Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Hati Untuk Satu Cinta (Bagian 6)

14 Januari 2022   19:15 Diperbarui: 14 Januari 2022   19:17 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku jadi grogi, lalu berkata, "eh sebentar ya bro, ada yang mau aku urus, sebentar aja koq."

"Eh, Bram kamu gak bisa pergi begitu aja, matamu sembab kebanyakan nangis. Sini aku kompres dulu pakai waslap dingin."kata Ratih. Ia kemudian menyeka mataku dengan waslap dingin dan sendok yang terlebih dahulu dimasukkannya ke dalam freezer.

Aroma tubuh Ratih yang ter-install rapi di memori otakku seketika ter-upload tanpa kusadari! Duh Gusti, aku jadi baper. Untunglah mataku harus merem, jadi Ratih tidak bisa melihat hatiku lewat kedua bola mataku itu. Alamak! Mata merem ternyata membuat "catur indra" yang lain bekerja lebih maksimal laksana booster vaksin dosis ketiga!

Dadaku bisa merasakan hembusan nafas Ratih ketika ia menyeka mataku. Hidung bisa membaui aroma wangi dari ketiak Ratih. Khas, masih seperti yang dulu. Telinga bisa merasakan detak normal jantung Ratih, dug dug dug. Sementara itu jantungku berdetak lebih cepat, cenderung takikardia dengan irama bunyi, dag dig dug, dag dig dug!

***

Sudah dua jam aku duduk di sebuah angkringan dekat rumah sakit. Aku benar-benar grogi karena yakin betul kalau Ratih tadi mendengar semua obrolanku dengan Armand. Aku tak tau bersikap bagaimana. Empat batang rokok plus dua cangkir kopi menemani kebingunganku di siang hari ini.

Tiba-tiba muncul notifikasi di hape, "Armand drop!" Aku segera berlari ke dalam rumah sakit. Ketika aku keluar dari lift, sebuah notifikasi kembali muncul, "Armand sudah gak ada!"

Tangisku kemudian meledak tanpa bisa ditahan lagi. Aku tak tahu entah berapa lama aku menangis, sampai ibu kemudian mengusap-usap kepalaku, "Sudah tah, ikhlaskan ya le, supaya ringan jalannya." Aku kemudian memeluk ibu, rupanya beliau dan bapak sudah lama datang, dan masih sempat melihat kepergian Armand.

Sekilas aku melihat Ratih. Ia hanya terdiam tanpa tangis. Aku tahu ia tidak punya stok air mata lagi untuk ditangiskan. Empat tahun Armand keluar-masuk rumah sakit, dan bisa sekonyong-konyong drop tanpa sebab. Tak ada yang benar-benar tahu kondisinya sebab ia sewaktu-waktu bisa saja pergi selamanya tanpa sempat berpamitan. Aduh kasihan benar si Ratih.

Aku hanya bisa termangu, "Di manakah Tuhan saat ini? apakah Ia benar-benar baik?" Aku hanya bisa menghela napas panjang, "Ya, Tuhan ada di sini dan ia benar-benar baik, dan sangat baik!"

Sejak kelas enam SD Armand sebenarnya sudah sakit, dan kemudian semakin memburuk sejak pernikahannya itu. Merasa tidak dicintai adalah racun utama yang membuat kondisinya semakin memburuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun