Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Polemik Cangkul Made In China

28 November 2019   18:20 Diperbarui: 28 November 2019   18:30 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang mengatakan bahwa kita mustahil akan bisa swasembada beras dalam waktu dekat ini. Penyebabnya satu, yaitu karena kita masih mengimpor pacul (cangkul) terutama dari Tiongkok.

Impor pacul ini kemudian membuat Presiden Jokowi merasa malu. Apalagi pacul ini bukan untuk pertama kali ini diimpor, karena ternyata pacul impor ini sudah lama beredar di tanah air.

Pernyataan presiden terkait cangkul impor ini kemudian menarik perhatian masyarakat. Mulai dari mahasiswa, anggota parlemen, pebisnis, awak media, orang nyinyir hingga lelaki hidung belang pun kemudian melakukan analisis mendalam terkait cangkul impor ini.

Padahal para penjual dan end user (pemakai) dari pacul ini, tidak pernah mempersoalkan certificate of origin atau asal usul dari sipacul ini. Patokannya sederhana saja, dan tidak rasis. Ada barang, cocok harga, transaksi pun terjadi, dan pacul pun berpindah tempat dari tangan pedagang ke tangan pembeli.

Kali ini Pemerintah dan Oposan/kaum nyinyir ternyata kompakan mencela impor pacul ini tanpa tahu masalahnya secara komprehensif. Kalau masalahnya saja tidak diketahui secara benar, bagaimana mungkin bisa mencari solusinya secara tepat dan benar pula.

Impor cangkul ini sebenarnya tersebab karena produsen dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan cangkul di dalam negeri. Selain faktor produksi, faktor harga juga turut bermain disini, karena ternyata cangkul buatan Tiongkok lebih murah harganya daripada cangkul  buatan Mojokerto misalnya. Faktor "dumping" (produk dari Tiongkok) tentu saja menjadi perhatian utama penulis dalam menyikapi impor cangkul ini.

Berbicara tentang cangkul yang terbuat dari besi itu, tentu tak terlepas dari pembahasan tentang industri besi/baja tanah air. Apalagi konon katanya PT Krakatau Steel itu pun sudah lama merugi tersebab berbagai "kendala manajemen." Akibatnya bisa ditebak, biaya produksi tinggi, otomatis harga jual besinya kepada produsen cangkul lokal juga mahal!

Mayoritas produksi cangkul buatan lokal masih memakai teknologi sederhana di bengkel rumahan yang juga merupakan warisan keluarga turun temurun.

Pada zaman dulu ketika pekerjaan masyarakat masih banyak di sektor agraris, mungkin di setiap desa ada dua sampai tiga bengkel besi. Ketika kemudian terjadi pergeseran pola mata pencaharian masyarakat ke sektor lain, maka kini belum tentu di setiap kecamatan ada satu buah bengkel besi.

Dengan semakin berkurangnya "Mpu gandring" (pengrajin cangkul yang ahli) maka otomatis kualitas dan kuantitas cangkul yang dihasilkan oleh pengrajin cangkul lokal juga menurun.

Hukum ekonomi itu selalunya dipengaruhi oleh dua kutub berseberangan yaitu hukum permintaan dan penawaran. Ketika permintaan melebihi penawaran, maka "cangkul aseng" pun segera datang untuk membentuk ekuilibrium dalam dunia percangkulan tanah air.

Lalu bagaimana caranya cangkul made in China bisa lebih baik dan murah harganya?

Dari semua sisi, Indonesia jelas tertinggal dari Tiongkok. Listrik kita masih byar-pret dan mahal. Sementara listrik Tiongkok melimpah, stabil dan murah. Sekalipun upahnya lebih mahal, namun produktivitas kerja buruh Tiongkok melebihi buruh Indonesia. Akhirnya biaya produksi juga lebih murah.  

Coba bandingkan sendiri cangkul made in China dengan lokal. Ketebalan pelat dan kadar carbon dari besi pelat Tiongkok ini lebih besar. Pada cangkul Tiongkok, sambungan antara pelat cangkul dengan kepala (tempat untuk gagang cangkul) di-las semi robotic pada industri cangkul terpadu. Setelah itu material cangkul tersebut dipanaskan di oven pada suhu tertentu, sehingga kualitasnya bagus, presisi dan seragam.

Perlu kita ketahui, saat ini industri baja Tiongkok kelebihan pasokan. Setelah perhelatan Olimpiade 2008 China lalu usai, permintaan besi untuk keperluan proyek pun menurun drastis.

Agar tidak bangkrut, pabrik baja harus memutar otak dan membuat diversifikasi produk. Salah satunya adalah dengan jalan membuat produk perkakas/peralatan pertanian berbahan besi. Artinya, cangkul made in China impor ini memang dibuat oleh industri baja moderen.


Sebaliknya pada cangkul lokal, pelat besinya memang dari pabrik besi. Tetapi pembuatannya masih secara sederhana dan mengandalkan mood sipengrajin. Kalau sipengrajin lagi kasmaran atau mood-nya lagi baik, bisa dipastikan kalau paculnya akan baik-baik saja.

Tapi kalau sipengrajin lagi galau atau lagi bad-mood, bisa dipastikan hasilnya akan sebaliknya.

Setelah pelat cangkul dan kepala di-las secara manual, cangkul tadi kemudian dipanaskan dengan pasir besi lewat pompa angin manual yang temperaturnya tidak diketahui secara pasti. Hasil akhirnya bisa ditebak. Cangkul-cangkul itu tidak seragam dan tidak memenuhi standar percangkulan!

Jadi kalau ditanya, apakah cangkul lokal bisa bersaing dari segi kualitas dengan cangkul asing? Jawabnya tentu saja bisa kalau seandainya cangkul tersebut dibuat oleh pabrik baja, seperti Krakatau Steel misalnya.


Polemik percangkulan ini ternyata hanya untuk konsumsi kelas menengah dan atas saja, dan tidak menarik perhatian pada masyarakat akar rumput.

Disini ada beberapa pihak yang terlibat langsung dalam urusan percangkulan ini, dan mari kita simak pembahasannya.

Pertama, Petani dan (juga) Kuli gali tanah.

Petani jelas membutuhkan cangkul yang enak dipakai dan bermutu. Kalau bermutu baik dan harganya terjangkau, sekalipun cangkul tersebut dibuat di planet Mars, tentulah petani tidak akan mempermasalahkannya. Jadi mohon nama petani dan kuli galian jangan dipojokkan "tidak nasionalis" dalam kasus cangkul made in China ini.

Ini sama halnya dengan tempe. Tahukah anda bahwa kacang kedele, bahan baku tempe itu diimpor dari negara kafir yang kapitalis itu? Itu karena produksi nasional kacang kedelai kita hanya mampu menyuplai tak lebih dari 20% saja dari kebutuhan nasional. Sisanya masih diimpor dari Amerika dan China. Kalau sekiranya kacang kedelai itu "dinasionalisasi," maka harga sepotong tempe goreng jatuhnya tak akan kurang dari Rp 20 ribu per potong!

Padahal saat ini harga gorengan tempe "made in USA dan made in China"  di warteg cuma Rp dua rebu sepotongnya...

Tempe bukanlah makanan asli Indonesia, karena nenek moyang kita tidak pernah menanam kacang kedelai. Amerika yang tidak memakan tempe, menyuruh orang Indonesia memakan tempe, agar mereka bisa menjual kacang kedele Made in USA kepada Indonesia.

Kedua, Produsen cangkul lokal.

Kalau ditanya pengrajin cangkul lokal, yang mereka butuhkan adalah, agar harga besi pelat dan kawat las jangan mahal. Itu saja! Harapan sederhana khas wong cilik.

Mereka ini sudah punya pasar sendiri, dan saat ini tidak (belum) terganggu dengan kehadiran cangkul impor, selama pasokan cangkul impor tersebut dibatasi hanya untuk menutupi kekurangan pasokan dari produsen lokal. Dan satu lagi, jangan sampai ada dumping harga pada cangkul impor!

Saat ini produsen cangkul lokal yang bermazhab home industri ini, seperti memakan buah simalakama, dan tampaknya akan punah juga pada akhirnya. Hal ini tersebab kepada semakin sulitnya mencari pekerja yang punya passion dalam ilmu per-cangkulan, per-aritan maupun per-golokan. Padahal syarat utama knowledge transfer ilmu perbesian ini mewajibkan adanya passion...

Akan tetapi, cepat atau lambat, cangkul buatan pabrik baja (lokal maupun impor) akan menggilas habis cangkul buatan pengrajin lokal.

Ketiga, Pedagang.

Yang namanya pedagang di mana-mana urusannya hanya berdagang lalu dapat untung. Sederhana saja dan tak perlu dikait-kaitkan dengan Nasionalisme.

Bagi pedagang, menjual cangkul lokal atau impor itu tidak masalah, selama masih menguntungkan! Masalah besar kalau menjual cangkul, lalu merugi, sekalipun cangkul itu buatan Mertua sendiri! Kalau bakalan merugi, yah tidak usah dijual.

Keempat, Tukang nyinyir.

Yang namanya tukang nyinyir, ada tidaknya cangkul impor pun akan tetap nyinyir juga.

Sekalipun tidak pernah memegang cangkul, apalagi mencangkul, tetapi orang nyinyir tidak akan malu memberikan statement di media ihwal percangkulan ini.

Seorang tukang nyinyir dari Senayan berkata, "Kita adalah negara besar dengan bumi yang subur dan kaya akan hasil tambang, tetapi mengapa kita harus mengimpor cangkul?"

Nah sodara-sodara sebangsa setanah air, tukang nyinyir akan selalunya membuat kegaduhan tanpa memahami konteks yang dinyinyiri-nya secara komprehensif dan mendalam.

Ini memang era kebebasan berekspresi, akan tetapi diperlukan etika, pemahaman dan kejujuran dalam berekspresi.

Kini terpulang kepada kita agar berhati-hati dengan apa yang kita baca, dan bijaksana terhadap apa yang kita lihat, sebab yang terlihat sering tidak sama dengan kondisi yang sebenarnya....

Salam waras, salam hangat dari Mpu Gandring...

Sumber : 1 2  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun