Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Misteri di Balik Tumbangnya Seven Eleven

22 Agustus 2017   11:22 Diperbarui: 26 Agustus 2017   23:14 6358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah sebabnya dulu saya tidak tertarik mendengar ulasan banyak orang (termasuk seorang profesor ekonomi) yang "membual" mengenai penyebab tutupnya Sevel Indonesia ini. Ada yang mengatakan akibat regulasi yang tidak mendukung Sevel, ada yang mengatakan akibat pelarangan miras di outlet Sevel, dan sebagainya. Sementara disisi lain, MSI selaku operator Sevel Indonesia sangat agresif membuka outlet-outlet baru. Laporan keuangan diatas sudah menjelaskan semuanya keanehan itu!!!

Daripada membahas dari sisi manajemen yang terasa sangat tidak masuk akal (apalagi dengan melihat neraca keuangan MSI) saya lebih suka melihat kasus Sevel Indonesia ini dari sisi yang lain. Saya tidak yakin ambruknya Sevel ini karena mis manajemen atau salah perhitungan, karena berdirinya Sevel ini tentu sudah melalui kajian yang panjang dalam sebuah feasibility sudy yang layak, dimana seluruh aspek financial benefit dan social benefit sudah dianalisa secara mendalam. Kalau investasi Sevel ini tidak layak, sudah tentu bank seperti bank Mandiri, BNI, CIMB Niaga, bank Permata dan Standard Chartered tidak akan mau mendanai proyek ini!!

MSI adalah anak perusahaan PT Modern Internasional Tbk (MDRN) milik keluarga Honoris dari Modern grup. Awalnya Ho Tjek (Otje Honoris) yang dibantu oleh anak-anaknya, Luntungan Honoris, Samadikun Hartono, Sungkono Honoris dan Siwi Honoris mendirikan MPF (PT Modern Photo Film)  Pada tahun 1982 generasi pertama, Otje Honoris meninggal dunia, lalu Samadikun menjadi bos Modern grup. Pada 1989 Samadikun mendirikan PT Bank Modern. Namun pada krisis moneter 1997/1998, Samadikun kemudian "menjarah" banknya sendiri lewat bantuan BLBI, sehingga merugikan negara sebesar Rp 169 miliar. Samadikun lalu divonis 4 tahun penjara, tapi dia keburu kabur ke luar negeri.

Pada tahun 1991 Modern Internasional dengan kode emiten MDRN ini melakukan pencatatan saham perdana di Bursa Efek Indonesia. MDRN melepas 4,5 juta saham dengan harga penawaran Rp 6.800. pada Nopember 1995 saham MDRN sempat menyentuh level Rp 13.700. namun pada Agustus 2015 saham MDRN jatuh ke level Rp 100. Kini harga saham MDRN cuna berharga Rp 50 per saham, lebih murah dari harga sebutir permen!!!

Sangat menarik mengamati laporan keuangan MSI ini. Tahun 2014 (190 outlet) penjualan sebesar Rp 971,8 M dengan biaya operasional Rp 888 M. Tahun 2016 (175 outlet), penjualan sebesar Rp 675,27 M dengan biaya operasional Rp 1.371,05 M!!! Kalau kita bandingkan data dari kedua tahun tersebut, penjualan 2016 anjlok 30,5% akan tetapi biaya operasional naik 154,4% dibanding 2014! Padahal penyusutan outlet hanya 8%!!!

Dalam pandangan subjektivitas saya (karena MSI tidak mengeluarkan data akurat) Penjualan anjlok itu disebabkan oleh karena berkurangnya pasokan barang dari supplier (karena macet pembayaran dari MSI, bahkan ada yang sejak 2015!) ke outlet Sevel. Akibatnya sales gabungan Sevel menjadi anjlok! Meningkatnya beban operasional pasti diakibatkan oleh pembayaran. Tetapi pembayaran apa dan kepada siapa? Karena kewajiban MSI juga sangat besar! Dari data tersebut juga kita dapat melihat bahwa direct cost 2016 seharusnya menurun karena sales menurun. Akan tetapi fixed cost MSI ternyata sangat besar atau malah bertambah...

***

Memang di dunia ini tidak ada yang abadi, karena untuk semua hal ada masanya. Demikian juga dengan MDRN dengan Fuji Film yang kemudian ambruk diterjang era digital. Akan tetapi untuk Sevel terasa sangat mengenaskan, karena nama besar Sevel jauh lebih kuat daripada "badai perubahan ekonomi global" yang melanda dunia sekarang ini. Dan bos MSI jelas mengetahui kekuatan nama Sevel tersebut!!!

Sevel bukanlah Fuji film! Fuji film berkembang dan menjadi besar karena memang dia dibutuhkan. Ketika era digital datang, film tidak lagi dibutuhkan dan Fuji film kemudian ditinggal. Sevel ada dalam mindset penggemarnya, sama seperti Starbucks. Dimana-mana banyak kedai kopi tetapi hanya ada satu starbucks. Banyak gerai pizza tetapi hanya ada satu Pizza Hut yang ternyata juga bukan Italiano punya...

Produk seperti Sevel, Starbucks, Pizza Hut atau yang sejenis memang spesifik. Mereka bertumbuh secara perlahan "on demand" di mall, daerah urban, rest area, pemukiman warga dan sebagainya. Sevel bukanlah gerai seperti Indomaret atau Alfa midi yang bisa bertumbuh bak cendawan dimana saja, karena filosofi market mereka itu hampir sama dengan warung! Jadi ketika Sevel dipaksakan bertumbuh seperti warung (terutama untuk mengisi tempat eks Fuji Film) maka petaka pun terjadi! Beberapa outlet baru kemudian "layu sebelum berkembang"

Beban Sevel memang terlalu berat kalau dipakai untuk menopang utang MDRN (maaf kalau kenyataannya memang begitu)  Nama Sevel tetaplah punya nilai jual yang tinggi. Itulah sebabnya CPRI (PT Charoen Pokphand Restu Indonesia) sudah menyiapkan Rp 1 triliun untuk mengambil alih Sevel dari MSI. Namun perundingan kemudian menjadi batal. Entahlah apa yang terjadi disana. Seandainya CPRI mau berbagi kisah... atau MSI bisa diaudit oleh akuntan independen, maka kita akan tahu kisah sebenarnya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun