami kemudian saling beradu, dan aku tak tahan. Aku kemudian berlari memeluknya sambil menangis sekuatnya, "Maafin aku ya bro gak pernah mengunjungimu"

Armand memelukku dengan sekuat tenaganya. Iapun menangis, tapi yang terdengar hanya sebuah ratapan  lemah. Entah berapa lama kami berpelukan sambil menangis. Rasa benci dan sakit hati selama ini seketika hilang berganti dengan rasa iba dan rindu.

Aku masih ingat ketika masa SMP dulu, saat Armand menginap di rumah sakit atau harus bed rest total di rumahnya. Hampir setiap hari aku menemaninya. Ketika ia tak mau makan, aku akan selalu membujuk dan kemudian menyuapinya. Terkadang kami tidur berdua di ranjangnya yang besar itu. Sebelum tidur kami biasanya bercerita tentang banyak hal. Ah, dulu itu kami seperti saudara kembar saja.

Armand tergolek lemah seperti kehabisan tenaga. Ia sepertinya tidak mampu lagi berbicara. Aku kemudian memperbaiki letak bantalnya dan mengusap-usap kepalanya. "Udah kamu tidur aja ya, aku nanti yang jagain kamu sampe besok, oke?"

Armand mengangguk lemah dan kemudian memegang telapak tanganku. Aku kemudian memijat tangan dan tubuhnya dengan lembut. Tak lama kemudian terdengar suara mengorok yang lemah.

Suasana begitu kaku. Armand sudah tertidur pulas, tapi aku tidak berani mengalihkan pandanganku darinya. Tiba-tiba terdengar suara lembut Ratih, "minum dulu Bram," katanya sembari menyodorkan sebotol air mineral. Suara itu mulai terdengar ramah, tidak dingin lagi. Aku kemudian menerimanya, "Makasih Rat." Ketika aku menatapnya, air matanya kemudian bercucuran membasahi pipinya.

Tiba-tiba air mataku juga kembali tumpah tanpa bisa kutahan. Aku sungguh tak tahu apa yang kutangisi. Apakah Armand, Ratih, diriku sendiri yang kini juga sendiri, atau kesemuanya?

Aku kemudian berdiri, lalu menepuk-nepuk bahu Ratih dengan pelan, "sabar ya Rat, kamu harus kuat dan tekun berdoa untuk kesembuhan Armand."

Ingin rasanya memeluk erat tubuh Ratih agar aku tahu apa yang dirasakannya, dan juga agar ia tahu apa yang kurasakan. Akan tetapi aku sadar kalau ia sudah berkeluarga dan kini menjadi isteri sahabatku yang terbaring lemah di ranjang ini. Aku kemudian kembali duduk di samping Armand sembari menyeka air mataku dengan tisu.

***

Sudah seminggu ini aku punya jadwal kegiatan baru.  Sepulang dari kantor aku pastinya akan langsung besuk Armand ke rumah sakit. Kalau hari libur, aku justru menginap di rumah sakit.

Keadaan Armand tampaknya semakin membaik. Kamipun sudah kembali akrab seperti dulu lagi. Bahkan tak ada yang menyadari kalau kami itu sebenarnya sudah sepuluh tahun tidak bertemu dengan rasa benci di dada.

Sabtu siang itu aku berdua saja dengan Armand. Ratih pulang ke rumahnya membawa pakaian kotor dan beberapa barang lainnya. Aku tiduran di sofa sambil menonton acara televisi. Armand tiba-tiba saja memanggilku, "Bram, aku mau ngomong sama kamu, ini serius."

"Apaan sih" kataku sambil bangun lalu duduk di sampingnya.

"Bram, aku minta maaf sama kamu. Aku keliru. Kamu itu benar-benar sahabat sejati. Kamu selalu ada disaat aku membutuhkan seseorang untuk tempat bersandar. Makasih banyak bro untuk hal itu."

"Eh, aku ini bukan cuma sohibmu sejak dari kecil aja bro, tapi kita ini juga saudaraan. Jadi kalau aku sekarang ada di sini, ya wajar aja bro."

"Bram, entah kenapa aku selalu iri samau kamu. Sepertinya tidak masuk akal, tapi kenyataannya seperti itulah. "Nilai rapor dan IP kamu selalu lebih baik, padahal aku merasa lebih cerdas dari kamu. Buktinya kamu sering nanyain aku. Namun di situlah letak jawabannya. 

Kamu rajin belajar supaya mengerti, sementara aku males belajar karena merasa sudah mengerti. "Pisau itu tajam karena selalu diasah," dan aku cemburu karena aku tidak pernah punya hasrat untuk mengasahnya." 

"Bram, ini soal Ratih. Aku harus minta maaf banget sama kamu karena sudah mengacaukan semuanya. Aku ini memang jahat sekali. Ratih itu sebenarnya cuma cinta sama kamu Bram. Ia memang pernah memberiku kesempatan, tapi aku mengacaukannya.

Waktu semester dua, Ratih pernah bercerita ke Vicky kalau ia naksir kamu Bram. Hatiku panas, mengapa Ratih naksir kamu, bukan aku?   Padahal waktu itu aku kan masih pacaran dengan Nancy."

"Aku kemudian berupaya merebut hati Ratih dari kamu, dan berhasil. Lalu aku mengacaukannya, dan ia pun mendekati kamu lagi. Hatiku jadi panas ketika mendengar kamu sering maen ke rumahnya.  

Aku kemudian mempersingkat liburan dan diam-diam kembali ke Jakarta. Aku berupaya membuat supaya kamu jauh darinya, dan berhasil. Kamu kabur ke Surabaya. Aku tertawa bangga, tapi kemudian menyesal karena kehilangan sahabat terbaikku."

"Aku kemudian terkena "tulah," dan benar-benar jatuh cinta kepada Ratih. Tiga tahun lebih aku berjuang untuk mendapatkannya. Aku memang berhasil menyunting jiwa-raganya, tetapi tidak hatinya!

Aku tahu waktuku sudah dekat Bram. Kalau nanti aku sudah tidak ada lagi, aku ingin kamu berjanji, kamu akan selalu menjaga dan membahagiakan Ratih."

"Aku tahu kalau ia tetap dan selalu sayang sama kamu Bram. Kalau ia bercerita tentang kamu, maka matanya akan berbinar-binar. Jelas ia merasa happy. Suatu hal yang tidak pernah bisa kuberikan padanya. Aku cemburu, tapi itu adalah fakta. Bukan salahnya juga. Ia pernah memberiku kesempatan tapi aku mengacaukannya Bram."

"Hey jangan ngomong gitu bro. Kamu akan sembuh, dan selalunya ada kesempatan kedua untuk memperbaiki segala sesuatunya. Kamu akan membuat Ratih bangga dan bahagia. Aku sejak dulu sudah ikhlas dan selalu berdoa untuk kebaikan kalian berdua." kataku sambil menepuk-nepuk tangannya dengan senyum penuh kebohongan.

"Ah, enggak Bram. Sudah tiga malam ini aku selalu bermimpi didatangin eyang dan orang-orang yang sudah "pergi." Mereka selalu mengajakku pergi ke suatu tempat yang kata mereka nyaman. Mereka janji aku nanti tidak akan merasakan rasa sakit lagi."

Aku merinding mendengarnya. "Ah itu cuma efek samping dari obat kemo aja bro, bisa buat halu bro, kaya cimeng!" Armand kemudian tertawa mendengar ocehanku.

Tiba-tiba aku menoleh. Ternyata ada Ratih di dekat pintu. Aku tidak tahu apakah ia baru saja tiba, atau memang sudah lama di situ, sehingga bisa saja mendengar pembicaraanku dengan Armand tadi. Armand tidak bisa melihat pintu karena terhalang partisi.

