Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Kurang Ajarnya" Orang Inalum

2 Juli 2020   17:21 Diperbarui: 3 Juli 2020   00:16 5066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhammad Nasir, sumber : https://media-origin.kompas.tv/

Bukan Rocky Gerung, Fadli Zon, Fahri Hamzah atau Rizal Ramli yang menjadi bintang pada minggu ini. Telah lahir bintang baru yang mungkin akan segera hadir pula untuk mengisi acara ILC-nya Karni Ilyas. Bintang baru itu bernama Muhammad Nasir, nama yang sangat asing ditelinga warga +62.

Akan tetapi ketika disebut nama saudaranya, maka warga +62 akan serempak menyahut dengan seruan tertahan, "oh itu toh..." Yah, nama saudara Muhammad Nasir ini adalah Muhammad Nazaruddin, maling kasus Hambalang, yang proyeknya baru akan selesai pada Lebaran Kuda mendatang...

Brutal, kasar, arogan (dan tampak bodoh) adalah gaya yang ditunjukkannya pada acara RDP (Rapat Dengar Pendapat) antara Komisi VII DPR dengan Inalum (PT Indonesia Asahan Aluminium)

Gaya Muhammad Nasir ini bahkan membuat preman batak di terminal lari ketakutan, mengurut dada sambil istigfar... Itu bukan karena Muhammad Nasir ini marah-marah di terminal, melainkan karena marahnya itu di tempat terhormat para yang mulia tuan DPR bersidang untuk menentukan hidup-mati 256 juta warga +62!

Mungkin preman batak itu lupa kalau Muhammad Nasir yang brutal ini pun termasuk salah satu dari yang mulia tuan DPR itu sendiri. Artinya para yang mulia tuan DPR ini memang memiliki privilege untuk bersikap dan berbicara ala preman ketika berada di tempat manapun, termasuk tempat ibadah misalnya, karena mereka ini adalah "utusan tuhan" bagi 256 juta warga Indonesia!

Mari kita lupakan sejenak urusan preman ini dan kita fokus pada hakikat utama penyebab "kekerasan verbal" ini.

Alkisah, pada zaman dimulainya Orba oleh mbah kakung Suharto, maka dimulailah "New Normal Imperialisme" ekonomi lewat kedatangan perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport misalnya. Freeport ini kemudian mengeruk isi perut bumi Papua selama berpuluh-puluh tahun.

Ketika itu kita hanya bisa menonton dari jarak jauh, sementara saudara kita warga papua hanya bisa menatap dari dekat dengan kotekanya, namun tak bisa juga berbuat apa-apa.

Saham mayoritas tambang Freeport Indonesia itu dikuasai sepenuhnya oleh asing. Itulah sebabnya Pemerintah pun kini ikutan menonton juga ketika raw material itu diangkut ke Amerika.

Idealnya Freeport membuat smelter yang kemudian diikuti oleh industri hilirnya di Indonesia. Dengan demikian yang diekspor itu adalah produk-produk unggulan bernilai tinggi.

Bukan itu saja, industrilisasi dari hulu hingga hilir pastinya akan menambah penghasilan Pemerintah dari pajak. Dan jangan lupakan juga penyerapan tenaga kerja untuk industri-industri tersebut.

Analoginya begini. Karet mentah rakyat dari Jambi itu dihargai pengepul sebesar Rp 7.000 per kilo. Setelah itu kemudian diekspor ke Jepang.

Oleh Jepang, karet itu kemudian diolah menjadi ban ber-merek Yokohama. Oleh Koh Liem Swie Kang, ban Ring 18" seberat 15 kg itu kemudian dijual seharga Rp 5 juta sebijinya!

Kalau ban ber-merek Yokohama itu dibuat di Jambi, coba hitung berapa nilai tambah yang bisa diperoleh...

Tindakan semena-mena perusahaan asing itu pun hanya bisa disikapi pemerintah kala itu dengan sikap prihatin binti pasrah bin nyengir.

Loh koq nyengir? Ia, nyengir karena oknum kecipratan fee ongkos barge ngangkut biji besi ke Singapura. Pasrah karena Kontrak Karya Pemerintah dengan Asing itu jangka waktunya panjang, baru akan berakhir setelah Hari Lebaran Kuda...

Prihatin karena saham pemerintah di Freeport itu sangat kecil, sehingga suaranya tidak akan didengar. Sekalipun Asing itu pura-pura mau melakukan divestasi saham agar suara Pemerintah bisa semakin kencang, tapi Pemerintah tetap saja hanya bisa tersipu malu. Emangnya saham Freeport itu bisa dibeli dengan koteka eh daun...

***

Waktu berlalu musim pun berganti. Asing berlalu kini Aseng datang mengganti. Semua kontrak karya pun diperbaharui. Smelter menjadi wajib hukumnya, dan Pemerintah wajib menjadi tuan rumah di negerinya sendiri lewat saham mayoritas disemua perusahaan tambang.

Asing tersentak, lalu menebar teror. Salah satunya dengan memboikot minyak sawit Indonesia karena Pemerintah kini melarang ekspor bahan mentah. Asing meradang karena industri hilir mereka itu menderita busung lapar karena ketiadaan bahan baku.

Lalu bijimana caranya agar Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri? Apalagi Pemerintah pun masih butuh dana banyak untuk pembangunan infrastruktur. Dan satu lagi, kita tidak punya dana untuk membeli saham-saham asing itu.

Tapi jangan lupa, kita itu punya beberapa perusahaan tambang yang ternama. Ada yang bagus banget seperti Inalum, ada yang cukup keren seperti Antam, tapi ada juga beberapa perusahaan yang brengsex karena perusahaannya merugi tapi gaya hidup pengurusnya bak cukong kapal pesiar.

"Bersatu kita teguh bercerai kita rubuh." Ketika seluruh perusahaan-perusahaan tambang itu kemudian digabung (tentunya setelah sebelumnya masing-masing direstrukturisasi) maka hasilnya sangatlah menakjubkan!

Seribu benang memang tidak berarti. Akan tetapi kalau dirajut menjadi selembar kain, maka akan cukup untuk menutup aurat!

Saham Inalum "seorang" tentu tidak akan dilirik. Akan tetapi ketika digabung dengan PT Antam, PT Timah, PT Bukit Asam dan PT Freeport, maka nilainya akan cukup menyilaukan mata di New York Stock Exchange. Ibarat gadis, saham seksi seperti ini pasti akan selalu dilirik. Ibarat koin seribu bergambar kelapa sawit, nilai pasarnya itu akan selalu diatas nilai yang tercetak diatas koin itu sendiri.

Kekecualian itu hanya bila ditemukan fakta baru bahwa koin tersebut ternyata menjadi media tempat penyebaran virus Covid-19...

MIND ID Nama lain dari PT Inalum ini kemudian menjadi "jaminan mutu" untuk berutang! Tujuannya adalah untuk membeli divestasi saham-saham asing yang sudah waktunya memang harus mereka jual.

Seharusnya kita tidak usah lagi berpolemik soal ini, karena hal ini sudah sejak bertahun-tahun lalu dibahas bersama, termasuk oleh tuan-tuan DPR di Senayan sana.

Membeli divestasi saham asing itu hanya lewat satu cara, yaitu utang. Kekecualian kalau kita membayarnya lewat APBN.

Apakah rakyat mau subsidi listrik, gas melon dan BBM dihapus karena dananya dipakai untuk membeli saham Freeport?

Apakah anggota DPR, PNS/ASN, pegawai BUMN/BUMD mau bekerja tanpa digaji  karena dananya dipakai untuk membeli saham Freeport?

Apakah TNI-AU mau seluruh pesawat tempur di-grounded saja karena avtur-nya ditukar dengan saham Freeport?

Jadi soal utang PT Inalum untuk divestasi saham Freeport tidak usah dibahas lagi. Bahkan sesuai amanat undang-undang, divestasi saham-saham asing yang sudah jatuh tempo, pastinya akan dibeli lewat skema utang PT Inalum ini.

Kekecualian itu, hanya bila terjadi "hujan duit" di wilayah Indonesia atau asing-asing itu kemudian insaf, lalu memberikan saham-saham mereka itu kepada kita secara cuma-cuma. Tetapi tampaknya itu adalah sebuah hil yang mustahal pula terjadi...

***

Dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) antara Komisi VII DPR dengan Inalum kemarin, sejujurnya penulis tidak ingin membahas "isi percakapan" dari seorang Muhammad Nasir ini.

"Ente yang ngomong ane yang malu dengernye" kata Bang Jali.

Penulis justru bingung melihat esensi dan konstruksi nalar dari seorang Muhammad Nasir yang mewakili hampir setengah juta orang warga yang diwakilinya di parlemen, dan juga partai tempatnya bernaung.

Utang kemudian menjadi isu yang seksi dipakai saat ini untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Seakan-akan berutang itu menjadi sesuatu yang tabu, dosa dan haram dilakukan.

Dalam dunia bisnis, utang adalah sebuah keniscayaan. Adakah negara di dunia ini yang tidak punya utang?

Dalam kasus Freeport dan saham-saham asing lainnya itu, skema divestasi saham lewat Bond/utang oleh PT inalum adalah sebuah keniscayaan. Ini sudah lama direncanakan, dan sudah pula dilakukan. Tentu dengan persetujuan DPR dan rakyat Indonesia pastinya.

Saat ini PT inalum adalah salah satu dari sedikit perusahaan seksi Indonesia yang bisa dipercaya untuk berutang dengan jangka waktu lama pula!

Lembaga Pemeringkat Utang seperti Moody's, Fitch Ratings atau Standard & Poor's misalnya, tentunya punya kriteria dan daftar perusahaan Indonesia yang bonafid. Semakin bonafid sebuah perusahaan, maka akan semakin kecil rate pinjaman yang dibebankan, semakin besar jumlah utang yang diberikan dan semakin panjang pula jangka waktu pengembaliannya.

Kemarin terungkap bahwa utang PT Inalum itu ada yang tenornya mencapai 30 tahun dan tanpa jaminan dari Pemerintah pula. Dari dua hal ini saja kita sudah mengerti bagaimana "kualitas" dari PT inalum ini.

Penulis juga mendukung langkah-langkah manajemen PT Inalum yang melakukan refinancing, dimana utang-utang jangka pendek dengan rate tinggi segera ditutup dengan menggunakan "soft loan" tadi. Selisih bunga utang itu tentu saja pada akhirnya akan dapat menambah setoran ke APBN.

Jangan lupa juga bahwa PT Inalum (Persero) itu mempunyai tugas ganda. Sebagai BUMN ia tentu saja diharapkan bisa menambah kas bagi APBN. "Tugas mulia" lainnya adalah untuk membeli divestasi saham-saham asing agar kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Ini bukanlah tugas gampang mengingat caranya hanya dengan jalan utang.

Bankir itu adalah orang yang "meminjamkan payung di hari cerah, dan kemudian segera menariknya di saat mendung." Hanya orang kaya saja yang diberikan kredit, sebab hanya orang gila yang mau meminjamkan duit kepada orang miskin. Ini menyangkut kredibilitas.

Sekali PT Inalum lancung, maka semuanya akan ambyar!

Di zaman extraordinary ini, sudah seharusnya semua pihak berpikir dan bertindak secara extra ordinary pula. BUMN nakal memang sudah seharusnya dijewer. Namun BUMN yang baik sudah seharusnya didukung dan di-apresiasi pula.

Orang-orang seperti Muhammad Nasir yang nalar dan perangainya seperti "Jaka sembung bawa golok" ini sudah pastinya akan selalu memperburuk keadaan.

Mungkin ada baiknya MKD (Majelis Kehormatan Dewan) rutin secara berkala melakukan evaluasi terhadap perilaku dan kinerja dari setiap anggotanya, karena tujuan dari MKD ini adalah untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Referensi,

satu, dua, tiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun