Pochettino tidak boleh melatih Arsenal ataupun Chelsea, karena itu akan melukai hati fans Hotspur. Kalaupun ia ingin melatih di EPL, maka MU adalah tempat yang lebih tepat.
Kedua, dari sisi David Levy
Levy adalah seorang pebisnis sejati yang pragmatis dan profit oriented. Levy sangat mengagumi Pochettino karena dengan budget minim, dia sanggup membangun tim hebat. Karena berhemat, Hotspur pun akhirnya bisa membangun stadion megah berkelas dunia.
Namun Levy juga tak habis pikir, kenapa Pochettino tidak mampu memberinya sebuah trofi pun. Itu karena Pochettino tidak memiliki pemikiran pragmatis dalam bermain, yang sebenarnya sangat berguna untuk memperoleh sebuah trofi.
Levy kini sudah kadung muak dengan semuanya itu. Apalagi tugas Pochettino untuk membangun stadion sudah selesai.
Ketika Pochettino kemudian datang kepadanya untuk meminta belanja pemain besar, Levy memang sengaja mengabaikannya, untuk menguji kemampuan seorang Pochettino. Atau mungkin saja Levy memang sedang berusaha untuk mendepaknya.
Dalam pandangan subjektif penulis (yang terbatas) Levy memang sedang berusaha membuat nama Tottenham Hotspur melambung tinggi seperti MU, City, Liverpool, Real Madrid ataupun Barcelona. Apalagi kini mereka memiliki stadion megah melebihi City, Arsenal ataupun Liverpool.
Kini Hotspur butuh nama pelatih besar dan nama Hotspur sering dibicarakan orang-orang. Mourinho adalah sosok yang pas dengan itu. Mungkin bukan dalam prestasi, tetapi nama Mourinho dan Hotspur akan sering menjadi trending topic.
Lantas untuk apa semuanya itu?Â
Ini adalah semata bisnis bagi seorang Levy.
Klub-klub Inggris selalu menjadi incaran para investor kaya dari Cina, Arab hingga Rusia. Nilai saham klub Inggris pun selalu naik dan tidak pernah turun. Penonton dan fans klub sangat setia, sekalipun klubnya terdegradasi mereka tetap setia datang ke stadion dan membeli merchandise klub. Hal itu tidak terdapat pada liga-liga top di negara lain seperti Italia, Spanyol maupun Jerman.