Demo pengesahan UUCK (Undang-undang Cipta Kerja) kemarin berakhir miris dengan perusakan dan pembakaran fasilitas publik. Ngomong-ngomong, adakah demo yang tidak ricuh di negeri ini?
Namun para pedemo berdalih kalau demo mereka adalah demo damai, sedangkan perusuh adalah penyusup yang bisa jadi adalah "oknum aparat" atau "orang-orang suruhan pemerintah sendiri" agar demo itu menjadi kacau dan rusuh. Nah lu!
Ini memang seperti dilema mana yang lebih dulu ada, ayam atau telur. Tapi yang jelas perusuh selalu menumpang dengan pendemo! Ini seperti Upin dan Ipin. Dimana ada Upin disitu pasti ada Ipin. Mereka ini kembar identik dan susah membedakannya.
Demikian pula halnya dengan pendemo dengan perusuh. Dimana ada pendemo maka disitu pasti ada perusuh. Pendemo dan perusuh juga kembar identik dan susah membedakannya. Apalagi sebagian dari mereka itu sering berganti baju dan bertukar tempat pula...
Masih ingat dengan demo di Bawaslu atau demo RUU KPK dulu? Masih ingat dengan slogan "Gejayan memanggil?" Kerusuhan yang terjadipun sebelas duabelas dengan demo UUCK kemarin. Itulah sebabnya kerusuhan seperti dulu itu ingin diulang kembali.
Awalnya pendemo keberatan dengan adanya Dewas di KPK, tapi ujung-ujungnya permintaan demo adalah "turunkan Jokowi." ketika Jokowi ternyata ogah turun, maka isu KPK-pun tidak menarik lagi. Jadi intinya bukan soal pengesahan RUU KPK menjadi UU KPK, melainkan "Kerusuhannya, lalu turunkan Jokowi!"
Masih adakah yang perduli dengan KPK? Masih adakah mahasiswa yang tertarik untuk membandingkan kinerja KPK era Saut Situmorang dengan era Firli sekarang?
Katanya sayang pada KPK, lantas apa buah pikiran yang sudah diberikan mahasiswa untuk meningkatkan kinerja KPK ini? Sepertinya tidak ada lagi yang memperhatikan KPK. Jangan-jangan kinerja KPK sekarang justru semakin buruk karena tidak ada lagi yang perduli.
Demo di Bawaslu dulu juga begitu, menuntut keadilan. Lha yang ribut-ribut dulu itu sekarang malah sudah bercokol dalam lingkar kekuasaan. Apa tidak malu itu juru soraknya yang teriak-teriak sambil bakar-bakaran segala.
Makanya kalau benci itu jangan pakai banget. Nanti kalau tiba-tiba naksir, takutnya malah jadi bucin. Sebaliknya kalau suka, juga jangan pakai banget juga. Nanti kalau tiba-tiba dicuekin pas lagi sayang-sayangnya, bisa jadi auto meng kafir-kafirkan orang lain pula!
***
Metode pelaksanaan "rusuh di balik demo" inipun selalu sama sejak zaman dahulu kala. Memakai metode "ada udang di balik kwetiau dan lempar batu sembunyi tangan."
Awalnya ada seorang provakator berteriak, "lempar" sambil melempari petugas dengan batu. Tanpa disadari, eh ternyata di sekitar tekape itu sudah banyak tersedia batu, entah dari mana datangnya. Ketika chaos mencapai klimaksnya, para provokator tadipun segera berlalu.
Lalu ada yang berteriak, "bakar, bakar" sambil melempar bom Molotov. Tanpa disadari, eh ternyata di sekitar tekape itu sudah banyak tersedia botol-botol berisi bensin dan ban-ban bekas, entah dari mana pula datangnya.
Tidak mungkin orang membawa bom Molotov dalam ransel, karena baunya akan tercium sangat jelas. Botol bir, sumbu kain dan bensin selalunya dibawa terpisah, lalu dirakit di mobil. Mobil apa yang paling aman? Jawabnya adalah Ambulans, dan itu juga menjadi tempat paling aman untuk menyimpan batu dan golok!
Demo itu memang seperti sale di mal. Pengusaha sering memanfaatkan tema tertentu untuk memasarkan produk. Maka lahirlah "Lebaran Sale, Summer sale, Christmas sale ataupun midnite sale."
Sama halnya dengan slogan Sosro, "apapun makannya minumnya teh botol sosro." Sedangkan bagi "Makelar Kerusuhan," apapun judul demonya, ujungnya tetap turunkan Jokowi dan kerusuhan!
Kita ini bangsa bermental "pesuruh dan perusuh." Pekerja tidak akan mengerjakan pekerjaannya kalau tidak disuruh! Sebaliknya majikan tidak akan memperdulikan pekerjanya sebelum pekerja itu membuat rusuh!
Desainer pertunjukan kerusuhan di negeri ini tentu saja mafhum betul akan karakter rakyat dan penguasa di negeri ini. Kalau bangsa sebesar ini bisa dijajah oleh bangsa yang jauh lebih kecil selama 350 tahun, itu jelas menunjukkan betapa kerdilnya mental bangsa besar ini.
Kita ini memang cuma bangsa "wedus" yang bisa diadu domba dengan mudahnya. Bodoh tapi sok pinter sehingga tersinggung kalau diberitahu. Orang bodoh itu memang gampang tersinggung. Itulah sebabnya setelah diprovokasi, mereka ini kemudian akan cepat tersinggung lalu membuat kerusuhan.
Sejatinya semua orang terlahir bodoh. Mau bule, sawo mateng atau keling, semuanya sama saja. Namun, setelah bertumbuh di "tempat yang bener dengan cara yang bener," barulah mereka kemudian menjadi manusia pinter yang beradab, dan tidak suka membuat kerusuhan.
Penulis sendiri heran, kalau memang mau demo, kenapa mahasiswa tidak membuat webinar saja mengenai UUCK ini. Konon UUCK ini sendiri sampai seribuan halaman.
Kalau mahasiswa seluruh Indonesia keroyokan membahas UUCK ini, maka akan kelar dalam setengah hari saja. Itu sudah termasuk perumusan, catatan-catatan penting dan solusi sebagai alternatif jawaban terhadap keberatan-keberatan mahasiswa atas pasal-pasal yang digugat dalam UUCK tersebut.
Katanya orang pinter, jangan cuma ngomong doang ini salah itu salah. Kalau salah, salahnya dimana dan apa dampaknya terhadap bidang lain secara terukur. Setelah itu kasih masukan juga dong apa yang benar dan bagaimana cara yang benar untuk mengimplementasikannya. Kalau begini caranya kan asik. Ini namanya pakai otak bukan otot!
Apalagi ini terkait pandemi Covid-19 dimana berlaku keharusan memakai masker, rajin membersihkan diri dan melakukan social distancing. Ingat, kita ini sudah dikucilkan oleh puluhan negara karena melalaikan protokol Kesehatan. Setelah aksi demo penolakan UUCK kemarin, maka seluruh dunia kini akan memperolok-olokkan Indonesia.
Penulis bukannya alergi dengan aksi menyampaikan pendapat karena hal ini memang dilindungi undang-undang. Penulis juga berpendapat kalau rasa suka atau tidak suka terhadap sesuatu/seseorang itu adalah hak azasi setiap manusia.
Namun perlu juga diperhatikan agar rasa suka/tidak suka atau aksi menyampaikan pendapat itu tidak bertentangan dengan hak azasi orang lain, kepentingan umum maupun undang-undang/peraturan yang berlaku.
***
Pendemo (bayaran) keberatan dengan sistim outsourcing (kontrak kerja temporer) yang dianggap merugikan buruh. Padahal mereka ini sendiri adalah "buruh demo" yang dibayar dengan satuan jam kerja, berdasarkan kontrak pekerjaan harian. Tentunya plus kaos dan nasi bungkus.
Jadi kalau peruntukan demo tiga hari, maka mereka dikontrak tiga hari pula. Setelah itu mereka kembali ke habitat semula.
Yah tak mungkinlah buruh (harian) demo ditawari menjadi karyawan tetap. Emangnya mau demo dimana tiap hari? Apa kuat setiap hari teriak-teriak, lalu dilempari gas air mata atau water canon polisi?
Lagipula mana ada yang mau mengaku sebagi majikan mereka ini. Majikan demo itu sama seperti penadah yang menampung hasil kejahatan para maling.
Dalam pandangan penulis, demo UUCK ini hanyalah sebuah trigger belaka. Ibarat bom, UUCK adalah alat pemicu untuk mengaktifkan bom yang sesungguhnya. Lalu apa/siapakah pemilik bom yang sesungguhnya?
Jawabnya beragam. Mulai dari orang iseng, orang/kelompok sakit hati, orang yang berkepentingan pada Pilkada Desember nanti, dan tentu saja orang-orang (para mantan) yang bermimpi untuk menangguk di air keruh, agar bisa menjadi penguasa di negeri ini.
Lalu siapakah yang diuntungkan dengan demo ini?
Oh, ternyata banyak sekali sodara-sodara sebangsa setanah air. Yang pertama tentu saja tukang spanduk dan sablon! Yang kedua PKL dan asongan rokok, tisu, air mineral dan jajanan di sekitar demo.
Lalu mahasiswa yang ingin eksis sekaligus bisa berswafoto dengan background yang instgramable. Kemudian pengamat politik ataupun yang merasa pengamat politik, akan ramai menjadi nara sumber di televisi. Selain mendapat amplop, lumayan juga bisa numpang eksis di televisi.
Aparat keamanan juga ikutan senang. Dana operasional segera cair dari atas maupun dari Pemda. Â Para pengusaha juga tidak keberatan membantu dana operasional komandan. Yang sedih ya itu, aparat bawahan. Bermodalkan APD dan tameng, mereka ini terus ditimpuki batu dan Molotov oleh pendemo.
Mereka ini cuma bisa bertahan di tempat karena perintah komandan. Sedih memang melihat polisi "kelas rendahan" ini. Coba bayangkan kalau mereka ini adalah anak, bapak, abang, adik atau pacar kita sendiri. Mereka ini ditimpuki batu tapi tidak boleh melawan, karena perintah atasan.
Pakde juga akhirnya senang kalau ada demo. Beliau lalu berkata, "Hayo, mana yang kemarin mau demo minta Pilkada ditunda karena takut bikin cluster baru, hmm.. katanya politik dinasti, makanya Pilkada diteruskan, hmm...
Lha ini koq rame-rame dari siang sampe malem, tapi aman-aman aja kan? Ya sudah, Pilkadanya diteruskan saja ya, wong Pilkada itu cuma 15 menit saja. Datang, daftar, coblos trus pulang, ya pasti aman dong, hehehe..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H