Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Hukum

KPK dan Novel Baswedan di Pusaran Politik

2 Agustus 2019   18:08 Diperbarui: 2 Agustus 2019   18:24 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Tadinya saya ingin melihat kasus ini murni hanya dari perspektif masalah kriminal semata.  Aparat negara mengalami ancaman, perlakuan kurang menyenangkan bahkan hingga kekerasan bukanlah hal baru sebagai bagian dari konsekwensi pekerjaan dan resiko jabatan.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan empati kepada Novel, bukan hanya Novel seorang saja yang mengalaminya. Beberapa mantan rekan Novel sesama anggota korps Kepolisian RI bahkan gugur ketika menjalankan tugas tanpa secuil motif pun untuk bisa dijadikan alasan. Berdiri pada tempat dan saat yang tidak tepat (apes) tidak bisa dijadikan alasan.

Beberapa polisi ditusuk dan kemudian meledak bersama bom paralon pengantin bom justru di pos penjagaan polisi. Pos jaga polisi justru menjadi tempat yang paling rawan dengan kejahatan kemanusiaan. Sebagian lagi anggota kepolisian bahkan harus meregang nyawa dengan cara bunuh diri karena beban pekerjaan. Tapi tidak ada yang perduli karena beberapa dari "oknum polisi" itu memang rampok, maling dan suka pungli di jalanan.

Kita juga kurang tahu dengan nasib aparat negara lain yang menerima perlakuan buruk sebagai bagian dari konsekwensi pekerjaan mereka itu. Beberapa jaksa dan hakim pernah ditimpuk pesakitan yang divonis bersalah. Pesakitan itu mengamuk karena merasa sudah membayar "uang pembebasan," tapi toh tetap masuk bui juga. Mungkin uangnya kurang cocok atau bagaimana kita juga tidak tahu.

Tetapi, dari begitu banyak kasus yang menimpa aparat negara, kasus Novel Baswedan ini sangat menarik perhatian karena mengandung muatan politis yang sangat tinggi.

Jujur saja, dua tahun lebih mengikuti kasus ini membuat saya "nek," bukan karena tidak mendapatkan jawaban dari kasus ini, tetapi justru karena ada "orang-orang tertentu" yang menikmati dan mengeksploitir kasus ini demi kepuasan syahwat mereka.

Tak kurang dari harian sekaliber Kompas pada kolom Tajuk Rencana Jumat 19 Juli 2019 lalu, dengan tajuk Menunggu Sikap Presiden, menyebut bahwa penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan adalah serangan terhadap pemberantasan korupsi. What??

Bukan kah ini sebuah pernyataan yang terlalu prematur? Apakah Kompas punya bukti kalau motif penyiraman air keras terhadap Novel itu karena pemberantasan korupsi?

Kalau iya, kasihan dong TPF dan polisi yang telah bekerja keras selama ini, dan sampai sekarang pun mereka belum bisa mengungkap motif sebenarnya dari penyerangan ini.

Tak kurang dari Ketua DPR Setya Novanto, menteri, gubernur, pejabat tinggi hingga pejabat rendah sekelas Kades yang menilep Bangdes berhasil diciduk KPK. KPK berani karena presiden memang mendukung  KPK! Kalau begitu, kenapa kita harus mempertanyakan sikap presiden terhadap kasus ini? Penyidik KPK itu banyak bro, tetapi Ketua DPR RI itu cuma satu, dan presiden pun membiarkan saja KPK menciduknya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun