Dua tahun lalu, saya mengabaikan saja hal ini, karena ketika itu posisi KPK persis seperti telur di ujung tanduk, nyaris tergilas Pansus hak angket KPK! Kalau Pansus ini berjalan, maka KPK akan ditelanjangi DPR, terutama terkait hal penyadapan, penjebakan dan metodologi penyidikan yang secara prosedur hukum memang debateable. Apalagi sebelumnya Novel berseteru dengan atasannya, Brigjen polisi Aris Budiman.
Novel meragukan kapasitas Brigjen polisi Aris Budiman sebagai Direktur Penyidikan KPK lewat sebuah e-mail. Karuan saja hal tersebut membuat Aris murka. Sialnya komisioner KPK membiarkan saja hal ini terjadi. Mungkin pengalaman buruk seperti kasus "cicak-buaya" di masa lalu membuat bos KPK membiarkan saja sesama polisi (di KPK) itu saling "adu jotos." Apalagi Novel ini memang termasuk tengil, dan suka mendebat atasan termasuk juga para komisioner KPK sendiri! Jadi di KPK sendiri Novel memang tidak disukai, walaupun dia termasuk penyidik top nan oke tanpa oce.
Diremehkan anak buah dan atasan tentu saja membuat Aris kecewa dan sakit hati. Aris adalah polisi aktif. Keluar dari KPK tentu ia akan balik lagi ke Polri. Kalau tidak ada aral melintang, setidaknya ia masih akan bisa menjabat sebagai Kapolda sebelum pensiun. Padahal di KPK itu duit cekak, pekerjaan berat dan tidak mendapat respek pula dari sesama korps. Ketika Aris dipanggil ke DPR, ia pun datang dengan sukacita untuk "membuka aib" di KPK.
Penyiraman air keras terhadap Novel dengan tagline "serangan terhadap pemberantasan korupsi" kemudian datang menyelamatkan KPK dari terjangan Pansus Hak Angket. DPR yang dirundung kasus E-KTP pun terpaksa harus undur diri untuk sementara waktu agar tidak disebut warga sebagai "Anak TK di sarang penyamun"
***
Berbicara tentang motif (murni kriminal please jangan dikaitkan dengan politik) tak ada salahnya kalau polisi menyambangi markas KPK untuk meminta keterangan secara terperinci, termasuk juga kepada Aris. Apalagi Novel menyebut-nyebut keterlibatan seorang jenderal. Novel juga harus mau diperiksa dan bersikap kooperatif. Kalau tidak mau ya dihukum saja seperti yang berlaku kepada setiap WNI tanpa terkecuali.
Sebagai warga negara yang baik dan menghormati hukum, setiap orang maupun lembaga harus mau memberikan keterangan yang benar dan sebenar-benarnya kepada polisi agar kasus ini bisa terungkap dengan cepat. Tidak perlu kasus ini didramatisir sebagai kasus "cicak buaya part III" dan sebagainya.
Anyway, saya jadi kepikiran. Polisi dan TPF itu sulit mengungkap kasus, karena data-data yang mereka miliki kurang lengkap. Novel adalah penyidik top KPK dan ia adalah mantan Kasat Reskrim top juga ketika bertugas di kepolisian. KPK juga adalah lembaga penyidik top terbaik setanah air (baru sekali mereka ini kalah di pengadilan) yang bisa mengungkap kasus-kasus korupsi tersembunyi yang tidak bisa dijangkau oleh kepolisian.
Saya pribadi (seharusnya polisi juga) tidak percaya kalau selama ini Novel (sebagai pribadi) maupun KPK tidak melakukan investigasi terhadap kasus ini. Sebagai "orang dalam" seharusnya mereka sudah tahu "duduk persoalannya." Kalau mereka tidak bercerita kepada polisi, maka wajar saja untuk meragukan kapasitas mereka sebagai penyidik top, ataupun jangan-jangan mereka terlibat didalamnya. Begitulah seharusnya kerangka berpikir polisi, tentu saja dalam konsep azas praduga tak bersalah terhadap segala kemungkinan penyebab kasus ini....
Salam waras
Reinhard Hutabarat