Kedua, DPR/Parlemen
Mungkin sudah banyak yang lupa atau tidak menyadari bahwa ada perubahan besar yang terjadi di DPR dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi ini. Diawal roda pemerintahannya, nasib "petugas partai" itu memang sangat memprihatinkan. Untunglah dia tidak pandai bernyanyi dan memetik gitar. Kalau tidak, mungkin sudah lima album tembang prihatin yang diluncurkannya... Jangankan parpol saingan, parpol pendukung sendiripun suka membully dan "memeras petugas partai itu..."
Waktu berlalu dan musim pun berganti. Bak kecebong got yang kemudian bermetamorfosa menjadi kodok gagah yang bisa melompat jauh, demikian juga halnya dengan petugas partai tadi. Bermodalkan Sin-kang (tenaga sakti) dan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) plus kombinasi ilmu silat Sin-coa-kun (silat ular sakti) dan ilmu kipas Lo-hain San-hoat (ilmu kipas pengacau lautan) Jo Koh Oei mengobrak-abrik dunia kang-ouw Senayan. KMP Pat Bouw Oh yang tadinya menguasai dunia persilatan secara perlahan ambruk tercerai berai tak tahan menghadapi serangan Jo Koh Oei tersebut.
Lewat setahun mengadu ilmu, Pat Bouw Oh akhirnya menyerah dan terpaksa melarikan diri dengan kudanya bersembunyi di bukit Ham bah lang, tak jauh dari kediaman Shu Shi Lou ketua dari Sam-kwa-pai (perguruan bintang tiga) Tinggallah duet kembar Fat Lie, yaitu Fat Lie Han Zhia dan Fat Lie Zhong yang menjaga Senayan untuk menjaga marwah suhu mereka itu...
Kini Jo Koh Oei lah penguasa dunia kang-ouw Senayan dan Istana Kutaraja...
Pada era reformasi peran TNI terlihat memudar, sebaliknya peran Polri justru meningkat. Hal ini memang wajar mengingat peran besar militer yang menopang rezim diktator Soeharto untuk berkuasa selama puluhan tahun itu. Di zaman pak Beye peran TNI juga belum menonjol. Pada zaman Jokowi, peran TNI mulai meningkat. Bisnis ilegal pembekingan memang semakin susah. Akan tetapi Jokowi selalu memaksimalkan "peran" TNI dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia Timur dan Daerah-daerah terluar.
Hal ini memang sangat tepat. TNI memiliki Satuan Zeni (CZI) Konstruksi dan Zeni Bangunan yang terbiasa bekerja di medan sulit. Gangguan keamanan dari "pemuda setempat" tentulah akan mereka abaikan. Perpaduan Zeni TNI dengan Kontraktor Nasional tentu akan mempercepat progres pekerjaan di lapangan, dan sesuai dengan jargon, "kerja, kerja dan kerja." Hal ini dapat kita lihat pada proyek Trans Papua misalnya.
Lalu bagaimana dengan Polri? Sejak zaman Jokowi-Ahok menjadi "penguase Jakarte," ya ampun, Polri selalu ketiban rezeki! Demo anti Jokowi-Ahok hampir "saban hari," berjilid-jilid persis seperti sinetron TBNH (Tukang Bubur Naik Haji) Pengamanan demo ini tentulah membutuhkan biaya yang tak sedikit, yang sangat menggembirakan hati bos. Bagi para anak buah di lapangan yang langsung berhadapan dengan para perusuh, memang cukup beresiko. Akan tetapi, kalau sekiranya berhasil lolos dari timpukan atau tonjokan pendemo, maka "uang jajan" yang didapat bolehlah dipakai untuk bersenang-senang bareng gebetan...
Jika tiga tahun pertama hubungan Istana-TNI/Polri berjalan mulus, maka akhir-akhir ini hubungan itu sedikit ternoda. Bos militer itu "sedikit belagu dan berhalusinasi." Dia lalu  melakukan kegaduhan dengan "menyingkapkan paha kepada tamu," sesuatu yang tabu untuk diperlihatkan kepada orang lain. Bos ini memang terlihat "baper" mencari perhatian dunia kang-ouw dan para datuk persilatan dari empat penjuru angin...
Setelah sukses menangguk di air keruh dan mendapat respek dari warga selama ini, bos polisi itu lalu mengeluarkan "jurus baru," Densus Tipikor berbiaya Rp 2,6 triliun! Padahal di saat yang bersamaan, KPK mendapat serangan hebat dari para datuk kang-ouw Senayan yang memainkan ilmu pedang Pat-mo-kiam (pedang delapan iblis) berupa Hak angket KPK! Hare gene pas kantong negara lagi cekak, dan KPK sebagai pemilik ilmu tipikor sejati, terdesak hebat, bos itu hendak "menangguk di air tajin!" Syukurlah "ide bahenol" itu ditolak oleh Penguasa sejati!