Kekecualian itu, hanya bila terjadi "hujan duit" di wilayah Indonesia atau asing-asing itu kemudian insaf, lalu memberikan saham-saham mereka itu kepada kita secara cuma-cuma. Tetapi tampaknya itu adalah sebuah hil yang mustahal pula terjadi...
***
Dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) antara Komisi VII DPR dengan Inalum kemarin, sejujurnya penulis tidak ingin membahas "isi percakapan" dari seorang Muhammad Nasir ini.
"Ente yang ngomong ane yang malu dengernye" kata Bang Jali.
Penulis justru bingung melihat esensi dan konstruksi nalar dari seorang Muhammad Nasir yang mewakili hampir setengah juta orang warga yang diwakilinya di parlemen, dan juga partai tempatnya bernaung.
Utang kemudian menjadi isu yang seksi dipakai saat ini untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Seakan-akan berutang itu menjadi sesuatu yang tabu, dosa dan haram dilakukan.
Dalam dunia bisnis, utang adalah sebuah keniscayaan. Adakah negara di dunia ini yang tidak punya utang?
Dalam kasus Freeport dan saham-saham asing lainnya itu, skema divestasi saham lewat Bond/utang oleh PT inalum adalah sebuah keniscayaan. Ini sudah lama direncanakan, dan sudah pula dilakukan. Tentu dengan persetujuan DPR dan rakyat Indonesia pastinya.
Saat ini PT inalum adalah salah satu dari sedikit perusahaan seksi Indonesia yang bisa dipercaya untuk berutang dengan jangka waktu lama pula!
Lembaga Pemeringkat Utang seperti Moody's, Fitch Ratings atau Standard & Poor's misalnya, tentunya punya kriteria dan daftar perusahaan Indonesia yang bonafid. Semakin bonafid sebuah perusahaan, maka akan semakin kecil rate pinjaman yang dibebankan, semakin besar jumlah utang yang diberikan dan semakin panjang pula jangka waktu pengembaliannya.
Kemarin terungkap bahwa utang PT Inalum itu ada yang tenornya mencapai 30 tahun dan tanpa jaminan dari Pemerintah pula. Dari dua hal ini saja kita sudah mengerti bagaimana "kualitas" dari PT inalum ini.