Walaupun terhitung "seupil" akan tetapi performa aktivis Kelompok Pembebasan Timor Timur ini tergolong luar biasa. Mereka berhasil memojokkan Suharto dan Indonesia di mata internasional terkait aneksasi Timor Timur oleh Indonesia.
Aktivis Kelompok Pembebasan Timor Timur ini bahkan mampu mempengaruhi polisi lokal dan pemerintahan daerah setempat untuk memusuhi Suharto. Apalagi banyak juga "haters Suharto" dari Sabang sampai Merauke, yang berada di Jerman mendukung gerakan ini.
Tanpa "kerja sama yang baik dengan pihak lokal," insiden yang menimpa Suharto ini mustahil bisa terjadi!
Lobi-lobi itu pun sudah dimulai sebulan sebelum kedatangan rombongan Suharto, yakni ketika trio  Luciano, Vitor Tavarez dan Jose Manuel berangkat dari Lisbon menuju Dresden untuk melobi parlemen dan kepolisian setempat.
Lobi-lobi itu ternyata cukup jitu. Pada 30 Maret 1995, Parlemen Kota Dresden mengeluarkan sikap, "rombongan Suharto tidak diterima di Dresden!"
Insiden Dresden ini kemudian memakan korban. Yang pertama adalah Komandan Paspampres, Brigadir Jenderal TNI Jasril Jakub yang lengser keprabon dari jabatannya.
Yang kedua adalah politikus PPP, Sri Bintang Pamungkas yang kebetulan sedang melawat ke Jerman, berbarengan dengan Suharto. SBP sendiri mengisi rangkaian kuliah umum di kampus-kampus Jerman.
SBP dicokok Tekab beberapa menit setelah menghirup udara Bandara Soeta. SBP kemudian diadili dengan tuduhan berbuat makar.
Tapi Luciano sendiri memastikan bahwa tidak ada seorangpun aktivis Indonesia, termasuk SBP yang terlibat dalam insiden ini.
Insiden Dresden ini kemudian menjadi tonggak sejarah. Kitab Babad Jawi, Primbon maupun erek-erek togel dibuka. Ada yang meramal kekuasaan Suharto akan jatuh persis seperti pecinya yang terjatuh ketika digebuk Luciano.
Yang lain meramal bahwa aktivis harus berhati-hati. Suharto sudah marah, apalagi dia mengeluarkan narasi "akan main gebuk" ketika konpres di dalam pesawat menuju Jakarta.