Aku jadi grogi, lalu berkata, "eh sebentar ya bro, ada yang mau aku urus, sebentar aja koq."

"Eh, Bram kamu gak bisa pergi begitu aja, matamu sembab kebanyakan nangis. Sini aku kompres dulu pakai waslap dingin."kata Ratih. Ia kemudian menyeka mataku dengan waslap dingin dan sendok yang terlebih dahulu dimasukkannya ke dalam freezer.

Aroma tubuh Ratih yang ter-install rapi di memori otakku seketika ter-upload tanpa kusadari! Duh Gusti, aku jadi baper. Untunglah mataku harus merem, jadi Ratih tidak bisa melihat hatiku lewat kedua bola mataku itu. Alamak! Mata merem ternyata membuat "catur indra" yang lain bekerja lebih maksimal laksana booster vaksin dosis ketiga!

Dadaku bisa merasakan hembusan nafas Ratih ketika ia menyeka mataku. Hidung bisa membaui aroma wangi dari ketiak Ratih. Khas, masih seperti yang dulu. Telinga bisa merasakan detak normal jantung Ratih, dug dug dug. Sementara itu jantungku berdetak lebih cepat, cenderung takikardia dengan irama bunyi, dag dig dug, dag dig dug!

***

Sudah dua jam aku duduk di sebuah angkringan dekat rumah sakit. Aku benar-benar grogi karena yakin betul kalau Ratih tadi mendengar semua obrolanku dengan Armand. Aku tak tau bersikap bagaimana. Empat batang rokok plus dua cangkir kopi menemani kebingunganku di siang hari ini.

Tiba-tiba muncul notifikasi di hape, "Armand drop!" Aku segera berlari ke dalam rumah sakit. Ketika aku keluar dari lift, sebuah notifikasi kembali muncul, "Armand sudah gak ada!"

Tangisku kemudian meledak tanpa bisa ditahan lagi. Aku tak tahu entah berapa lama aku menangis, sampai ibu kemudian mengusap-usap kepalaku, "Sudah tah, ikhlaskan ya le, supaya ringan jalannya." Aku kemudian memeluk ibu, rupanya beliau dan bapak sudah lama datang, dan masih sempat melihat kepergian Armand.

Sekilas aku melihat Ratih. Ia hanya terdiam tanpa tangis. Aku tahu ia tidak punya stok air mata lagi untuk ditangiskan. Empat tahun Armand keluar-masuk rumah sakit, dan bisa sekonyong-konyong drop tanpa sebab. Tak ada yang benar-benar tahu kondisinya sebab ia sewaktu-waktu bisa saja pergi selamanya tanpa sempat berpamitan. Aduh kasihan benar si Ratih.

Aku hanya bisa termangu, "Di manakah Tuhan saat ini? apakah Ia benar-benar baik?" Aku hanya bisa menghela napas panjang, "Ya, Tuhan ada di sini dan ia benar-benar baik, dan sangat baik!"

Sejak kelas enam SD Armand sebenarnya sudah sakit, dan kemudian semakin memburuk sejak pernikahannya itu. Merasa tidak dicintai adalah racun utama yang membuat kondisinya semakin memburuk.

Untuk apa hidup dengan tubuh ringkih, sakit penuh penderitaan, menanggung rasa sesal dan merasa tidak dicintai oleh orang yang sangat dicintai? Tuhan kemudian datang untuk mengangkat semua penderitaan itu, lalu memberi kehidupan baru dalam damai di keabadian.

"From earth to earth, ashes to ashes, dust to dust." Dari ketiadaan, menuju kehidupan dan kembali ke ketiadaan, itulah kodrat manusia.

Jasad manusia akan kembali ke tanah sebab dari situlah ia dibentuk. Akan tetapi roh manusia akan kembali ke siempu-Nya, sebab Ialah pemilik yang menghembuskan napas kehidupan bagi manusia itu.

Old friend never die, they simply fade away

Au revoir my old friend.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun