Akan tetapi kisah yang terjadi pada era Sultan berkuasa ini sangatlah brutal dan memalukan, karena sudah mencederai etika dan profesionalisme pekerjaan.
Kisah asmara diantara pekerja dengan atau tanpa "oplas" sekalipun, ada di area privat. Penulis juga tidak tertarik membahasnya. Akan tetapi ketika hal itu kemudian menimbulkan kegaduhan dan mengganggu kinerja perusahaan, maka hal ini menjadi masalah serius.
Garuda adalah perusahaan terbuka dan milik publik, dan penulis juga lebih tertarik untuk membahas kinerja perusahaan ini daripada membahas kehidupan pribadi pengurusnya.
***
Tahun ini performa Garuda memang mengkilap karena praktek oligopoli bersama Lion Air grup. Sejak akhir tahun lalu harga tiket pesawat melambung tinggi hampir dua kali lipat, membuat keuntungan perusahaan juga melonjak tajam.
Pasar LCC (Low Cost Carrier) yang dulunya "berdarah-darah" karena terlalu banyak pemainnya, kini praktis dikuasai oleh Garuda dan Lion Grup saja.
Strategi Garuda memang sangat jitu. Kala itu, Sriwijaya dan Nam Air sedang semaput, lalu dipeluk sang Sultan, dan dijadikan "selir" di kelas LCC untuk menopang Citilink.
Disaat yang bersamaan, Lion Air kemudian menerapkan bagasi berbayar untuk penerbangannya.
Rakyat jelata seperti penulis kemudian gundah gulana bak Romusa dijadikan Jugun Ianfu di barak tentara Jepang. Sudahlah harga tiket naik dua kali lipat, bagasinya pun  kini pun harus berbayar pula. Tetapi konsumen tidak punya pilihan lain.
Konsumen kemudian ter-segmentasi. Kelas sendal jepit ala back packer (beneran, tanpa bagasi) kemudian naik Lion Air karena harganya lebih murah.
Tapi kalau punya bagasi seberat 20 kg, nanti dulu! Kalau selisih harga tiket Lion Air dengan Garuda cuma Rp 400 ribu, mending naik Garuda saja! Selain lebih bergengsi, tempat duduknya pun lebih lega, dan dapat makanan gratis pula.