Pembayaran klaim ke Rumah Sakit pun akhirnya tersendat, membuat Rumah-Sakit kelimpungan membiayai operasional, yang jelas saja akan mengganggu pelayanan medis kepada pasien.
Sebaliknya Rumah Sakit nakal pun tak kurang pula akal bulusnya. Kalau pemakaian obat tentu saja sudah ada protap dari BPJS yang wajib diikuti Rumah Sakit agar klaimnya bisa ditagih.
Yang sering dikadalin itu adalah pemeriksaan pendukung (Radiologi dan Laboratorium) dengan indikasi tertentu. Akibatnya biaya pengobatan si-pasien menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.
***
Kemarin itu ada seorang teman cebongers berkata kepada penulis, "Ini gimana ya presiden Jokowi. Saat ini situasinya kan lagi susah, koq malah cari penyakit dengan menaikkan iuran BPJS. Yah kalau mau naikin, mbok ya diam-diam aja nanti pas bulan enam-nya..."
Penulis terhenyak, Jokowi memang terkesan hendak melawan arus, tetapi mengapa ia tidak mengikuti gaya pendahulunya itu? Mengapa Jokowi tidak main aman saja?
Persoalan BPJS ini memang bukan main-main. Bukan karena rumit persoalannya atau rumit solusinya, tetapi karena "warga +62 itu suka memperumit masalah justru agar menjadi lebih rumit lagi!"
Dari uraian penulis di atas, setengah dari masalah maupun solusi dari polemik BPJS ini sebenarnya sudah terdeteksi.
Masalah BPJS yang utama itu adalah preminya terlalu murah dan Pesertanya banyak menunggak iuran. Bahkan Pemerintah Daerah juga banyak yang menunggak kewajibannya untuk membayar premi!
Terkait besaran nilai klaim dari provider, seiring berjalannya waktu, BPJS dan Rumah Sakit (dan dokter) sudah semakin efisien dalam pengaturan metode/biaya perobatan pasien tanpa harus mengurangi mutu pelayanan medis bagi si-pasien tersebut.
Masalah BPJS ini memang pelik karena menjadi beban bagi negara, dan tentu saja mengganggu APBN. Padahal negara sendiri saat ini sedang cekak karena dunia usaha berhenti.