Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menulis Itu Gampang, Tak Percaya? Buktikan Sendiri!

10 Juli 2020   13:53 Diperbarui: 10 Juli 2020   14:03 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Content writer, sumber: GetCraft

  • Pada mulanya alam semesta masih gelap gulita dan ketika itu tidak ada mahluk yang berbicara sepatah kata pun. Berfirmanlah sang Khalik, "Jadilah terang," dan semuanya pun menjadi terang benderang. Malaikat lalu mencatatnya. Manusia kemudian menyebut catatan itu sebagai kitab suci...

Akhir-akhir ini laman Kompasiana diramaikan dengan berbagai topik mengenai kiat-kiat cara menulis artikel agar bisa berhasil menarik perhatian admin maupun pembaca Kompasiana.

Selain itu ada pula perdebatan mengenai KVB (Kompasianer Verifikasi Biru) dengan KVH (Kompasianer Verifikasi Hijau) dan juga gugatan mengenai kompetensi admin dalam meng-kurasi artikel-artikel Kompasianer untuk dimasukkan kedalam label Artikel Utama, Pilihan, Terpopuler, atau malah tidak mendapat label sama sekali.

Sebagai seorang penulis kelas receh, saya tentu saja ora ngurus soal perdebatan kelas KVB dengan KVH (mungkin juga karena saya termasuk kelas KVB) dan juga soal kurasi admin terhadap tulisan para Kompasianer itu.

Sejujurnya (ini manusiawi) saya merasa agak kurang sreg juga dengan kualitas tulisan-tulisan saya akhir-akhir ini.

Sejak Januari 2020 hingga bulan Juli 2020 ini, baru dua "biji" saja tulisan saya yang mendapat HL. Itu pun karena kontennya memang "tergolong berat dan teknikal sekali,"  yaitu Banjir Jakarta dalam perspektif Naturalisasi atau Normalisasi Saluran.

Di luar itu, artikel saya hanya mendapat label Pilihan. Itu pun ternyata karena bonus, yakni setiap tulisan dari penulis KVB otomatis akan mendapat label Pilihan pula.

Tapi ada juga satu-dua artikel yang tidak mendapat label sama sekali. Apa pasal?

Rupanya artikel tersebut kontennya dianggap sama dengan konten topik pilihan, padahal saya tidak mencantumkan label yang sesuai dengan topik pilihan tersebut. Otomatis viewer pada artikel tersebut tidak dimonetisasi ke dalam K-rewards, hehehe...

Tapi ra popo. Gak dapat HL, NT, Pilihan atau no label sama sekali gak papa, yang penting hepi. Ya hepi karena masih diizinkan untuk menulis...

Kata pakar menulis yang juga merangkap pakar cipokan, menulis itu sama seperti ciuman.

Sama seperti ciuman, ketika menulis, tubuh mengeluarkan dopamine, hormon dengan rasa senang yang menyuntikkan energi pada otak dan sekujur tubuh.

Ketika menulis, dopamine juga akan menuntun sipenulis ke dalam suatu "perjalanan spiritual" lewat tulisannya itu sendiri. Sensasi itu tentu saja tidak akan bisa dirasakan oleh orang yang bukan penulis, apalagi bagi mereka yang tergolong boeta hoeroef...

Jadi efek utama dari menulis itu adalah timbulnya rasa senang dan bahagia. Sedangkan efek sampingnya adalah mendapat gopay pula.

Dopamine juga ternyata menimbulkan adiksi alias rasa ketagihan. Itulah sebabnya ketika seorang "ciuman" (menulis di Kompasiana) maka ia akan ketagihan pula untuk "ciuman" lagi.

Itu karena efek perjalanan spiritual tadi yang terus menempel dan teringat di dalam otak hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu pula.

Selain dopamine, menulis juga ternyata memaksa tubuh untuk melepaskan hormon serotonin dan oxytocin. Serotonin itu menimbulkan obsesi, memaksa sipenulis agar bisa terus eksis dalam menulis.

Sedangkan oxytocin itu menimbulkan perasaan sayang dan kangen pakai banget.

Masalahnya adalah para penulis sering kehabisan ide untuk menulis. Semangatnya mungkin pantang menyerah tapi ada daya tangan lemas terkulai. "Menulis tak hendak mengetik pun tak ingin..."

Padahal menulis itu gampang sekali. Apa susahnya sih kalau hanya sekedar menulis (walaupun mungkin tak akan ada yang baca...)

Nah... kini terungkap salah satu kendalanya, yakni "Takut tidak ada yang baca!"

Ini memang manusiawi. Di Kompasiana ini tidak ada penulis yang tidak takut kalau tulisannya itu hanya dibaca oleh segelintir orang saja. Bahkan admin Kompasiana pun harus memasang label Artikel Utama dan Pilihan pada artikel pengumuman pemenang K-rewards.

Padahal sekalipun artikel tersebut kehilangan label, artikel tersebut tetap saja akan diburu orang!

Sebenarnya di toko buku, youtube maupun di Kompasiana ini sendiri banyak tutorial mengenai cara menulis "yang baik dan benar."

Penulis sendiri kebetulan agak berbeda "mazhabnya" dengan tutorial-tutorial di atas. Dulu sih penulis pernah mencoba tutorial tersebut, namun gagal maning.   

Akhirnya penulis mencoba menulis dengan "cara tak baik dan tak benar" pula, dan kiranya berhasil menuliskan ratusan artikel di blog keroyokan ini.

Hasilnya bagaimana?

Dari 356 artikel itu, admin menyemat 35 HL dan 228 Pilihan saja. Tentulah bukan prestasi yang istimewa dalam penilaian admin.

Akan tetapi ketika 356 artikel itu dibaca oleh 476.394 orang yang artinya satu artikel rata-rata dibaca oleh 1.338 orang, tentulah itu suatu bentuk apresiasi luar biasa yang diberikan rekan-rekan Kers bagi saya sendiri. Sungguh membuat saya terharu...

***

Pelajaran pertama dalam menulis bagi penulis pemula adalah dengan cara meniru tulisan penulis terkenal! 

Pada dasarnya manusia itu adalah peniru, dan jangan khawatir soal itu. Saya bukan menganjurkan anda menjadi plagiat, bukan! Seorang penulis, kecil atau besar, pendek atau tinggi, tulisan awalnya itu pasti akan dipengaruhi oleh seseorang atau beberapa orang penulis tertentu.

Nikmati dan tirulah gaya menulis idolamu itu dan rasakan sensasinya hingga ke hati. Tentunya dengan tidak lupa memberi catatan bahwa tulisan itu terinspirasi oleh penulis anu.

Ibarat pesepakbola junior yang pastinya punya idola seperti Messi, Ronaldo atau Beckham misalnya.

Gaya bermain para junior ini akan cenderung mengikuti idola mereka itu, sampai pada suatu titik persimpangan, dimana ia akan bertanya kepada dirinya sendiri, "Siapakah aku?"

"Ah, aku ternyata tidak cocok dengan idola. Aku sepertinya lebih nyaman dengan gayaku sendiri saja."

Nah, setelah kamu punya "gaya," maka mulailah menulis, menulis dan menulis.

Pelajaran kedua dalam menulis bagi penulis pemula adalah dengan cara meniru tulisan penulis bodoh! 

Di Kompasiana ini pun banyak tulisan ngaco bin bodoh. Soalnya kadang-kadang ada juga penulis yang terbalik meletakkan "tanda seru" dengan "tanda tanya," atau "titik" dengan "koma"

Cobalah tulis ulang artikel sibodoh tadi dengan gayamu sendiri.

Tulislah dengan gayamu tadi. Buat sebaik dan seartistik mungkin, lengkapi pula dengan kutipan apik dan referensi yang lengkap. Foto atau video clip pun tidak tabu disertakan untuk "penambah rasa."

Nah setelah selesai, lalu bandingkan keduanya.

Kalau hasil tulisanmu "kelihatan" lebih bagus itu artinya kamu sudah lulus tahap pertama, dan layak menyandang predikat sebagai seorang penulis pemula merangkap editor pemula.

Kalau hasilnya sama saja, berarti kamu masih butuh latihan lagi.

Kalau hasilnya lebih jelek, cobalah pikirkan alternatif lain seperti belajar melukis atau belajar menari saja misalnya.

Menulis itu tidak ubahnya seperti melukis. Sama-sama karya seni. Lukisan itu adalah cerita yang diekspresikan dalam bentuk sebuah gambar, sedangkan tulisan adalah suatu gambar(an) yang diekspresikan dalam untaian kata.

Sama seperti lukisan yang terdiri dari beberapa aliran seperti surealisme dan realisme misalnya, maka tulisan juga mempunyai banyak kategori yang biasanya dibagi dalam dua aliran yakni karya Fiksi dan Non-fiksi.

Lalu apa yang akan kita tulis?

Ini memang pertanyaan susah tapi gampang. Kelihatan gampang tapi ternyata susah banget karena ini terpulang kepada karakteristik setiap orang yang berbeda-beda.

Contohnya seperti saya sendiri. Saya ini seorang introvert, pendiam dan agak pemalu.

Karena tak terlalu banyak berbicara secara verbal, maka saya cenderung berbicara lewat tulisan.  Menulis terasa lebih nyaman karena saya kan tidak harus bertatap muka langsung dengan pembaca.

Artinya ada keinginan kuat untuk "berkomunikasi" (mengungkapkan isi hati maupun pikiran) lewat tulisan daripada membicarakannya secara verbal. Jadi setidaknya saya sendiri pun sudah punya kecenderungan untuk sering-sering menulis.

Sebenarnya menulis itu tidak melulu ungkapan isi hati dan pikiran. Di Kompasiana ini pun ada juga penulis "tanpa hati," yang lebih suka memburu hadiah lewat blog competition.

Nah ini perlu sedikit penjelasan supaya tidak menimbulkan kegaduhan baru. Yang dimaksud dengan "penulis tanpa hati" itu adalah penulis yang nyaris tak pernah menulis tentang opini (perasaan, pandangan atau apapun itu yang menyangkut hati dan pikirannya) tetapi tulisannya itu sering nongol dalam bentuk blog competition. Ini memang cerita empat tahun lalu, hehehe...

Tidak apa-apa sih, sebab menulis di blog competition itu juga perlu ketrampilan menulis tingkat dewa. Tapi mungkin saja Kers ini menulis opininya di blog pribadi atau blog lainnya. Jadi Kers ini maen ke Kompasiana hanya untuk berburu hadiah saja, hehehehe...

Nah para penulis pemula juga bisa belajar menulis lewat blog competition. Tentunya gaya penulisannya text-book sekali dengan memakai standar EYD/PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) tentunya.

Blog competition adalah salah satu jalur cepat untuk menjadi penulis hebat atau penulis profesional, termasuk menjadi content writer/creator yang kini banyak digandrungi anak muda.

Ketika mencari kerja formal di kantor terasa susah, para penulis konten freelance ini bisa cari duit dengan bekerja dari rumah atau malah lewat warteg yang punya wifi gratis!

Selain opini dan blog competition, tentunya kita bisa menulis ulang artikel-artikel keren sebagai bahan tulisan kita.

Artikel Gaya hidup, Ekonomi, Teknologi, Bisnis, Olahraga atau Otomotif misalnya adalah artikel-artikel yang sudah dipublikasikan oleh media top, kemudian ditulis ulang oleh para penulis blog.

Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai sumber artikel tersebut berasal dari media abal-abal yang tak jelas "usul-asalnya."

Demikianlah sedikit urun rembuk kiat-kiat menulis dari seorang penulis receh, yang menulis dengan "cara tak baik dan tak benar pula," yang mudah-mudahan bisa manjur bagi penulis-penulis gagal yang sudah pernah belajar menulis dengan cara yang baik dan benar, namun tetap saja merasa gagal...

Wassalam

Reinhard Hutabarat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun