Kedua, Kita akan mencoba melihat catatan penting dari testimoni kontroversial ini.
Cerita benar ini dimulai dengan keyakinan Haris Azhar, “Ditengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya meyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan”
Tentulah Haris Azhar berhak menyampaikan opininya, akan tetapi tentulah akan lebih bermanfaat kalau dia juga menyampaikan metode “pelaksanaan eksekusi yang bukan untuk ugal-ugalan popularitas” dan “mengupayakan keadilan”
Statementnya seperti “mengejek” pemerintahan Joko Widodo. Akan tetapi pada 5 Agustus 2016 dalam aksi “Lawan Gelap” di depan Istana Merdeka, dia berkata, “Kami berterimakasih kepada Pak Jokowi yang sudah beri statemen dan juga sudah bertemu Pak Budi Waseso”
Lalu cerita berlanjut ketika pak Sitinjak (Ka.Lapas) mengaku beberapa kali diminta oknumpejabat BNN agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman. Ini perkara gampang. Tentulah pak Sitinjak pasti ingat nama oknum pejabat BNN tersebut. Tentulah orang Propam Polri senang dan berharap sering-sering mendengar cerita-cerita begini!
Akan tetapi saya tetap gagal paham relevansi BNN dengan CCTV.
Aha..! sekarang saya mengerti! Cerita busuk mengarahkan saya supaya percaya, bahwa ketika BNN dan Freddy Budiman bertransaksi di LP, petugas BNN itu tidak nyaman kalau terlihat CCTV. Kalau CCTVnya masih ada, tentu saja tidak repot lagi. Tentulah rekaman dari CCTV akan menunjukkan secara jelas, siapa oknum BNN tersebut, dan apa pembicaraan mereka!
Saya jadi berandai-andai. Kalau saya jadi oknum BNN dengan uang milyaran dari Freddy Budiman, maka saya akan membawa surat resmi dari BNN untuk “meminjam” Freddy Budiman untuk pengungkapan kasus besar Narkoba. Lalu saya dan Freddy Budiman akan “transaksi dan party” di Alexis. Kalau Kalapas mau ikutan, boleh juga. Jadi saya gak bakalan pusing soal CCTV.
Dalam statemen selanjutnya ada hal yang bertentangan. Freddy Budiman berkata, “Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar” Akan tetapi dalam pernyataan berikutnya dia berkata, “Menurut pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.00 itu?” Freddy Budiman itu operator atau bandar? Yang benar Freddy Budiman itu pemakai, operator dan Bandar Besar!
Saya lebih tertarik kepada “Maksut” daripada “isi” statemen ini. Dalam “hirarki dosa narkoba”, stratanya dimulai dari, pemakai, kurir/operator, bandar pengecer lalu Bandar besar. Dalam hal ini Freddy Budiman “dimasukkan” ke strata kurir/operator agar hukumannya berkurang!
Menurut Freddy Budiman, Harga narkoba di China hanya 5.000 perak. Lalu titipan Polisi, BNN, Bea Cukai antara 10.000-30.000. Lalu keuntungan dia 200.000 /butir.