Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meluruskan yang Bengkok “Sapi Punya Susu Benggali Punya Nama”

6 Agustus 2016   22:23 Diperbarui: 7 Agustus 2016   14:20 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto :news.liputan6.com

Ahirnya kisah testimoni Freddy Budiman berlanjut bak kisah “sinetron Raam Punjabi” yang  kelihatannya akan berlangsung lama sesuai dengan keinginan pemirsa. Haris Azhar memulai kisah pembuka dengan testimoni Freddy Budiman di akun FB KontraS. BNN, Polri dan TNI kemudian melakukan serangan balik dengan mengadukan Haris Azhar. Akibatnya terjadi efek berantai pro kontra, bukan lagi mengenai nasib Freddy Budiman, akan tetapi mengenai nasib Haris Azhar.

Ahirnya publikpun terseret arus opini Haris Azhar, apalagi memang pastilah lebih banyak yang tidak suka (termasuk saya sendiri) kepada aparat kepolisian daripada yang menyukainya. Akan tetapi saya pasti akan tetap menghormati dan mencintai Polri sebagai sebuah institusi yang sangat penting di negeri ini, dan tidak terima dengan “statemen” dan “cara penyampaian” Haris Azhar dalam kapasitasnya sebagai seorang intelektual dan koordinator KontraS!

Sikap Haris Azhar dan para pendukungnya yang “meng-setup” seakan-akan Haris Azhar telah menjadi “Korban dari kejujurannya untuk mengungkapkan kebenaran” adalah sebuah perbuatan keji, nista dan pengecut dan sangat menghinakan kaum intelektual dan LSM jujur di negeri ini. Apakah KontraS bisa menerima kalau tindakan Haris Azhar dalam kapasitasnya sebagai koordinator, dianggap mewakili tujuan mulia pembentukan KontraS dulu?

Supaya fair, mari kita ikuti jalan cerita testimoni ini dengan pendekatan dari latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja Haris Azhar sendiri. (Bachelor of Laws Universitas Trisakti 1999, Master of Art University of Essex, Inggris 2010, Magister Filsafat Universitas Indonesia 2000-2003, Diploma Keadilan Transisi Pusat Internasional Keadilan Transisi Cape Town/New York)

Sejak 1999 bekerja di KontraS, sebagai anggota staf Biro Pengawasan dan penelitian,Kepala Dokumentasi Biro Riset, Kepala Riset, Investigasi dan Database Biro, Wakil Koordinator, lalu menjadi Koordinator KontraS sejak tahun 2010. 17 tahun bekerja di KontraS tentulah kemampuan investigasi Haris Azhar tidak kalah dengan kemampuan seorang Kasat Reskrim. Jadi pendidikan dan pengalaman kerjanya sudah menunjukkan kualitas seorang Haris Azhar.

Testimoni ini menceritakan banyak catatan penting,

Pertama, judul testimoni, Cerita Busuk dari seorang Bandit, dibuat pertengahan tahun 2014.

Judul testimoni ini sarat makna. Bandit memang berkelakuan busuk, makanya dia disebut bandit. Kalau bandit bercerita busuk lalu dimana anehnya? Kalau cerita ini mengandung kebenaran, seharusnya judulnya adalah “Cerita Benar dari seorang Bandit” Sekalipun seorang bandit itu berkelakuan busuk, dalam sisi humanitasnya sebagai manusia, tentulah dia mempunyai sifat yang baik juga.

Sebagai seorang “Filsuf” tentulah Haris Azhar sangat memahami konteks ini! Akan tetapi disinilah “Jebakan Betmennya” Kalau sekiranya testimoni ini “dirasa” tidak benar, Haris Azhar akan berkilah kepada judul testimoni ini... Cerita Busuk dari seorang Bandit!“Namanya juga sudah busuk...ngapain juga dipercaya..” Nah, kini kita pertanyakan motivasi Haris Azhar.

Kalau dia menceritakan cerita busuk dari “seorang busuk yang baru saja menjalani hukuman mati” kepada publik, berarti dia jauh lebih busuk daripada orang busuk yang diceritakan itu, karena orang busuk itu tidak bisa lagi berbuat kejahatan, karena dia sudah kembali kepada sang penciptanya! Karena saya percaya Haris Azhar bukan orang busuk, maka judul testimoni saya ganti dengan “Cerita Benar dari seorang Bandit”

***

Kedua, Kita akan mencoba melihat catatan penting dari testimoni kontroversial ini.

Cerita benar ini dimulai dengan keyakinan Haris Azhar, “Ditengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya meyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan”

Tentulah Haris Azhar berhak menyampaikan opininya, akan tetapi tentulah akan lebih bermanfaat kalau dia juga menyampaikan metode “pelaksanaan eksekusi yang bukan untuk ugal-ugalan popularitas” dan “mengupayakan keadilan”

Statementnya seperti “mengejek” pemerintahan Joko Widodo. Akan tetapi pada 5 Agustus 2016 dalam aksi “Lawan Gelap” di depan Istana Merdeka, dia berkata, “Kami berterimakasih kepada Pak Jokowi yang sudah beri statemen dan juga sudah bertemu Pak Budi Waseso”

Lalu cerita berlanjut ketika pak Sitinjak (Ka.Lapas) mengaku beberapa kali diminta oknumpejabat BNN agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman. Ini perkara gampang. Tentulah pak Sitinjak pasti ingat nama oknum pejabat BNN tersebut. Tentulah orang Propam Polri senang dan berharap sering-sering mendengar cerita-cerita begini!

Akan tetapi saya tetap gagal paham relevansi BNN dengan CCTV.

Aha..! sekarang saya mengerti! Cerita busuk mengarahkan saya supaya percaya, bahwa ketika BNN dan Freddy Budiman bertransaksi di LP, petugas BNN itu tidak nyaman kalau terlihat CCTV. Kalau CCTVnya masih ada, tentu saja tidak repot lagi. Tentulah rekaman dari CCTV akan menunjukkan secara jelas, siapa oknum BNN tersebut, dan apa pembicaraan mereka!

Saya jadi berandai-andai. Kalau saya jadi oknum BNN dengan uang milyaran dari Freddy Budiman, maka saya akan membawa surat resmi dari BNN untuk “meminjam” Freddy Budiman untuk pengungkapan kasus besar Narkoba. Lalu saya dan Freddy Budiman akan “transaksi dan party” di Alexis. Kalau Kalapas mau ikutan, boleh juga. Jadi saya gak bakalan pusing soal CCTV.

Dalam statemen selanjutnya ada hal yang bertentangan. Freddy Budiman berkata, “Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar” Akan tetapi dalam pernyataan berikutnya dia berkata, “Menurut pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.00 itu?” Freddy Budiman itu operator atau bandar? Yang benar Freddy Budiman itu pemakai, operator dan Bandar Besar!

Saya lebih tertarik kepada “Maksut” daripada “isi” statemen ini. Dalam “hirarki dosa narkoba”, stratanya dimulai dari, pemakai, kurir/operator, bandar pengecer lalu Bandar besar. Dalam hal ini Freddy Budiman “dimasukkan” ke strata kurir/operator agar hukumannya berkurang!

Menurut Freddy Budiman, Harga narkoba di China hanya 5.000 perak. Lalu titipan Polisi, BNN, Bea Cukai antara 10.000-30.000. Lalu keuntungan dia 200.000 /butir.

Ada yang sangat menggelikan disini. Maksut Freddy Budiman narkoba pastilah inex karena memakai satuan butir, dan relasi harga pasaran. Akan tetapi Freddy Budiman dan jutaan orang yang mengerti narkoba, tidak akan mengatakan narkoba untuk inex! Inex adalah inex. Narkoba meliputi ganja (dengan satuan linting atau kg) sabu/heroin (mg/gram) atau inex, happy five (butir) Struktur penjualan narkoba juga mengikuti hirarki dagang biasa. Tidak mungkin bandar besar mengecer inex ke konsumen, jadi tidak mungkin keuntungannya mencapai 200.000/butir! Jelas penulis naskah ini, tidak memahami betul soal narkoba!

Cerita busuk ini juga berusaha mengarahkan kita, bahwa dengan keuntungan yang begitu besar, maka terasa wajar kalau sekiranya Freddy Budiman mampu memberikan 450 Milyar ke BNN, 90 Milyar ke pejabat tertentu Mabes Polri. Mari kita hitung-hitungan. Anggap untuk setiap butir inex, Freddy memberi 30 rb ke BNN, maka inex yang dibawa Freddy adalah 450 Milyar/30 rb = 15 juta butir. Berarti penghasilan Freddy adalah 15 juta x 200.000 = 3 Triliun.

Daripada cape-cape mengurus Tax Amnesty, lebih baik Pemerintah “tukaran” kebebasan Freddy Budiman dengan 3 Triliun, lumayan buat menambal defisit APBN!

Kisah menggelikan lainnya adalah penuturan Freddy Budiman, “Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang2, dimana si jendral duduk disamping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi dibagian belakang penuh barang narkoba”     

Saya rasa ini sudah sangat kebangetan dan menghinakan TNI, melebihi uang sogokan kepada BNN maupun Polri! Tentulah ada protap kalau seorang jenderal bintang dua naik mobil dinas melakukan perjalanan darat dari Medan ke Jakarta yang menempuh ribuan kilo meter tersebut.

Tentulah “ritual perjalanan aneh itu akan terdengar juga sampai Cilangkap! Siapakah jenderal bintang dua yang aneh tersebut? Yang pasti tentu tidak ada! Kalau ada, tentu Kodim/Korem sepanjang Medan – Jakarta pasti dan pasti akan mengetahuinya, termasuk jika perjalanan dinas itu dilakukan 20 tahun yang lalu.

Cerita berlanjut ketika Freddy bersama petugas BNN pergi ke China untuk mengunjungi pabrik narkoba. Penulis testimoni ini sudah sangat amat menghinakan nalar publik! Sebagai seorang operator, bahkan bandar besarpun, tidak mungkin Freddy Budiman diperbolehkan produsen  untuk mengetahui pabrik narkobanya! Buktinya dalam “pemahaman penulis testimoni” Freddy mengajak petugas BNN mengunjungi pabrik!

Dibagian ahir, dari tahun 2014 sampai sekarang (dua tahun) orang sekaliber koordinator KontraS tak mampu mencari pledoi, dan bahkan tidak mengetahui siapa pengacara Freddy Budiman! Sungguh amat keterlaluan! Semua orang tentu tahu KontraS adalah LSM komisi untuk orang hilang! Tugasnya adalah untuk mencari orang hilang! Dan dinegara ini katanya tidak ada yang rahasia!  

Dan yang menarik, testimoni ini dibuat dua tahun lalu pada pertemuan pertama dan satu-satunya di Lapas Nusakambangan dalam perbincangan selama hampir dua jam.

Setelah kita analisa secara sederhana, kita ahirnya paham cerita ini mengandung kebusukan karena tidak logis samasekali, dan tidak dapat kita pakai sebagai alasan untuk mengungkap keterlibatan oknum aparat dalam peredaran narkoba.

Tentulah banyak cerita sumbang tentang keterlibatan aparat dan itu sangat benar adanya karena ada juga oknum aparat sebagai pemakai bahkan juga sebagai pengedar. Tapi jangan lupa, oknum jahat ada diseluruh dunia, bukan hanya di Indonesia saja! Masalah narkoba bukan hanya tanggung jawab polisi saja tapi tanggung jawab kita bersama. Jangan didramatisir seakan-akan mustahil untuk melaporkan oknum polisi yang nakal kepada kantor polisi!

Ketika polisi meminta bukti dari testimoni ini, Haris Azhar mengatakan bahwa tugas kepolisianlah untuk mengungkapkannya, dan itu bukan tugasnya.

Saya ingin membuat analogi seperti ini, saya mengatakan kepada si A bahwa isterinya berselingkuh. Ketika si A meminta sedikit bukti permulaan kepada saya, saya lalu berkata, “Lha yang punya bini kan kamu, ya kamu dong yang nyari buktinya, kan bukan kerjaan gua ngurusin bini kamu...”

Dinegeri ini tidak ada asap tanpa api. Orang duduk, berdiri atau jongkok tentu punya motivasi.

Apa motivasi Haris Azhar, hanya dia yang tahu. Tak usah juga kita tanya pada rumput yang bergoyang. Tapi ada satu yang saya kagumi dari seorang Haris Azhar, yaitu gaya “Innocent facenya!”

Reinhard Freddy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun