Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Hukum

KPK dan Novel Baswedan di Pusaran Politik

2 Agustus 2019   18:08 Diperbarui: 2 Agustus 2019   18:24 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Baswedan, sumber : The Jakarta Post

Satgas TPF (Tim Pencari Fakta) kasus Novel Baswedan yang dibentuk Kapolri pada 8 Januari 2019 lalu, resmi mengakhiri masa tugasnya dengan memberikan laporan dan rekomendasi kepada Kapolri pada Juli 2019 kemarin.

Satgas ini pun kemudian menuai kritik dan cemohan karena tidak berhasil mengungkap "dalang sekaligus wayang" pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

Saya pribadi merasa sedih karena pengungkapan kasus ini seperti berjalan di tempat, sekalipun saya tetap memuji kinerja TPF yang seharusnya tidak perlu diragukan lagi integritasnya itu. Pengalaman para personil TPF ini cukup Panjang, mulai dari kasus penculikan aktivis 1997, Kerusuhan Mei 1998 hingga Kasus Munir dan Freddy Budiman.

Dua tahun lalu saya menulis empat artikel di kompasiana terkait kasus Novel Baswedan. Tiga artikel pertama terkait kasus penyiraman, motif dan latar belakang dalang yang lebih fokus ke faktor eksternal. Ternyata Hasil laporan Satgas TPF Novel ini pun sebelas dua belas dengan isi dari ketiga artikel tersebut. Buset!!!! Kasus ini pun tak ubahnya seperti mencari ayah-ibu dari pasangan Upin dan Ipin!

Baca : 

Misteri Kasus Penyerangan Novel Baswedan

Polemik Kasus Novel Baswedan

Nilai Politis Seorang Novel Baswedan

Membaca laporan TPF yang tanpa kemajuan ini, saya merasa terkecoh karena selama ini berpikir standar saja. Padahal bisa saja kasus ini bermuara di faktor internal yang tidak pernah kita bayangkan sejak semula. Artikel keempat saya di kompasiana terkait kasus Novel Baswedan dua tahun lalu itu pun, membuat saya tergerak untuk membacanya kembali.

Baca :

Prahara di Tubuh KPK

***

Tadinya saya ingin melihat kasus ini murni hanya dari perspektif masalah kriminal semata.  Aparat negara mengalami ancaman, perlakuan kurang menyenangkan bahkan hingga kekerasan bukanlah hal baru sebagai bagian dari konsekwensi pekerjaan dan resiko jabatan.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan empati kepada Novel, bukan hanya Novel seorang saja yang mengalaminya. Beberapa mantan rekan Novel sesama anggota korps Kepolisian RI bahkan gugur ketika menjalankan tugas tanpa secuil motif pun untuk bisa dijadikan alasan. Berdiri pada tempat dan saat yang tidak tepat (apes) tidak bisa dijadikan alasan.

Beberapa polisi ditusuk dan kemudian meledak bersama bom paralon pengantin bom justru di pos penjagaan polisi. Pos jaga polisi justru menjadi tempat yang paling rawan dengan kejahatan kemanusiaan. Sebagian lagi anggota kepolisian bahkan harus meregang nyawa dengan cara bunuh diri karena beban pekerjaan. Tapi tidak ada yang perduli karena beberapa dari "oknum polisi" itu memang rampok, maling dan suka pungli di jalanan.

Kita juga kurang tahu dengan nasib aparat negara lain yang menerima perlakuan buruk sebagai bagian dari konsekwensi pekerjaan mereka itu. Beberapa jaksa dan hakim pernah ditimpuk pesakitan yang divonis bersalah. Pesakitan itu mengamuk karena merasa sudah membayar "uang pembebasan," tapi toh tetap masuk bui juga. Mungkin uangnya kurang cocok atau bagaimana kita juga tidak tahu.

Tetapi, dari begitu banyak kasus yang menimpa aparat negara, kasus Novel Baswedan ini sangat menarik perhatian karena mengandung muatan politis yang sangat tinggi.

Jujur saja, dua tahun lebih mengikuti kasus ini membuat saya "nek," bukan karena tidak mendapatkan jawaban dari kasus ini, tetapi justru karena ada "orang-orang tertentu" yang menikmati dan mengeksploitir kasus ini demi kepuasan syahwat mereka.

Tak kurang dari harian sekaliber Kompas pada kolom Tajuk Rencana Jumat 19 Juli 2019 lalu, dengan tajuk Menunggu Sikap Presiden, menyebut bahwa penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan adalah serangan terhadap pemberantasan korupsi. What??

Bukan kah ini sebuah pernyataan yang terlalu prematur? Apakah Kompas punya bukti kalau motif penyiraman air keras terhadap Novel itu karena pemberantasan korupsi?

Kalau iya, kasihan dong TPF dan polisi yang telah bekerja keras selama ini, dan sampai sekarang pun mereka belum bisa mengungkap motif sebenarnya dari penyerangan ini.

Tak kurang dari Ketua DPR Setya Novanto, menteri, gubernur, pejabat tinggi hingga pejabat rendah sekelas Kades yang menilep Bangdes berhasil diciduk KPK. KPK berani karena presiden memang mendukung  KPK! Kalau begitu, kenapa kita harus mempertanyakan sikap presiden terhadap kasus ini? Penyidik KPK itu banyak bro, tetapi Ketua DPR RI itu cuma satu, dan presiden pun membiarkan saja KPK menciduknya!

Lagi pula kenapa harus Novel saja yang diistimewakan? Bagaimana dengan kasus polisi tewas oleh teroris di pos jaga yang bahkan tanpa motif sama sekali? Bagaimana nasib istri dan anak-anak mereka itu?  Please jangan lebay menyeret-nyeret presiden untuk kasus individual warga. Kita seharusnya mendukung Polri untuk menyelesaikan kasus Novel sebagaimana juga kasus-kasus lainnya.

Apakah semua pertanyaan punya jawaban? Yakin menjawab Ya atau Tidak atau Belum tahu karena belum terungkap?

Motif menjadi salah satu kunci untuk pengungkapan kasus. Dalam tulisan sebelumnya itu saya mengatakan bahwa ada banyak motif untuk kasus Novel ini, karena ada banyak orang yang tidak menyukainya. Kalau sampai hanya sepuluh orang saja yang membencinya, maka Novel jelas gagal dalam menjalankan tugasnya. Sebab tugas Novel di KPK itu adalah untuk "memenjarakan orang." Semakin banyak orang yang membencinya, berarti semakin bagus lah pekerjaan Novel.

Problemnya adalah selama ini kita terlalu fokus untuk mencari jawaban di Senayan, kantor polisi, kejaksaan, kehakiman, ataupun di sarang-sarang koruptor. Sepertinya tidak ada yang pernah mencari jawabannya di Kuningan (kantor KPK) atau tempat-tempat lain yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, termasuk di tempat yang bersifat pribadi.

Kadung kasus ini sudah membesar dan dipolitisir, polisi harus serius dan tidak perlu ragu untuk mengungkapnya, termasuk juga menyambangi kantor KPK dan meminta keterangan dari Novel sendiri. Tentunya polisi bekerja dalam sikap profesionalisme untuk pengungkapan kasus kriminal saja tanpa perlu mengkait-kaitkannya dengan politik.

Sebagai catatan, BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Novel ini pun berlarut-larut. Tidak jelas juga apakah BAP-nya sudah selesai apa belum. Tapi yang jelas polisi telah melakukan diskriminasi, dan Novel sebagai aparat hukum justru telah melecehkan hukum itu sendiri!

Coba anda bayangkan BAP Novel sampai dua tahun pun belum selesai-selesai karena Novel tidak mau memberikan keterangan dengan lengkap karena merasa polisi yang memeriksanya tidak kompeten. Buset!

Hal seperti ini tidak akan mungkin terjadi pada khalayak ramai. Dua kali dipanggil polisi untuk pemeriksaan, dan tidak hadir, maka panggilan ketiga adalah panggilan paksa. Tidak hadir juga, maka langsung dicekal dan menjadi DPO! Jadi kasus Novel ini memang tidak akan pernah selesai karena sikorban justru tidak mau kasus ini selesai. Bijimana mana mau selesai kalau diperiksa juga ogah!

Lalu, siapa yang paling menikmati situasi ini? 

Kalau meminjam analogi penulis kolom TAJUK RENCANA harian Kompas Jumat 19 Juli 2019 lalu itu, pastilah para koruptor dan kroni-kroninya. Hahahaha... pernyataan seperti ini justru melecehkan lembaga anti rasuah itu sendiri. Dengan atau tanpa kasus Novel ini pemberantasan korupsi akan tetap terus berlangsung! Novel adalah bagian dari KPK, tapi KPK bukanlah Novel! KPK adalah sebuah lembaga negara yang jauh lebih besar dari seluruh komisioner dan penyidiknya itu.

Namun terlepas dari semuanya itu, KPK adalah pihak yang paling menikmati "tragedi Novel" ini. Kasus Novel ini menjadi semacam perisai pelindung bagi KPK apalagi dengan pernyataan seperti Tajuk Kompas itu, "penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan adalah serangan terhadap pemberantasan korupsi" akibatnya KPK jadi besar kepala!

Dua tahun lalu, saya mengabaikan saja hal ini, karena ketika itu posisi KPK persis seperti telur di ujung tanduk, nyaris tergilas Pansus hak angket KPK! Kalau Pansus ini berjalan, maka KPK akan ditelanjangi DPR, terutama terkait hal penyadapan, penjebakan dan metodologi penyidikan yang secara prosedur hukum memang debateable. Apalagi sebelumnya Novel berseteru dengan atasannya, Brigjen polisi Aris Budiman.

Novel meragukan kapasitas Brigjen polisi Aris Budiman sebagai Direktur Penyidikan KPK lewat sebuah e-mail. Karuan saja hal tersebut membuat Aris murka. Sialnya komisioner KPK membiarkan saja hal ini terjadi. Mungkin pengalaman buruk seperti kasus "cicak-buaya" di masa lalu membuat bos KPK membiarkan saja sesama polisi (di KPK) itu saling "adu jotos." Apalagi Novel ini memang termasuk tengil, dan suka mendebat atasan termasuk juga para komisioner KPK sendiri! Jadi di KPK sendiri Novel memang tidak disukai, walaupun dia termasuk penyidik top nan oke tanpa oce.

Diremehkan anak buah dan atasan tentu saja membuat Aris kecewa dan sakit hati. Aris adalah polisi aktif. Keluar dari KPK tentu ia akan balik lagi ke Polri. Kalau tidak ada aral melintang, setidaknya ia masih akan bisa menjabat sebagai Kapolda sebelum pensiun. Padahal di KPK itu duit cekak, pekerjaan berat dan tidak mendapat respek pula dari sesama korps. Ketika Aris dipanggil ke DPR, ia pun datang dengan sukacita untuk "membuka aib" di KPK.

Penyiraman air keras terhadap Novel dengan tagline "serangan terhadap pemberantasan korupsi" kemudian datang menyelamatkan KPK dari terjangan Pansus Hak Angket. DPR yang dirundung kasus E-KTP pun terpaksa harus undur diri untuk sementara waktu agar tidak disebut warga sebagai "Anak TK di sarang penyamun"

***

Berbicara tentang motif (murni kriminal please jangan dikaitkan dengan politik) tak ada salahnya kalau polisi menyambangi markas KPK untuk meminta keterangan secara terperinci, termasuk juga kepada Aris. Apalagi Novel menyebut-nyebut keterlibatan seorang jenderal. Novel juga harus mau diperiksa dan bersikap kooperatif. Kalau tidak mau ya dihukum saja seperti yang berlaku kepada setiap WNI tanpa terkecuali.

Sebagai warga negara yang baik dan menghormati hukum, setiap orang maupun lembaga harus mau memberikan keterangan yang benar dan sebenar-benarnya kepada polisi agar kasus ini bisa terungkap dengan cepat. Tidak perlu kasus ini didramatisir sebagai kasus "cicak buaya part III" dan sebagainya.

Anyway, saya jadi kepikiran. Polisi dan TPF itu sulit mengungkap kasus, karena data-data yang mereka miliki kurang lengkap. Novel adalah penyidik top KPK dan ia adalah mantan Kasat Reskrim top juga ketika bertugas di kepolisian. KPK juga adalah lembaga penyidik top terbaik setanah air (baru sekali mereka ini kalah di pengadilan) yang bisa mengungkap kasus-kasus korupsi tersembunyi yang tidak bisa dijangkau oleh kepolisian.

Saya pribadi (seharusnya polisi juga) tidak percaya kalau selama ini Novel (sebagai pribadi) maupun KPK tidak melakukan investigasi terhadap kasus ini. Sebagai "orang dalam" seharusnya mereka sudah tahu "duduk persoalannya." Kalau mereka tidak bercerita kepada polisi, maka wajar saja untuk meragukan kapasitas mereka sebagai penyidik top, ataupun jangan-jangan mereka terlibat didalamnya. Begitulah seharusnya kerangka berpikir polisi, tentu saja dalam konsep azas praduga tak bersalah terhadap segala kemungkinan penyebab kasus ini....

Salam waras

Reinhard Hutabarat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun