Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Awas Ancaman Penularan Covid-19 Lewat Penumpukan Penumpang KRL

10 Juni 2020   16:12 Diperbarui: 10 Juni 2020   16:22 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Stasiun Kebayoran, sumber : https://cdn-asset.jawapos.com

Senin 8 Juni 2020 kemarin menjadi hari pertama masuk kerja pada masa PSBB Transisi. PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) tercatat melayani lebih dari 287.048 pengguna KRL Jabodetabek hingga pukul 20.00 WIB pada Senin tersebut. Laporan terakhir mencatat KCL mengangkut lebih dari tiga ratus ribu penumpang pada hari pertama PSBB Transisi.

Pada masa normal sendiri, KCL bisa mengangkut penumpang hingga satu juta per hari.

padahal pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kemarin KCL mengangkut 180.000 hingga 200.000 saja pengguna setiap harinya.

Peningkatan penumpang tersebut membuat terjadinya antrean pengguna di sejumlah stasiun pada jam sibuk seperti misalnya Stasiun Tanah Abang, Stasiun Jakarta Kota, Stasiun Juanda, Stasiun Depok dan Stasiun Bogor.

Penumpukan penumpang ini tentu saja membuat was-was akan terjadinya cluster baru Covid-19 lewat beberapa stasiun kereta. Ini tentunya menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mencegah terjadinya cluster baru Covid-19 dan sekaligus juga mencari solusi terbaik terkait persoalan ini.

Penulis yang juga sebagai partisan "Roker" (Rombongan kereta) maupun "Anker" (Anak kereta) memberi beberapa usulan sebagai berikut,

Pertama, Pengaturan jadwal kereta.

Peak time komuter itu adalah pagi hari (05.00-08.00) menuju Jakarta dan sore hari (04.00-09.00) dari Jakarta. Itu adalah masa-masa krusial penumpukan penumpang, bukan saja di dalam kereta, tetapi juga di areal stasiun, bahkan hingga ke jalan raya di dekat stasiun kereta itu sendiri.

Jadi penting sekali agar KCL meningkatkan frekuensi keberangkatan termasuk juga penambahan jumlah gerbong kereta untuk mengantisipasi lonjakan penumpang pada rush hour ini.

Setelah rush hour selesai maka KCl kemudian bisa melonggarkan frekwensi keberangkatan termasuk  mengurangi jumlah gerbong. Selain demi efisiensi, hal ini juga berguna untuk mengurangi kemacetan di perlintasan kereta dengan jalan raya.

Kedua, Penataan stasiun.

Stasiun Kebayoran Lama itu keren, diperlengkapi dengan escalator dan lift. Stasiunnya lumayan bersih diperlengkapi dengan toilet dan kursi yang nyaman untuk diduduki.

Tetapi begitu kita keluar dari stasiun, apa yang terjadi sodara-sodara sebangsa setanah air...

Stasiun Kebayoran Lama yang nemplok dengan Pasar Kebayoran Lama itu mengingatkan kita kepada lagu jadul Bill & Broad, Madu dan Racun.

Kalau Stasiun Kebayoran Lama itu jadi mawarnya maka Pasar Kebayoran Lama itu jadi durinya. Kalau Stasiun Kebayoran Lama itu jadi madunya maka Pasar Kebayoran Lama itu jadi racunnya. Lalu racun itu menelan habis madunya.

Stasiun Sudimara, Stasiun Palmerah dan juga mungkin beberapa stasiun lainnya itu sungguh tidak ramah bagi pengguna komuter yang berjalan kaki.

Dalam kondisi normal saja tidak nyaman, bagaimana lagi untuk menerapkan physical distancing?

Di negara-negara maju dan "beradab," komuter selalu menjadi andalan sebagai alat transportasi massal. Selain murah, cepat, aman, tentu saja sangat berguna untuk mengurangi polusi dan kemacetan.

Tetapi di sini Pemerintah Daerah justru bersikap setengah hati. Meminta warga agar mau naik transportasi umum, tetapi tidak mau membenahi sarananya! Seharusnya akses menuju stasiun itu dibuat senyaman mungkin agar orang super kaya hingga orang kere pun mau naik komuter.

Penulis sendiri angkat topi penuh hormat buat KCL dan para stafnya. Bagaimana mungkin dengan modal tiga ribu perak saja bisa naik kereta ber-AC dari Kebayoran Lama hingga BSD?

Tarif tiga ribu perak itu ternyata berlaku hingga jarak 25 km!

Mumpung masih dalam masa PSBB Transisi, Pemprov/Pemkab/Pemkot seharusnya membuat tim khusus gabungan (TNI, Polri, Satpol PP dan Pemda) untuk membenahi areal stasiun kereta agar bisa menerapkan protokol kesehatan bagi semua pengguna kereta.

Jumlah penumpang di dalam kereta, antrian di peron dan di dalam stasiun tentu saja sudah dibatasi. Untuk itulah  Pemerintah harus menyediakan tempat antrian yang aman dan nyaman bagi penumpang di luar stasiun itu sendiri.

Ketiga, pengaturan jadwal masuk kerja karyawan

Jika jam kerja kantor sebelum PSBB dan masa PSBB Transisi ini tetap sama, maka penumpukan penumpang di stasiun itu memang tidak akan terhindarkan.

Tidak akan ada solusi yang baik ketika lima puluh ribu orang pekerja berangkat serempak dari Depok menuju Jakarta pada jam kerja yang bersamaan!

Jadi jam kerja karyawan itu memang harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi penumpukan penunpang di stasiun pada jam-jam tertentu.

Ini memerlukan koordinasi lintas departemen termasuk dengan pihak swasta juga agar pengaturan jam kerja karyawan ini bisa diatur secara bergantian tanpa mengurangi jam kerja karyawan pastinya.

Tentunya diperlukan pengertian dan kerjasama yang baik dari semua pihak agar program ini bisa terlaksana dengan baik.

Untuk pertama kalinya tentu dimulai dari kantor-kantor pemerintah sendiri.

Kempat, pengadaan bus karyawan dari perusahaan

Pastinya akan ada biaya ekstra, akan tetapi sekiranya perusahaan mau membantu transportasi karyawan lewat pengadaan bus karyawan untuk rute-rute tertentu, pastinya akan sangat membantu mengurangi penumpukan di stasiun.

Saat ini sangat banyak bis-bis wisata maupun bis umum yang nganggur tersebab pandemi Covid-19. Alangkah bijaksananya sekiranya mereka ini diberdayakan untuk mengangkut karyawan pada jam-jam sibuk tadi.

Tentunya hal ini bukan untuk pengusaha saja. Pemerintah Pusat/Daerah dan BUMN juga bisa melakukan hal yang sama bagi PNS/para karyawannya.

Saat ini banyak supir bis yang menjadi pengangguran. Demikian juga kredit macet bis di bank dan leasing. Jelas macet karena bisnya tidak jalan. Pengusaha bis juga merana karena tidak ada pendapatan. Sementara itu biaya penyusutan dan perawatan bis berjalan terus. Ambyar tenan!

Nah win-win solution-nya tentu saja bis-bis ini lebih baik diberdayakan saja, tentunya dengan prinsip protokol kesehatan. Soal biaya sewa tentu saja bisa cincai-cincai. Yang penting semuanya bisa happy.

Demikianlah usulan dari penulis, seorang "Roker/Anker" musiman, mungkin pembaca budiman sudi menambahkan usulan-usulan yang berguna bagi kenyamanan para pengguna komuter.

Salam hangat

Referensi,

Bisnis ID

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun