Akan tetapi, cepat atau lambat, cangkul buatan pabrik baja (lokal maupun impor) akan menggilas habis cangkul buatan pengrajin lokal.
Ketiga, Pedagang.
Yang namanya pedagang di mana-mana urusannya hanya berdagang lalu dapat untung. Sederhana saja dan tak perlu dikait-kaitkan dengan Nasionalisme.
Bagi pedagang, menjual cangkul lokal atau impor itu tidak masalah, selama masih menguntungkan! Masalah besar kalau menjual cangkul, lalu merugi, sekalipun cangkul itu buatan Mertua sendiri! Kalau bakalan merugi, yah tidak usah dijual.
Keempat, Tukang nyinyir.
Yang namanya tukang nyinyir, ada tidaknya cangkul impor pun akan tetap nyinyir juga.
Sekalipun tidak pernah memegang cangkul, apalagi mencangkul, tetapi orang nyinyir tidak akan malu memberikan statement di media ihwal percangkulan ini.
Seorang tukang nyinyir dari Senayan berkata, "Kita adalah negara besar dengan bumi yang subur dan kaya akan hasil tambang, tetapi mengapa kita harus mengimpor cangkul?"
Nah sodara-sodara sebangsa setanah air, tukang nyinyir akan selalunya membuat kegaduhan tanpa memahami konteks yang dinyinyiri-nya secara komprehensif dan mendalam.
Ini memang era kebebasan berekspresi, akan tetapi diperlukan etika, pemahaman dan kejujuran dalam berekspresi.
Kini terpulang kepada kita agar berhati-hati dengan apa yang kita baca, dan bijaksana terhadap apa yang kita lihat, sebab yang terlihat sering tidak sama dengan kondisi yang sebenarnya....