Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Playing Victim Ala Cikeas

17 Februari 2021   19:20 Diperbarui: 17 Februari 2021   19:41 1722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam sebuah bis kota yang padat merayap, tampak penumpang berdiri rapat bak teri yang dijemur di atas tampi. Dari arah belakang tiba-tiba terdengar suara berbisik, 

"Mbak, mbak.. mbak ini suster perawat ya?"

"Lha, mas koq tau?"

"Iya, baju mbak-nya bau obat"

 Bis terasa berguncang ketika melewati sebuah lobang di tengah jalan. Tak lama kemudian terdengar bisikan, "Mas, mas.. mas anak pepo yang jadi montir itu ya?"

"Lha, mbak koq tau?"

"Iya, dongkraknya terasa prihatin gitu mas"

SBY memang identik dengan "prihatin." Perjalanan karir politik SBY yang langsung menjulang tinggi bersama partai berlambang mercy itu salah satunya juga berkat strategi prihatin ini.

Ketika itu SBY bersama JK memilih untuk "menghianati kepercayaan dari majikan," justru untuk bertarung melawan majikan itu sendiri dalam ajang pertarungan Pilpres 2004.

Strategi ciamik dari Public Relation/tim komunikasi SBY-JK kemudian mampu mengubah pandangan masyarakat.  Cibiran pengkhianatan kepada atasan itu kemudian berubah menjadi rasa prihatin dan simpati kepada jenderal ganteng yang "terzolimi oleh rezim bengis yang berkuasa."

Selama dua periode berkuasa, SBY pun kerap memakai "jimat prihatin ini" dalam berkomunikasi dengan masyarakat. SBY mengeluh tidak pernah cuti. Gajinya kecil dan tidak pernah naik-naik. Pokoknya hidupnya itu serba prihatin dan tetap terzolimi oleh situasi global dan di dalam negeri yang juga serba prihatin.

Dengan demikian SBY berharap masyarakat pun mengerti dan bisa hidup dalam kondisi serba prihatin, termasuk ketika kasus bank Century dan proyek mangkrak Hambalang berkecamuk.

Sepanjang sejarah Indonesia, SBY menjadi presiden yang paling kuat legitimasinya. Dulu Soekarno beberapa kali menghadapi ancaman pembunuhan. Pemerintahannya pun terus dirongrong dari berbagai pihak, mulai dari pihak komunis, kaum agamis, nasionalis hingga Angkatan Darat.

Memangnya ada yang berani mengancam pak beye? Palingan juga orang demen merisaknya!

Suharto terpaksa bertindak otoriter demi mengamankan kursi empuk presiden selama 32 tahun berkuasa. Ratusan ribu mahluk pemakan beras kemudian lenyap tak berbekas dalam peristiwa Gestapu 65. Puluhan ribu kemudian harus bertransmigrasi ke Pulau Buru dengan KTP bertanda khusus yang setara dengan sebutan eks penyandang penyakit lepra.

Habibie, Gus Dur dan Megawati tak lebih dari sekedar "presiden pajangan" yang nyaris tanpa legitimasi sama sekali. Mulai dari ormas/parpol, ABRI (kala itu) DPR/MPR, konglomerat pengemplang BLBI, hingga IMF/World Bank memberti tekanan kuat kepada pemerintahan yang boleh dikatakan kurang berdaya itu.

Blessing in disguise kemudian menjadikan ketiga presiden ini bisa berkuasa, tapi dengan kekuasaan terbatas karena kepentingan kuat yang berdiri di belakang mereka itu.

Jokowi seperti kita ketahui, tidak ada seorangpun orang yang tidak akan tersenyum atau tertawa melihat penampilannya ketika itu. Tapi itu dulu!

Sekarang ini justru sebagian "katrok" menganggap Jokowi adalah mahluk berbahaya, komunis, otoriter, anti-kritik dan sebagainya. Padahal Jokowi tetaplah orang yang sama seperti dulu. Suka main cebong, sarungan, penggemar musik metal, motor modifikasi, dan pemilik senyum paling menawan karena terlihat natural.

Jadi Jokowi itu tetaplah orang yang sama seperti dulu, tapi cara orang memandangnya yang kini justru berbeda!

Setahun pertama pemerintahan Jokowi, pemerintah praktis tidak bisa berbuat apa-apa karena begitu kuatnya pengaruh KMP Prabowo di parlemen. Namun berjalannya waktu, legitimasi pemerintahan bisa semakin kuat karena eksekutif dan legislatif kini bekerja seirama. Kini pembangunan infrastruktur yang terhenti sejak reformasi dulu bisa dilanjutkan kembali.

Memang tidak semua proyek pembangunan di era pemerintahan sebelumnya dilanjutkan kembali. Misalnya seperti proyek Hambalang yang tetap dibiarkan saja mangkrak karena memang tidak penting bagi kemaslahatan masyarakat pada saat ini.

Namun proyek Bendungan Tukul (bukan Arwana) di pacitan yang sebelumnya mangkrak gegara masalah sepele saja (pembebasan lahan) akhirnya dilanjutkan kembali.

Proyek Bendungan Tukul ini sangat besar manfaatnya bagi masyarakat, bukan two in one saja tetapi five in one! Bendungan ini berfungsi sebagai Pengendali Banjir, Pembangkit Listrik Tenaga Air (biaya operasionalnya nol Rupiah) Jaringan irigasi bagi persawahan, Sumber air baku bagi PAM dan sebagai tempat wisata/rekreasi bagi masyarakat yang membutuhkan tempat yang lumayan instagramable buat aktualisasi diri.

***

Sepuluh tahun berkuasa, SBY sayangnya gagal memanfaatkan momentum legitimasi yang dimilikinya itu untuk berbuat banyak hal bagi tanah tumpah darahnya ini.

Setelah SBY turun tahta, kemudian datanglah seorang tukang kayu dari Nazaret eh dari Solo yang dengan cara-cara sederhana saja bisa mengubah peta pembangunan di negeri ini.

Tiga bulan lalu penulis bersama seorang teman pergi ke Kuningan lewat tol Cipali untuk keperluan sesuatu. Perjalanannya santai saja dan di setiap rest area berhenti sebentar untuk merokok.

Maklum teman penulis ini penggemar klub sepak bola Lokomotiv Moscow alias perokok berat, sementara penulis tidak suka mencium bau rokok di mobil. Jadi solusinya di setiap rest area berhenti untuk merokok barang sebatang dua batang rokok.

Berangkat pagi, malah sampai di rumah masih bisa makan malam tepat waktu. Buset! Tidak terbayang kalau sepuluh tahun yang lalu akan bisa begitu cepatnya.

Perjalanan Jakarta-Surabaya kini bahkan berkisar 10-12 jam saja via jalan tol. Arek Darmo berangkat pagi dari Surabaya, malamnya dugem di Bandung, kemudian kembali lagi. Sesampainya di Surabaya esok paginya langsung ngantor lagi. Uenak rek!

Tentunya di daerah-daerah lain juga pembangunannya setali tiga uang. Apalagi pembangunan kini tidak hanya terfokus di Jawa saja. Bahkan kini ada pula Trans Papua di Papua!

Pembangunan infrastruktur jalan seperti itu tentunya akan mempermudah jalur distribusi barang dan penumpang yang pada akhirnya akan mereduksi biaya produksi. Pada akhirnya masyarakat juga yang akan menikmatinya.

Gegap gempita pembangunan infrastruktur ala Jokowi ini rupanya membuat SBY "terbangun dari tidurnya." Seharusnya ia bisa melakukannya lebih baik dari Jokowi, dan memang benar adanya. Apalagi sebagai seorang militer terlatih, tentunya SBY akrab dengan strategi operasional lapangan, manajemen logistik untuk mendukung operasional dan tentunya garis komando sebagai fungsi pelaksanaan dan pengawasan operasional di lapangan.

Namun SBY terlena dengan "manajemen prihatin" yang disusun oleh tim ahli komunikasi SBY selama ini. Manajemen prihatin ini memang efektif selama sepuluh tahun pemerintahan SBY.

Untuk ini penulis angkat jempol pol kepada tim ahli komunikasi SBY yang jelas-jelas lebih hebat daripada tim ahli komunikasi Jokowi yang lebih mengandalkan buzzer garis loetjoe, kelas sosmed itu.

Lha, dari jubir kepresiden saja terlihat nyata. Coba bandingkan wajah Julian Aldrin Pasha (jubir SBY) dengan Fadjroel Rachman (jubir Jokowi)

Kalau ini bolehlah kita tanyakan kepada emak-emak pengendara skutik yang lampu sein kirinya menyala tapi beloknya ke kanan itu. "Lebih adem mana mak liat wajah Julian atau Fadjroel?"

Penulis tidak perlulah menjawabnya. Buzzer kemudian nanya, "Elo mau liat tampang orang atau mau mendengar isi penjelasannya?"

