Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anjay! Ada Sepeda Doggystyle Di Jalan Tol!

5 September 2020   11:23 Diperbarui: 5 September 2020   11:27 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anjay, sumber: indozone.id

"Seekor monyet terlihat akan menyeberangi sebuah sungai. Sejenak dia ragu. Lalu primata itu melemparkan sepotong kayu ke dalam air yang tenang itu. Riak air itu segera membuat buaya-buaya ganas itu memangsa potongan kayu "malang" itu..."

 (Test the water Anies Baswedan, Kompasiana  17 Oktober 2016, https://www.kompasiana.com/chokky/57f74b5dab9273dc0c9aa94f/test-the-water-anies-baswedan )

Pertengahan bulan lalu penulis sengaja melakukan "tapa brata," alias berpantang, menahan hawa nafsu untuk menulis di Kompasiana sebagai bentuk rasa galau dan syukur. Apa pasal? Rupanya artikel penulis yang bernomer kode togel 372 mengenai balap motor di Sirkuit Red Bull Ring itu, diganjar dengan AU (Artikel Utama) oleh mas/mbak mimin Kompasiana. Anjay!

Lantas apa anehnya dengan label AU, bahkan "Anak kecil" saja merasa biasa saja dengan label AU ini.

Nah disinilah letak keanjayan tersebut. Bagi penulis, label AU itu menjadi sesuatu karena terakhir kalinya mendapat label AU adalah pada Januari lalu. Kebangetan! Bayangin saja, butuh waktu delapan bulan menulis bagi seorang Kompasianer verifikasi Biru untuk mendapatkan sebuah labael AU, kan anjay!

Tapi penulis masih beruntung. Kompasianer senior seperti Pak Tjipta atau Pak Katedra misalnya, sudah lama sekali tidak mendapat label AU. Bahkan Kompasianer senior seperti Felix Tani, penguasa planet Kenthir itu, ketika artikelnya diganjar AU maka artikel berikutnya auranya akan terlihat positif. yang biru akan terlihat lebih biru, sedangkan yang putih akan terlihat lebih seksi...

Jadi saran penulis kepada Kompasianer verifikasi Hijau, jangan mau terpedaya dengan strategi mimin K ketika sering-sering diberi label AU. Sama seperti air ledeng PDAM yang sering macet, pada akhirnya label AU itupun akan macet juga!

"Tak lari gunung dikejar" adalah prinsip utama mimin K, karena mereka paham betul kalau Kompasianer verifikasi Biru, terutama senior seperti Pak Felix Tani, apalagi seperti Pak Tjipta misalnya pasti tak akan kuat diajak berlari. Walaupun tampaknya tak adil, namun para senior ini berusaha "menyamankan diri" di Kompasiana sekalipun tidak diberi labael AU. Anjay!

Namun kemudian penulis menyadari bahwa tapa brata menulis itu adalah perbuatan tercela yang mendatangkan kesia-siaan belaka. Tersebab menulis itu selalunya akan mendatangkan kebahagiaan buat sipenulis sendiri, orang banyak dan dan juga mahluk halus lainnya, sekalipun tidak diberi label.

Kata koentjinja adalah kebahagiaan, sesuatu yang kini menghilang tersebab hadirnya Covid-19. Orang lalu berteriak, "anjay!" agar ia merasa bahagia. Gubernur DKI Jakarta kemudian menyurati Menteri PUPR agar bisa menggunakan jalan tol pada saat CFD. Itu semata agar para pesepeda bisa bertambah rasa bahagianya lewat gowesan di jalan tol. Anjay!

Kata anjay yang sepupuan dengan anjrit dan n'jir ini sebenarnya sudah lama populer dikalangan anak muda maupun orang tua yang tetep merasa muda. Dan selama ini pun nyaris tidak ada yang menggugatnya. Namun kata anjay ini kemudian semakin populer karena di-blowup Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Sirait. Warga +62-pun tercengang! Mengapa Lembaga Non-Negara yang menyebut dirinya Komisi Nasional ini menggugat keberadaan anjay? Anjrit!

Kalau tak kenal maka tak sayang, kalau sudah dikenal maka sila ditendang! Agar masyarakat tahu, Komnas PA ini bukanlah Lembaga Negara melainkan sebuah LSM biasa, sama seperti LSM lainnya, termasuk juga LSM kelas abal-abal ataupun "LSM bodrek."

Seharusnya sebuah LSM tidak boleh memakai kata Komisi Nasional. Akhirnya banyak warga tertipu karena merasa Komnas PA ini sekelas dengan Kompolnas, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komnas Perempuan, Komnas HAM, atau malah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK!

Memang masih ada saja kekacauan di negeri ini yang belum sempat dibenahi. Misalnya seperti atribut ormas yang bergaya militer itu. Ini sudah sepatutnya dibenahi. Pernah melihat seorang pemuda berbaju loreng lengkap dengan baretnya? Tiga kancing baju atas sengaja terbuka, sehingga tampaklah tato Hanoman sedang makan pisang rebus. Mulut berbau miras, pakai sunglass gelap seperti milik tukang las teralis, plus sigaret kretek di tangan. "Kiri, kiri...hop!" katanya sambil melambaikan tangan. Rupanya beliau ini seorang "jenderal" merangkap tukang parkir! Kan anjay!

Menurut Ketua Komnas PA, Arist Sirait tadi, bullying dengan kata anjay itu sebagai kata terlarang yang masuk dalam tindak kekerasan verbal sehingga berpotensi dipidana.

Apakah anjay itu termasuk bullying? Arist sepertinya mencoba menggiring opini seolah-olah kata anjay adalah kata makian/umpatan yang tidak pantas diucapkan pada orang lain sehingga berpotensi pidana. Anjay!

Tapi ngemeng-ngemeng, memangnya siapa Komnas PA dan Arist Sirait ini sehingga harus didengar bualannya. Namun Indonesia adalah negara demokrasi dimana setiap individu dijamin haknya untuk menyampaikan pendapat. Sip, dalam kerangka demokrasi itu pula tampaknya netizen +62 kompakan berseru, "Anjay menggonggong kafilay berlalu." Anjrit!

Kata simbah, kalau tak ada api tak ada asap. Nah, kata "bahagianya" justru terletak disini. Sebuah LSM tidak mungkin ujug-ujug "mabok anjay" tanpa miras kalau tak ada tujuan dan maksudnya.

Ada apa gerangan?

Nah, akhir-akhir ini netizen pada ramai terkait kucuran dana Pemerintah untuk para influencer. Pemerintah menganggap Kucuran dana besar itu sepadan untuk menyosialisasikan program Pemerintah agar bisa sampai dan tepat sasaran kepada masyarakat.

Hal ini bisa dimengerti mengingat seremnya hoaks-hoaks anti pemerintah yang menerpa masyarakat. Hal ini berlaku juga di seluruh dunia, jadi bukan hanya di Indonesia saja. Peran influencer dianggap lebih efektif daripada press release Kemenkominfo, apalagi daripada keterangan pers model Harmoko, "Menurut petunjuk dari bapak presiden... atau misalnya model terbata-bata ala Moerdiono...

Trus wartawannya menyela, "Aduh Pak, cepetan dong, Bapak ngomongnya lama banget, saya sudah ditungguin abang Gojeknya tuh..."

"Bbbagaimana...Go.. gojek? Ini bukan... eee...ee.. ini perkara serius loh mas...eee...mmm...terkait bantuan kepada ee... masyarakat, jadi eee..."

Trus abang Gojeknya bosen nunggu, lalu masuk ke ruang konpres Setneg sambil chat, "Bang sy ud di dlm, abg yg pke jas item ya?"

"Hush, itu Pak Menteri. sy pke kaos putih celana jins"

Nah dalam situasi kekinian, influencer yang gaul abis dan banyak followersnya itu dianggap lebih pas untuk menyampaikan pesan-pesan Pemerintah kepada masyarakat.

"Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." Apakah era kejayaan LSM sudah berakhir, untuk kemudian digantikan oleh influencer?

Suka tidak suka, influencer seperti seorang DS yang mainnya di medsos, akan lebih efektif dan murah biayanya daripada mengandalkan peran LSM yang masih bergaya preman, berjualan ayat-ayat KUHP.

Kali ini Arist Sirait dan Komnas PA-nya kena batunya. Pemerintahpun sepertinya tidak tertarik dengan jualannya, plus mereka kini ketahuan cuma sekedar LSM biasa saja. Namun sebagai influencer, kinerja Arist Sirait ini sebenarnya cukup berhasil. Buktinya ia mampu "menganjay-kan" mimin Kompasiana beserta para Kompasianernya itu untuk menulis anjay dalam Topik Pilihan! Anjrit!

Tapi bisa jadi Arist Sirait sedang test the water, untuk mengukur tingkat kekenthiran yang sedang terjadi saat ini. Merujuk teori Evolusi Darwin, bukan yang kuat atau besar nantinya bisa bertahan hidup, melainkan orang-orang yang mampu beradaptasi terhadap lingkungannya.

***

Apakah Anies Baswedan tidak pernah masuk jalan tol? Apakah seorang Anies tidak tahu regulasi di jalan tol? Apakah Menteri PUPR akan mengabulkan permintaan Anies itu?

Ketika membaca surat Anies tersebut, beliau ini pasti geleng-geleng kepala, kemudian masuk ke kamarnya untuk menabuh drum lewat sebuah lagu Beatles berjudul Get Back. Pasti pembaca bisa membayangkan "pala" siapa yang dibayangkan beliau ketika menggebuk drum itu keras-keras...

Padahal sebelum melayangkan surat tersebut, Anies sediripun paham kalau tidak akan pernah dan tidak boleh warga bersepeda di jalan tol, demi keselamatan warga itu sendiri!

Anjay! Pembaca pasti bingung kan? Tetapi begitulah komunikasi politik ala Anies Baswedan. Penulis menyebutnya sebagai "Out of the box the series" suatu program yang kelihatannya nyeleneh bin anjay, tetapi sangat efektif untuk mendapatkan feedback yang jujur (sebenarnya) dari masyarakat terkait suatu isu tertentu. Rangkaian program ini sendiri sudah dimulai sejak tahun 2016 lalu, dalam rangka persiapan untuk kampanye Pilgub 2017.

Awal Oktober 2016 Anies memulai psywar dengan mengeluarkan pernyataan, "bahwa sungai di Jakarta menjadi bersih adalah hasil dari rancangan Fauzi Bowo (Foke) bukan Ahok."

Namun terjadi sebuah fenomena unik. Ketika orang menelusuri mesin pencari Google dan mengetik, "Sungai bersih karena Foke" Eh, malah Mr.Google mengkoreksi kalimat tersebut dengan sebuah kalimat "pertanyaan dan sekaligus pernyataan juga." Mungkin maksud Anda adalah: "sungai bersih karena Ahok!" Anjay!

Dalam sekejap mata netizen membully Anies. Tim konsultan yang kemudian bermutasi menjadi TGUPP Anies inipun gelagapan tapi jadi paham bahwa statement tanpa didukung data akurat pasti akan anjay juga. Kata koentjinja adalah google. Ini bukan soal benar atau salah, melainkan algoritma. Jadi koentji lainnya ada ditangan IT, yaitu bagaimana mereka merancang strategi yang pas di medsos (tentunya memakai jasa influencer juga) sehingga akhirnya akan menguntungkan nilai simajikan.

Kalau diamati, gaya komunikasi politik timses Anies ini mirip dengan gaya timses Donald Trump. Terasa wajar karena Anies sendiri dibackup oleh Prabowo yang juga berkolaborasi dengan konsultan politik timses Trump. Adakah yang lebih kontroversial dari sosok Anies Baswedan (di Indonesia) dan Donald Trump? Yup kata koentjinja adalah kontroversial, sebab tidak penting apa yang anda katakan, karena yang dibutuhkan adalah reaksi orang-orang terhadap apa yang anda katakan!

Anies kemudian menutup Jalan Jatibaru Tanah Abang dan mempersilahkan PKL (Pedagang Kaki Lima) untuk berjualan di tengah jalan, lewat tenda-tenda yang sebelumnya diperjual-belikan Pemda. Anjay.

William Aditya Sarana dari Fraksi PSI kemudian menggugat Anies karena Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang dipakai Anies untuk menutup jalan itu bertentangan dengan Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Apakah Anies (TGUPP Anies) tidak mengetahui ini? Tentu saja tahu, sebab bantji Taman Lawang saja tahu kalau UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009 lebih tinggi derajatnya daripada Perda.

MA kemudian mengabulkan tuntutan William Aditya Sarana, dan Anies diperintahkan untuk membuka kembali jalan Jatibaru. Namun bukan Anies namanya kalau tidak pintar retorika.

Sebelum putusan MA tersebut turun, Satpol PP gercep (gerak cepat) membongkar tenda/lapak PKL. Ibu-ibu PKL menjerit, "anjrit! hangus deh uang sewa tenda, padahal dagangannya aja masih sepi"

Anies kemudian menyebut Putusan MA tersebut kedaluwarsa.  Terkait penutupan Jalan Jatibaru, Tanah Abang, menurut Anies, jalan tersebut sudah tidak ditutup lagi untuk PKL. Artinya putusan MA itu telah kedaluwarsa. Hahahaha...anjay!

Setelah isu penutupan Jalan Jatibaru, muncullah waring Kali Item, dimana untuk pertama kalinya sebuah sungai dibungkus dengan kain jarik eh kain waring. Lalu ada lagi patung bokep Getah Getih dari bambu di Bunderan HI. Tak lama kemudian Getah Getih diganti dengan gabion dari terumbu karang. Dan kemudian sekarang tak jelas lagi dimana keberadaan rimbanya. Anjay!

Seperti dunia esek-esek binti ena-ena, dunia politik memang akrab dengan jaringan 4G (Gelisah, Gemes, Gerah dan Gaduh) Letak kenikmatannya memang disitu. Seperti menabuh tong kosong yang pasti nyaring bunyinya.

Orang waras pasti akan misuh misuh sambil menjelaskan kepada sipenabuh bahwa menabuh tong kosong itu dapat menyebabkan kanker, serangan Jantung, impotensi serta gangguan Kehamilan dan janin!

Sebaliknya penggemar nasbung memiliki dua opsi. Kalau sipenabuh tadi "seiman" dengannya, maka mereka akan berjoget mengikuti irama tong kosong tadi. Namun kalau sipenabuh tadi berseberangan haluan atau termasuk golongan kaum medit, maka mereka akan misuh juga seperti orang waras lainnya. Jancuk! eh anjay!

Jadi, kapankah kita bisa melihat orang bersepeda di jalan tol?

Sepertinya tidak akan pernah, karena penggagasnya juga tidak pernah dan takut untuk membayangkannya. Ini memang seperti tong kosong nyaring bunyinya. 

Kalaupun anda melihat sepeda di jalan tol, pasti posisinya dalam keadaan asoy, doggystyle alias dicantol di belakang mobil siempunya sepeda. Anjay!

Salam sayang selalu, hepi wik-en

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun