Sama seperti ciuman, ketika menulis, tubuh mengeluarkan dopamine, hormon dengan rasa senang yang menyuntikkan energi pada otak dan sekujur tubuh.
Ketika menulis, dopamine juga akan menuntun sipenulis ke dalam suatu "perjalanan spiritual" lewat tulisannya itu sendiri. Sensasi itu tentu saja tidak akan bisa dirasakan oleh orang yang bukan penulis, apalagi bagi mereka yang tergolong boeta hoeroef...
Jadi efek utama dari menulis itu adalah timbulnya rasa senang dan bahagia. Sedangkan efek sampingnya adalah mendapat gopay pula.
Dopamine juga ternyata menimbulkan adiksi alias rasa ketagihan. Itulah sebabnya ketika seorang "ciuman" (menulis di Kompasiana) maka ia akan ketagihan pula untuk "ciuman" lagi.
Itu karena efek perjalanan spiritual tadi yang terus menempel dan teringat di dalam otak hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu pula.
Selain dopamine, menulis juga ternyata memaksa tubuh untuk melepaskan hormon serotonin dan oxytocin. Serotonin itu menimbulkan obsesi, memaksa sipenulis agar bisa terus eksis dalam menulis.
Sedangkan oxytocin itu menimbulkan perasaan sayang dan kangen pakai banget.
Masalahnya adalah para penulis sering kehabisan ide untuk menulis. Semangatnya mungkin pantang menyerah tapi ada daya tangan lemas terkulai. "Menulis tak hendak mengetik pun tak ingin..."
Padahal menulis itu gampang sekali. Apa susahnya sih kalau hanya sekedar menulis (walaupun mungkin tak akan ada yang baca...)
Nah... kini terungkap salah satu kendalanya, yakni "Takut tidak ada yang baca!"
Ini memang manusiawi. Di Kompasiana ini tidak ada penulis yang tidak takut kalau tulisannya itu hanya dibaca oleh segelintir orang saja. Bahkan admin Kompasiana pun harus memasang label Artikel Utama dan Pilihan pada artikel pengumuman pemenang K-rewards.