"Dari mana datangnya lintah? Dari sawah turun ke kali."

"Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati."

"Kalau elo udah eneg liat tampang orang, elo gak bakalan mau denger apa yang dikatakannya!"

Akan tetapi zaman sudah berubah euy. Orang tidak mau hidup prihatin lagi. Orang kini bergerak semakin cepat dan gesit. Hare gene, pedagang tidak lagi menunggu pembeli di lapaknya, tapi hadir ke costumer via online!

Sementara itu SBY tetap saja mengandalkan gaya prihatinnya dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Jelas "jaka sembung bawa golok!" Ibarat orang sudah bersiap memasuki era 5G, pepo lalu datang menawarkan hape yang ada tipi beserta antena tariknya plus jaringan 2G. Jelas lemot!

***

Saat ini ada krisis internal yang melanda kubu Demokrat. Salah satu isu yang mencuat adalah turunnya suara Demokrat di parlemen. Padahal pada era 2009-2014 lalu Demokrat menjadi partai pemuncak.

Hal ini bisa dimaklumi mengingat SBY pada saat itu menjadi presiden, sehingga Demokrat otomatis menjadi magnet yang bisa menarik banyak kekuatan untuk berhimpun di sekitarnya.

Kala Demokrat tidak lagi menjadi magnet, otomatis kekuatannya juga semakin mengendur. Ini adalah hal wajar dan biasa saja terjadi dalam dunia politik.

Kini kedudukan AHY (baca SBY) sedang digoyang dari dalam oleh para senior yang merasa disingkirkan. Nah lucunya lagi, ada sebagian senior yang merasa kalau Ibas justru lebih pantas memimpin Demokrat daripada AHY.

Nah kalau yang begini gampang ditebak muaranya. Mereka ini sebenarnya tetap setia kepada keluarga SBY, hanya saja sejak AHY yang jadi nakhoda, kantong mereka ini cenderung "kempes."

Nah, kalau yang ini termasuk tipe kader yang gagal hidup prihatin!

Goyang menggoyang adalah hal yang lumrah terjadi dalam sebuah organisasi. Dulu PDI dan PPP telah kenyang makan asam garam dikudeta kader yang didukung pemerintahan Suharto.

SBY sendiri saat menjabat sebagai Kasdam Jaya 1996 lalu, turut serta dalam proses mengkudeta kantor pusat PDI di jalan Diponegoro Jakarta yang memakan korban itu.

Ini bukan kata penulis loh, tapi menurut laporan Komnas Ham seperti yang tertulis di Wikipedia.

Penulis sendiri hakul yakin kalau goyangan itu cuma riak kecil saja, karena untuk mengubah riak kecil menjadi ombak besar tentunya diperlukan ekstra tenaga dan biaya.

Apakah "pemerintah" sudi mengeluarkan biaya ekstra untuk mengkudeta AHY dari Demokrat?

Tentu saja itu akan menjadi sebuah hil yang mustahal pula. Demokrat (54 kursi) dan PKS 50 kursi) total 104 kursi, jelas tidak memberikan efek apa-apa di parlemen karena suaranya terlalu kecil.

Yang bisa mereka lakukan selama ini hanyalah walk-out sambil melambaikan tangan dengan tebaran senyum penuh pesona ketika meninggalkan ruang sidang paripurna.

Namun bagi pemirsa itu tampak seperti rombongan anak TK yang berbaris rapi menuju ruang kelas. "Selamat pagi bu... selamat pagi pak... selamat pagi semua!" Hore (sambil tepuk tangan)

Apakah "playing victim bergaya prihatin" masih bisa menyelamatkan muka Cikeas kali ini?

Wallahu a'lam. Namun sepertinya orang tidak tertarik untuk menanggapinya. Bukan tidak tertarik, tapi tidak perduli. "Egp." kata mpok Elsye, wanita semok penjual gorengan di tikungan jalan.

"Apaan tuh egp mpok?"

"Emang gue pikirin!"

Salam hangat, salam sayang selalu

Referensi, 

https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_27_Juli

https://lifeschool.wordpress.com/2008/07/27/kudatuli/

https://www.idntimes.com/news/indonesia/marisa-safitri-2/sejak-berdiri-ini-deretan-konflik-yang-terjadi-di-partai-demokrat/5

https://katadata.co.id/safrezifitra/indepth/5e9a51846c06d/riuh-isu-suksesi-sby-adu-kuat-faksi-internal-partai-demokrat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun