Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Test The Water" ala Garuda

25 Juli 2019   12:59 Diperbarui: 25 Juli 2019   15:16 1398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi - Tampak pesawat terbaru Garuda Indonesia, Airbus A330-300 dan Boeing 777-300ER yang diresmikan di Hangar 4 GMF-Aeroasia, Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Senin (1/2/2016). (Andri Donnal Putera - kompas.com)

Kemarin ada kabar sukacita bagi kaum marjinal berkantong cekak seperti saya ini.  Maskapai penerbangan Garuda Grup (Citilink plus Sriwijaya Air) dan Lion Air akhirnya bersedia menurunkan harga tiket mereka secara terbatas.

Secara terbatas itu maksudnya adalah untuk penerbangan pada hari sepi saja yaitu, Selasa, Kamis dan Sabtu, dengan waktu penerbangan antara pukul 10.00 -- 14.000 waktu setempat, dengan kuota penumpang 30% dari total seat yang tersedia.

Misalnya, penerbangan Citlink Jakarta-Surabaya berkapasitas seat 150 orang dengan TBA (Tarif Batas Atas) sebesar Rp 1 juta. Maka tiket murah itu harganya sebesar 50% x Rp 1 juta = Rp 500 ribu untuk 45 seat (30% x 150) untuk penerbangan pukul 10.00 -- 14.000 waktu setempat pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Di luar kondisi tersebut di atas, maka harga tiket sesuai dengan ketentuan harga normal.

Gonjang-ganjing kenaikan harga tiket yang mencekik leher ini memang sudah dimulai sejak akhir tahun lalu, yakni menjelang libur Panjang Natal dan Tahun Baru. Sebelumnya ongkos kargo udara juga sudah naik, membuat para pengusaha jasa kurir gregetan. Awalnya masyarakat menyikapinya dengan biasa saja. maklum menjelang akhir tahun, semuanya pasti akan naik. Mulai dari harga telur, cabai dan kebutuhan pokok lainnya hingga alat transportasi.

Pada awal tahun ketika semuanya kembali berjalan normal, ongkos pesawat terbang justru semakin merangkak naik. Bukan itu saja, kini bagasi juga harus berbayar! Ketika masyarakat resah dan tanya sana-sini di sosmed, jawaban yang didapat justru membuat mereka harus mengurut dada. Beberapa pakar "perpesawatan" mengatakan, "kalau mau murah ya jalan kaki saja, selama ini maskapai penerbangan itu merugi karena ongkos pesawat terlalu murah!"

"Yang tidak kuat jalan kaki" hanya bisa pasrah saja. Untuk masyarakat yang tujuannya masih di sekitar pulau Jawa atau Sumatera Selatan nasibnya terbilang lumayan karena masih punya transportasi alternatif seperti bis, travel dan kereta. Rampungnya trans tol Jawa dan Sumatera Selatan juga membuat waktu tempuh Jakarta-Surabaya maupun Jakarta-Palembang terpangkas sampai setengah!

Lalu bagaimana nasib warga Papua atau Maluku nun jauh disana? "Berjalan kaki atau berenang pasti mereka tidak akan kuat" Waktu tempuh kapal laut pun setidaknya butuh satu minggu dari Jakarta. Bagaimana kalau beta pung papa di kampung sakit atau meninggal?

"Hei papa, Ale jangan maninggal dulu ya, katong seng pung duit, beta naik kapal laut sa, saminggu baru sampai..."

***

Pertanyaan pentingnya adalah, mengapa dulu maskapai penerbangan mau merugi sedangkan sekarang memaksakan untung banyak dari konsumen? Slogan Lion Air, "We Make People Fly" rupanya telah berubah menjadi, "We Make Poor People Cry!"

Jargon "konsumen adalah raja" rupanya tidak berlaku lagi dalam bisnis penerbangan kekinian. Kini berlaku jargon, "maskapai adalah raja sedangkan konsumen hanyalah hamba sahaya yang tidak lagi punya posisi tawar!"

Ya, Posisi tawar adalah koentji oetama dalam berbisnis yang selalunya terikat dengan mazhab supply and demand, hukum permintaan dan penawaran. Itu lah yang akan kita bahas sekarang ini.

Garuda babak belur bukan lah cerita baru. Baik di "lapangan hijau" maupun di udara, ceritanya setali tiga uang, ngenes! Di dalam negeri Garuda memang Berjaya. Namun di luar negeri Garuda porak poranda dan selalu merugi! Lahirnya Citilink yang bermain di LCC (Low Cost Carrier) jelas sangat membantu pendapatan Garuda yang ketika itu bermain sendirian di kelas full service.

Masalah Garuda ini memang klasik sekali, khas penyakit BUMN. Utang bejibun (warisan masa lalu), jumlah staf terlalu "gemuk" dan berbagai konflik kepentingan internal dan eksternal yang selama ini turut menikmati manisnya madu Garuda. Para "parasit" ini lah yang membuat beban Garuda semakin berat. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin Garuda bisa bersaing dengan maskapai asing?

Di luar negeri Garuda memang merugi. Oleh karena itu Garuda berupaya menggenjot pasar domestik yang gemuk itu. Tahun 2018 kemarin saja jumlah penumpang domestik sebanyak 101,13 juta penumpang. 33,86 juta penumpang (sekitar 34%) diantaranya diangkut oleh Garuda Grup (Garuda dan Citilink)

Di kelas full service Garuda memang tidak punya saingan, apalagi Garuda sudah punya segmen pasar tersendiri. Horang kaya dan sosialita sudah tentu akan naik Garuda. Pegawai negeri dan BUMN juga adalah pelanggan Garuda. Harga memang tidak bisa bohong. Naik Garuda (apalagi perjalann dinas) jelas lebih enak dan bergengsi bila dibandingkan dengan naik Lion Air...

Pesawat Garuda, sumber: mackair.lk
Pesawat Garuda, sumber: mackair.lk
Pasar LCC ini memang gemuk. Tetapi selama ini kendalanya cuma satu, harga tiketnya berdarah-darah juga. Ini karena sejak dulu pemainnya terlalu banyak, dimana strategi pemasarannya juga lewat perang tarif. Harga tiket murah ini pun akhirnya memakan korban.

Terakhir Sriwijaya Air dan anaknya, Nam Air sempoyongan. Sebelum keburu ambruk, mereka pun dipeluk Citilink yang mengendus bau sedapnya harga tiket pesawat domestik.

Sebelumnya nama Merpati, Batavia Air, Adam Air, Mandala, Jatayu, Bouraq, Indonesia Airlines almarhum dari udara Indonesia karena tak kuat bersaing dalam perang harga. Teori Evolusi Chales Darwin itu memang kejam tapi nyata. "Yang tersisa (bertahan) adalah yang kuat. Kuat bukan karena hebat, tetapi karena yang kuat bisa memangsa yang lemah (pesaing)"

Teori Ekonomi modern (baca : teori konspirasi kartel) mengajarkan petuah yang tak kalah bijak pula, "Jika sulit menaklukkan lawanmu, maka jadikan dia kawanmu!"

Dengan bergabungnya Sriwijaya Grup (Sriwijaya Air dan Nam Air) di ketek Garuda, maka Garuda kini sudah siap menjajah udara Nusantara baik di segmen full service maupun LCC! Kompetitor (baca, sekondan) mereka pun adalah maskapai yang akrab dengan masalah juga. Jadi kini tinggal dua pemain besar saja yang menguasai udara Indonesia, Garuda grup dan Lion grup. Lion grup adalah pemilik Wings Air, Malindo Air, Batik Air, Thai Lion Air dan Lion Air.

Lion Air ini ibarat buah simalakama. "Tak dimakan mati emak, dimakan mati bapak" Dengan jumlah rute penerbangan terbanyak dan harga termurah, Lion Air menjadi dambaan para penumpang kelas sandal jepit seperti penulis. 

Namun terkadang maskapai ini terkendala "masalah teknis" yang membuat jadwal penerbangannya menjadi molor. Penumpang menggebrak-gebrak meja customer service Lion Air akhirnya menjadi pemandangan biasa.

"Gajah berselingkuh dengan gajah, pelanduk (konsumen) mati di tengah-tengah" Sinergi Garuda Grup dengan Lion Grup ini akhirnya membuat konsumen modar, tidak punya pilihan. Take it or leave it! "Merdeka atau mati, naik pesawat atau jalan kaki!"

Konsumen menjerit tak berdaya menghadapi arogansi gajah yang berselingkuh ini. Tak kurang dari presiden Jokowi sendiri gemes dengan kondisi ini. Media menyebut naiknya kurs dollar, harga avtur dan handling cost di bandara menjadi penyebab naiknya harga tiket pesawat. Pertamina lalu menurunkan harga Avtur. Namun harga tiket pesawat tidak turun juga! Tak kurang dari Menhub dan Menko Perekonomian pun turun tangan, tapi hasilnya nihil! Karena gemes, Jokowi sendiri berencana mengundang maskapai asing masuk ke domestik.

Konsumen yang tertindas oleh kartel harga tiket mahal ini berupaya mencari solusi. Sebagian beralih ke moda kapal laut dan bis. Sebagian penumpang dari Sumatera Utara dan Aceh, mengakalinya dengan naik maskapai MAS, Malaysia. MAS adalah maskapai full service dengan free bagasi 20 kg pula. Selain itu harga tiketnya sekitar 40% lebih murah dari LCC domestik termurah! MAS kemudian berhasil mengisi rute domestik Jakarta-Medan lewat jalur internasional Jakarta-Kuala Lumpur-Medan dan sebaliknya.

Pertanyaannya, mengapa MAS yang full service bisa menjual tiket lebih murah daripada LCC domestik? Sebentar lagi maskapai-maskapai asing lain akan meniru cara MAS untuk mengisi jalur domestik Indonesia. Misalnya nanti KLM rute Amsterdam-Denpasar mengubah rutenya menjadi Amsterdam-Denpasar-Medan, untuk menjaring penumpang dari Denpasar ke Medan dan sebaliknya. 

Lalu SQ akan menjajal rute Surabaya-Singapore-Medan untuk merebut penumpang dari Surabaya ke Medan dan sebaliknya. Thai Airways nantinya akan membuka rute Manado-Bangkok-Jakarta...

Masuknya maskapai asing ke pasar domestik kelak akan mengkoreksi harga tiket. Ketika pemain sudah terlalu banyak, maka perang tarif pun akan terulang lagi seperti dulu. Kalau sudah begini, maka Teori Evolusi Chales Darwin menjadi rujukan. 

"Menang jadi arang, kalah jadi abu" Tidak akan ada yang diuntungkan dari kondisi ini. Konsumen ingin kondisi yang rasional bagi semua pihak. Untuk apa juga harga tiket murah, tetapi penumpang terlantar dan jantungan! Apakah Garuda dan Lion tidak menyadari hal ini?

***

Saat ini kondisi Garuda (dan juga Lion) sangat berat. Garuda (dan juga Lion) adalah penyintas yang (untuk sementara ini) lolos dari sergapan grounded. Catat, mereka selamat bukan karena kuat, tetapi karena mereka tidak lagi punya pesaing! 

Aksi menaikkan harga tiket ini pun membuat pendapatan Garuda melonjak tajam. Apalagi utang Garuda sangat banyak. Per Desember 2018, utang ke Pertamina saja sudah lebih dari Rp 2 triliun. Belum lagi cicilan utang pokok plus bunga kepada pabrikan pesawat.

Walau bagaimanapun, aksi menaikkan harga ini telah membuat pemerintah memberikan perhatian sepenuhnya kepada Garuda. Jokowi kemudian memaksa Pertamina menurunkan harga Avtur. 

Hal mana membuat bos Pertamina mengurut dada, sebaliknya membuat bos Garuda tersipu malu. "wong utange dua triliun lebih koq maksa minta harga Avtur turun, kenapa gak  minta gratis saja? Lagian kenapa Pertamina yang disalahkan? Kalau merasa mahal, kenapa Garuda gak beli Avtur ke BP, Petronas atau Singapore saja?

Tak lama kemudian LBP (Menko Maritim) turun tangan untuk menegosiasikan penjadwalan utang Garuda kepada ICBC (industrial and Commercial Bank of China) terkait pembelian 5 pesawat Boeing 777-300 ER dan 6 pesawat Airbus A320 yang dibeli pada zaman Dirut Emir Satar pada 2013 lalu.

Garuda ini adalah bom waktu dari masa lalu. Ini bukan lah masalah kecil soal harga tiket semata, karena konflik Garuda ini melibatkan kepentingan beberapa Menteri di dalamnya. Menteri Keuangan dan Menteri BUMN mungkin pura-pura tutup mata saja. Bagi mereka yang penting rapor Garuda bisa bagus, sehingga mereka tidak perlu harus menyuntikkan dana besar untuk menyelamatkan Garuda.

Presiden Jokowi dan Menteri Pariwisata sewot. Kunjungan wisata kemudian anjlok! Padahal mereka sudah berdarah-darah untuk menjual wisata Nusantara keseluruh dunia! Bandara juga kini sepi, padahal butuh ratusan milyar untuk membenahi seluruh bandara di Indonesia.

Tapi yang paling lucu itu adalah Menteri Perhubungan. Awalnya beliau selaku regulator berusaha untuk menangani persoalan ini secepatnya.

Tapi beliau kemudian terkedjoet karena persoalan Garuda ini setidaknya akan melibatkan kepentingan dari seperempat penghuni kabinet. Beliau pun menyerahkan persoalan ini kepada Menko Perekonomian yang juga hanya bisa tergagu, hahahahaha....

Di Indonesia memang paling asoy itu menjadi Dirut Garuda, karena KPK juga cuma bisa menangkap Dirutnya tanpa bisa mencari solusi untuk membenahinya...

Test the water ala Garuda ini memang menarik hati. Mungkin ada baiknya para Dirut BUMN lainnya mencoba cara Garuda ini agar bisa lolos dari sergapan ke-bangkroetan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun