Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Evaluasi Tiga Tahun Rezim Jokowi

4 November 2017   12:53 Diperbarui: 4 November 2017   13:13 1989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : detikNews

Oktober kemarin persis tiga tahun Jokowi resmi menjadi penguasa nomer satu di Indonesia. Langkah sang presiden untuk menuju tahta RI-1 itu kemudian penuh dengan "darah dan air mata," baik di alam nyata, maupun di alam maya...

Pertempuran di alam maya jauh lebih mengerikan daripada di alam nyata. Musuh di alam nyata seringkali masih mau menebarkan senyum manisnya dibalik kritikan tajam yang dilontarkan. Namun musuh di alam maya itu laksana iblis keji penebar hoaks yang tak berperi kemanusiaan...

Tentu saja sudah sangat banyak artikel yang membahas tiga tahun kepemimpinan Jokowi dengan jargon, "kerja, kerja dan kerja" itu. Topik yang paling sering dibahas adalah isu Infrastruktur, Pembangunan di daerah-daerah tertinggal dan tentu saja Perppu Ormas yang kemudian berhasil digolkan menjadi Undang-Undang Ormas.

Akan tetapi artikel ini bukan untuk membahas Jokowi yang hendak mantu itu, ataupun prestasi Jokowi selama tiga tahun menjadi presiden RI. Artikel ini justru hendak membahas "Perilaku Masyarakat Selama 3 Tahun Jokowi berkuasa" Jadi kita bukan berbicara perihal presidennya, melainkan perilaku penduduk negaranya. Mari kita cermati pengaruh Jokowi terhadap unsur-unsur masyarakat itu.

***

Pertama, Kelompok masyarakat

Saat ini hanya ada dua kelompok masyarakat yang menonjol, "Projo atau Konjo!" Projo (Pro Jokowi) adalah sebutan untuk kelompok-kelompok pendukung Jokowi. Mulai dari kadar yang paling ringan (suka memberi "Like" untuk semua hal berbau Jokowi di sosmed) sampai dengan kadar berat yang suka menyebut, "Situ waras?" bagi setiap orang yang meragukan Jokowi.

Kelompok kedua adalah Konjo (Kontra Jokowi) sebutan untuk kelompok-kelompok pembenci Jokowi. Konjo kelas ringan biasanya bertingkah seperti "kecebong yang suka mengotori" lapak orang lain di sosmed dengan memposting meme-meme bergaya lebay. Konjo kelas berat biasanya suka berdebat kusir bahkan hingga dini hari untuk hal yang remeh-temeh. Sebagian lainnya lebih suka untuk "mengkafirkan" orang-orang yang tidak sependapat dengannya...

Kelompok ketiga, diluar kedua kelompok diatas adalah kelompok masyarakat yang bukan Projo maupun Konjo. Yaitu masyarakat waras yang masih mau memakai nalar. Berkata benar untuk hal yang benar dan berkata salah untuk hal yang salah! Di dunia ini tidak ada kebenaran absolut, termasuk juga bagi Jokowi! Namun sejak Jokowi berkuasa, dua kelompok diatas (Projo dan Konjo) kemudian mendominasi media komunikasi. Kelompok Projo dan Konjo ini, selalu berusaha menggiring warga untuk menentukan pilihan, menjadi Projo atau Konjo!

Akibatnya ruang ekspresi warga menjadi sempit. Misalnya ada seorang warga mengkritisi kebijakan pemerintah untuk satu isu tertentu di sosmed. Lalu di lapak warga tersebut akan ramai dengan debat kusir diantara kelompok Projo dan Konjo, yang justru terkadang tidak nyambung dengan topik yang sedang diulas. Lain waktu, ketika warga tadi memuji pemerintah untuk isu yang lain, maka warga tadi akan dibully sebagai warga yang tidak mempunyai prinsip!

Jadi peran Jokowi sangat besar dalam membentuk perilaku kedua kelompok masyarakat ini...

Kedua, DPR/Parlemen

Mungkin sudah banyak yang lupa atau tidak menyadari bahwa ada perubahan besar yang terjadi di DPR dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi ini. Diawal roda pemerintahannya, nasib "petugas partai" itu memang sangat memprihatinkan. Untunglah dia tidak pandai bernyanyi dan memetik gitar. Kalau tidak, mungkin sudah lima album tembang prihatin yang diluncurkannya... Jangankan parpol saingan, parpol pendukung sendiripun suka membully dan "memeras petugas partai itu..."

Waktu berlalu dan musim pun berganti. Bak kecebong got yang kemudian bermetamorfosa menjadi kodok gagah yang bisa melompat jauh, demikian juga halnya dengan petugas partai tadi. Bermodalkan Sin-kang (tenaga sakti) dan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) plus kombinasi ilmu silat Sin-coa-kun (silat ular sakti) dan ilmu kipas Lo-hain San-hoat (ilmu kipas pengacau lautan) Jo Koh Oei mengobrak-abrik dunia kang-ouw Senayan. KMP Pat Bouw Oh yang tadinya menguasai dunia persilatan secara perlahan ambruk tercerai berai tak tahan menghadapi serangan Jo Koh Oei tersebut.

Lewat setahun mengadu ilmu, Pat Bouw Oh akhirnya menyerah dan terpaksa melarikan diri dengan kudanya bersembunyi di bukit Ham bah lang, tak jauh dari kediaman Shu Shi Lou ketua dari Sam-kwa-pai (perguruan bintang tiga) Tinggallah duet kembar Fat Lie, yaitu Fat Lie Han Zhia dan Fat Lie Zhong yang menjaga Senayan untuk menjaga marwah suhu mereka itu...

Kini Jo Koh Oei lah penguasa dunia kang-ouw Senayan dan Istana Kutaraja...

Ketiga, TNI/Polri

Pada era reformasi peran TNI terlihat memudar, sebaliknya peran Polri justru meningkat. Hal ini memang wajar mengingat peran besar militer yang menopang rezim diktator Soeharto untuk berkuasa selama puluhan tahun itu. Di zaman pak Beye peran TNI juga belum menonjol. Pada zaman Jokowi, peran TNI mulai meningkat. Bisnis ilegal pembekingan memang semakin susah. Akan tetapi Jokowi selalu memaksimalkan "peran" TNI dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia Timur dan Daerah-daerah terluar.

Hal ini memang sangat tepat. TNI memiliki Satuan Zeni (CZI) Konstruksi dan Zeni Bangunan yang terbiasa bekerja di medan sulit. Gangguan keamanan dari "pemuda setempat" tentulah akan mereka abaikan. Perpaduan Zeni TNI dengan Kontraktor Nasional tentu akan mempercepat progres pekerjaan di lapangan, dan sesuai dengan jargon, "kerja, kerja dan kerja." Hal ini dapat kita lihat pada proyek Trans Papua misalnya.

Lalu bagaimana dengan Polri? Sejak zaman Jokowi-Ahok menjadi "penguase Jakarte," ya ampun, Polri selalu ketiban rezeki! Demo anti Jokowi-Ahok hampir "saban hari," berjilid-jilid persis seperti sinetron TBNH (Tukang Bubur Naik Haji) Pengamanan demo ini tentulah membutuhkan biaya yang tak sedikit, yang sangat menggembirakan hati bos. Bagi para anak buah di lapangan yang langsung berhadapan dengan para perusuh, memang cukup beresiko. Akan tetapi, kalau sekiranya berhasil lolos dari timpukan atau tonjokan pendemo, maka "uang jajan" yang didapat bolehlah dipakai untuk bersenang-senang bareng gebetan...

Jika tiga tahun pertama hubungan Istana-TNI/Polri berjalan mulus, maka akhir-akhir ini hubungan itu sedikit ternoda. Bos militer itu "sedikit belagu dan berhalusinasi." Dia lalu  melakukan kegaduhan dengan "menyingkapkan paha kepada tamu," sesuatu yang tabu untuk diperlihatkan kepada orang lain. Bos ini memang terlihat "baper" mencari perhatian dunia kang-ouw dan para datuk persilatan dari empat penjuru angin...

Setelah sukses menangguk di air keruh dan mendapat respek dari warga selama ini, bos polisi itu lalu mengeluarkan "jurus baru," Densus Tipikor berbiaya Rp 2,6 triliun! Padahal di saat yang bersamaan, KPK mendapat serangan hebat dari para datuk kang-ouw Senayan yang memainkan ilmu pedang Pat-mo-kiam (pedang delapan iblis) berupa Hak angket KPK! Hare gene pas kantong negara lagi cekak, dan KPK sebagai pemilik ilmu tipikor sejati, terdesak hebat, bos itu hendak "menangguk di air tajin!" Syukurlah "ide bahenol" itu ditolak oleh Penguasa sejati!

Dari kedua kasus tersebut, kita dapat menarik benang merah bahwa reformasi yang hampir dua dekade ini belumlah mampu membawa perubahan mental bagi para aparat ke arah yang lebih baik! Revolusi mental Jokowi selama tiga tahun ini, yang berupaya menaikkan harkat TNI/Polri tidak berbalas dengan attitude dan mindset yang profesional pula dari para petingginya. Mungkin masih perlu waktu lagi agar semuanya menjadi lebih baik...

Hal ini perlu menjadi perhatian bagi seluruh masyarakat agar tetap bersikap bijaksana dalam menyikapi perilaku TNI dan Polri. Tidak usah bersikap baper, apalagi menariknya ke arah politik. Mereka itu bukan politisi. Mereka itu Alat Negara! Sikap kritis dan dukungan moral tetap diperlukan agar Alat Negara ini berjalan pada jalurnya, tidak terseret ke dunia politik praktis atau turut pula berbisnis dengan menangguk di air keruh...

Demikianlah laporan "pandangan mata" dari luar halaman istana Kutaraja. Bukan dari "mata rakyatnya" ke Presiden, tetapi dari "mata Presiden" ke arah rakyatnya....

Salam hangat

Reinhard Freddy Hutabarat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun