Analoginya begini. Karet mentah rakyat dari Jambi itu dihargai pengepul sebesar Rp 7.000 per kilo. Setelah itu kemudian diekspor ke Jepang.
Oleh Jepang, karet itu kemudian diolah menjadi ban ber-merek Yokohama. Oleh Koh Liem Swie Kang, ban Ring 18" seberat 15 kg itu kemudian dijual seharga Rp 5 juta sebijinya!
Kalau ban ber-merek Yokohama itu dibuat di Jambi, coba hitung berapa nilai tambah yang bisa diperoleh...
Tindakan semena-mena perusahaan asing itu pun hanya bisa disikapi pemerintah kala itu dengan sikap prihatin binti pasrah bin nyengir.
Loh koq nyengir? Ia, nyengir karena oknum kecipratan fee ongkos barge ngangkut biji besi ke Singapura. Pasrah karena Kontrak Karya Pemerintah dengan Asing itu jangka waktunya panjang, baru akan berakhir setelah Hari Lebaran Kuda...
Prihatin karena saham pemerintah di Freeport itu sangat kecil, sehingga suaranya tidak akan didengar. Sekalipun Asing itu pura-pura mau melakukan divestasi saham agar suara Pemerintah bisa semakin kencang, tapi Pemerintah tetap saja hanya bisa tersipu malu. Emangnya saham Freeport itu bisa dibeli dengan koteka eh daun...
***
Waktu berlalu musim pun berganti. Asing berlalu kini Aseng datang mengganti. Semua kontrak karya pun diperbaharui. Smelter menjadi wajib hukumnya, dan Pemerintah wajib menjadi tuan rumah di negerinya sendiri lewat saham mayoritas disemua perusahaan tambang.
Asing tersentak, lalu menebar teror. Salah satunya dengan memboikot minyak sawit Indonesia karena Pemerintah kini melarang ekspor bahan mentah. Asing meradang karena industri hilir mereka itu menderita busung lapar karena ketiadaan bahan baku.
Lalu bijimana caranya agar Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri? Apalagi Pemerintah pun masih butuh dana banyak untuk pembangunan infrastruktur. Dan satu lagi, kita tidak punya dana untuk membeli saham-saham asing itu.
Tapi jangan lupa, kita itu punya beberapa perusahaan tambang yang ternama. Ada yang bagus banget seperti Inalum, ada yang cukup keren seperti Antam, tapi ada juga beberapa perusahaan yang brengsex karena perusahaannya merugi tapi gaya hidup pengurusnya bak cukong kapal pesiar.