Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inlander, Rakyat yang Tidak Pernah Merdeka!

27 Mei 2016   19:26 Diperbarui: 27 Mei 2016   19:36 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ada uang..ada suara!”

Pemilu dijaman ORBA seperti menonton pertunjukan sirkus, dalam arti sangat mendebarkan hati. Dimulai sejak masa kampanye, saat mendebarkan pun dimulai. Intel-intel dan ancaman terselubung datang menghampiri seperti hantu. Tak berwujud, tapi membuat bulu roma berdiri. Salah berbicara, membaca, mendengar atau berdiri, bisa berhadapan dengan Kamtib!

Seperti menonton pertunjukan sirkus, kita berharap agar semuanya berjalan lancar seperti yang telah “diatur” sejak semula. Tidak ada yang istimewa dari “pertunjukan” tersebut, dan penonton juga terpaksa datang karena takut dianggap “tidak menghargai” pertunjukan sirkus tersebut.

Ketika pertunjukan tidak berjalan lancar karena “kecerobohan kecil”, Intimidasi pun dimulai, termasuk kepada penonton, karena dianggap turut “mengganggu” sehingga terjadi kecerobohan tersebut. Itulah sebabnya semua penonton tak pernah lupa berdoa agar tidak terjadi sesuatu yang mengganggu pertunjukan tersebut.

Rezim ORBA memang membuat para inlander terkebiri dan impoten! ORBA berganti oleh  Reformasi dan pertunjukan sirkus tetap berjalan, tetapi dengan versi baru!

Kalau dulu Pemilu membuat takut para inlander, kini pertunjukan sirkus menjadi ladang rezeki, dan saat-saat yang dinantikan bagi kaum inlander melebihi hari Lebaran!

Kini kaum inlander itulah yang menjadi “Tuan” atas pertunjukan sirkus tersebut. Kalau dulu pemain sirkusnya adalah pekerja sirkus itu sendiri, kini pemain sirkusnya adalah seorang “inlander berduit” yang tidak tahu-menahu dengan dunia persirkusan. Ketika ia terjatuh dan celaka, kaum inlander itu akan mencari “inlander berduit lainnya” untuk menggantikannya!

Dimana letak benang merah penyebab perubahan ini? Agaknya kita harus melihat dari dua sisi. Eksternal dan Internal. Faktor Eksternal dipelopori oleh Amerika (USA)

Kalau dulu emporium Eropa menjajah dunia untuk memperkaya negerinya, akan tetapi akibat perang, mereka kemudian mengkonsolidasikan diri. Mereka kemudian menjajah dunia lewat produk-produk industri yang berkualitas tinggi

Produk industri Amerika tidak mampu bersaing dengan Eropa dan Jepang, sehingga mereka menjajah dengan cara lain, yaitu lewat politik, diplomasi, propaganda dan kekuatan Finansial. Melalui program Keterbukaan, Reformasi, Cyber media, Arus modal dan Bursa saham, mereka mampu memporak-porandakan negara-negara inlander diseluruh dunia!

Keterbukaan dan Reformasi disegala bidang menghasilkan “The New Post-modern People”.

FB, MTV, Twitter,TV Cable, Apple, McD, KFC, AW, Sevel, Starbuck melahirkan Young generation “Caffe-society”. Netizen kemudian mengisolasi manusia dari lingkungannya, sekalipun mereka memiliki ribuan “followers atau friends”

The New Post-modern People itu mengejar “Hedonisme” dan “Fast-cash” untuk menunjang “life-stylenya” Konon dulu sebelum Kalijodoh digusur, cewe yang pegang Iphone lebih cepet “laku” dan lebih mahal daripada cewe yang pegang Mito!

Ngopi di Starbucks lebih “manusiawi” daripada “warkop” Mengapa begitu? Reformasi membuat orang lebih tertarik kepada “kulit” daripada “Isi”

Inlander inferior itu menutupi rasa rendah dirinya dengan “kulit” American Style, agar kelihatan terhormat dan tidak kelihatan bodoh! Kini para inlander memuja-muja “kulit” dan “melacurkan diri” demi Hedonisme dan kesenangan duniawi, karena itulah defenisi kebahagiaan bagi mereka!

Dijaman kolonial, Haji Agus Salim, sarungan sambil menghisap rokok kreteknya, duduk ngopi bersama meneer-meneer Belanda dengan Havana cigarnya. Dia tidak pernah merasa rendah diri atau minder, karena dia punya visi dan pemikiran yang dianggapnya melebihi mereka. Belanda-belanda itu sangat menghormatinya, dan mengabaikan sarung itu!

Dari sisi Internal. Walaupun sudah lama merdeka, inlander inferior itu membelenggu dirinya sendiri dijaman ORBA itu. Ketika Reformasi datang, euforia kebebasan itu meluap liar tidak terkendali, merubahnya seketika menjadi “binatang liar” yang siap menggigit orang yang dianggapnya mengganggu kebebasannya. Dimana-mana terjadi kekerasan dan kekasaran!

Gelombang reformasi seperti arus air bah yang tidak terkendali, ingin mereformasi semuanya. Bila perlu mie goreng, capcai, panci dan ember direformasi. Kenapa direformasi? Karena ini jaman Reformasi bodoh!! Kata mereka. Nanti semuanya bisa dibawa ke fraksi, dipansuskan, diparipurnakan lalu diamandemen. Nanti pasti ada saja yang tidak setuju? Lha itulah gunanya lobi-lobi politik, Karena ini jaman Reformasi!

Jaman Reformasi adalah jaman uang! Semuanya punya harga, dan semuanya bisa dibeli kalau ada uang. Mau nyalon anggota DPRD, DPR, DPD, Kepala Daerah, kepala Dinas, Membuka Lapak dagangan atau Areal Street-parking ada harganya, tidak ada yang gratis. Bahkan acara hiburan di televisi pun, penontonnya harus dibeli!

Dulu Soekarno-Hatta harus diculik dan dipaksa menjadi Presiden dan Wakil Presiden. kini untuk menjadi seorang calon Kepala Desa, orang harus rela menjual kerbau dan sawahnya dan bila perlu menghutang kepada rentenir, sekalipun tanpa ada kepastian bakal terpilih.

Jaman ini memang jaman edan! Sudah berpuluh-puluh orang Kepala Daerah atau anggota dewan yang terhormat masuk bui karena korupsi, belum terhitung ratusan “Balon” Kepala Daerah, DPR/DPRD yang jalannya “miring” karena stress duitnya raib tak berbekas, tetapi tidak menyurutkan “hasrat liar” para inlander tersebut untuk mencalonkan diri!

Alasan utama inlander-inlander itu mencalonkan diri, adalah “amanah rakyat” Mengapa kalimat sakti tersebut kerap dipakai? Jawabannya, karena mereka memang tidak mempunyai visi, integritas, kejujuran, kecakapan dan kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.

Bahkan banyak kemampuan “berbicara” seorang kepala daerah sekarang, masih setingkat dibawah siswa MULO kolonial!

Kini para “penjilat” dan “pelacur” dijaman reformasi, melebihi populasi dijaman kolonial dan orde baru! Setiap hari kita melihat tampang mereka di televisi. Mereka yang mengaku kaum intelektual dan akademisi itu “menjilat dan melacurkan nilai-nilai intelektualitas dan akademisi” dengan cara murahan dan tak bermoral! Sebagian dari mereka berkata kasar dan garang merendahkan pendapat orang lain bagaikan mahluk tak berpendidikan!

Nilai etika dan kemampuan berdebat secara elegan sudah menjadi barang langka saat ini. Jangankan pidato, tulisan-tulisan yang mempunyai “roh” sudah lenyap sama sekali. Dulu, pidato dan tulisan itulah yang mampu “meluruskan tulang yang bengkok”, “menguatkan yang lemah”, bahkan “membangkitkan orang yang mati” sehingga negara ini bisa merdeka tanpa punya modal apa-apa.

Bagaimana negara ini bisa maju kalau kaum akademisi tidak bisa menulis, membuat disertasi dan makalah. Coba periksa di Jurnal berskala internasional, berapa makalah, thesis atau disertasi berkelas internasional yang dibuat kaum akademisi Indonesia, sangat sangat sangat minim sekali. Kalau profesor sekelas rektor saja tidak mampu menulis jurnal berkelas internasional, bagaimana dengan mahasiswanya? Guru kencing berdiri murid kencing berlari!

Coba kita baca sebagian dari Thesis atau Disertasi akademisi, jangan coba-coba baca skripsi! Hanya berisi sekumpulan tulisan dan data-data tak bernyawa! Tidak mempunyai “roh” apalagi kalau dibandingkan dengan thesis atau disertasi kelas internasional. Kalau profesornya tidak mampu menulis dan hampir tidak pernah menulis, apa yang mau diharapkan dari mahasiswanya selain daripada berdemo dan membakar ban bekas!

Dijaman kolonial Kaum akademisi mendapat strata tertinggi dalam kelas masyarakat dan sangat dihormati Penjajah karena sikap dan intelektualitas mereka. Soekarno dan Hatta cuma S1. Akan tetapi pidato dan tulisan mereka mampu menyihir dan mengobarkan api yang tak pernah padam! Diantara kaum inlander proletar itu, kaum akademisi berdiri teguh sebagai pondasi dan pilar negara.

Kini kaum akademisi hanyalah inlander dengan gelar sarjana. Inlander itu selamanya akan tetap inlander. Akan tetapi kalau kampus bisa kembali seperti dijaman kolonial, berfungsi sebagai pondasi dan pilar negara, tidak mustahil akan mampu memerdekakan kaum inlander itu lepas dari penjajahan bangsanya sendiri dan benar benar menjadi manusia yang merdeka, manusia Indonesia sejati!

Reinhard Freddy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun