Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inlander, Rakyat yang Tidak Pernah Merdeka!

27 Mei 2016   19:26 Diperbarui: 27 Mei 2016   19:36 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

FB, MTV, Twitter,TV Cable, Apple, McD, KFC, AW, Sevel, Starbuck melahirkan Young generation “Caffe-society”. Netizen kemudian mengisolasi manusia dari lingkungannya, sekalipun mereka memiliki ribuan “followers atau friends”

The New Post-modern People itu mengejar “Hedonisme” dan “Fast-cash” untuk menunjang “life-stylenya” Konon dulu sebelum Kalijodoh digusur, cewe yang pegang Iphone lebih cepet “laku” dan lebih mahal daripada cewe yang pegang Mito!

Ngopi di Starbucks lebih “manusiawi” daripada “warkop” Mengapa begitu? Reformasi membuat orang lebih tertarik kepada “kulit” daripada “Isi”

Inlander inferior itu menutupi rasa rendah dirinya dengan “kulit” American Style, agar kelihatan terhormat dan tidak kelihatan bodoh! Kini para inlander memuja-muja “kulit” dan “melacurkan diri” demi Hedonisme dan kesenangan duniawi, karena itulah defenisi kebahagiaan bagi mereka!

Dijaman kolonial, Haji Agus Salim, sarungan sambil menghisap rokok kreteknya, duduk ngopi bersama meneer-meneer Belanda dengan Havana cigarnya. Dia tidak pernah merasa rendah diri atau minder, karena dia punya visi dan pemikiran yang dianggapnya melebihi mereka. Belanda-belanda itu sangat menghormatinya, dan mengabaikan sarung itu!

Dari sisi Internal. Walaupun sudah lama merdeka, inlander inferior itu membelenggu dirinya sendiri dijaman ORBA itu. Ketika Reformasi datang, euforia kebebasan itu meluap liar tidak terkendali, merubahnya seketika menjadi “binatang liar” yang siap menggigit orang yang dianggapnya mengganggu kebebasannya. Dimana-mana terjadi kekerasan dan kekasaran!

Gelombang reformasi seperti arus air bah yang tidak terkendali, ingin mereformasi semuanya. Bila perlu mie goreng, capcai, panci dan ember direformasi. Kenapa direformasi? Karena ini jaman Reformasi bodoh!! Kata mereka. Nanti semuanya bisa dibawa ke fraksi, dipansuskan, diparipurnakan lalu diamandemen. Nanti pasti ada saja yang tidak setuju? Lha itulah gunanya lobi-lobi politik, Karena ini jaman Reformasi!

Jaman Reformasi adalah jaman uang! Semuanya punya harga, dan semuanya bisa dibeli kalau ada uang. Mau nyalon anggota DPRD, DPR, DPD, Kepala Daerah, kepala Dinas, Membuka Lapak dagangan atau Areal Street-parking ada harganya, tidak ada yang gratis. Bahkan acara hiburan di televisi pun, penontonnya harus dibeli!

Dulu Soekarno-Hatta harus diculik dan dipaksa menjadi Presiden dan Wakil Presiden. kini untuk menjadi seorang calon Kepala Desa, orang harus rela menjual kerbau dan sawahnya dan bila perlu menghutang kepada rentenir, sekalipun tanpa ada kepastian bakal terpilih.

Jaman ini memang jaman edan! Sudah berpuluh-puluh orang Kepala Daerah atau anggota dewan yang terhormat masuk bui karena korupsi, belum terhitung ratusan “Balon” Kepala Daerah, DPR/DPRD yang jalannya “miring” karena stress duitnya raib tak berbekas, tetapi tidak menyurutkan “hasrat liar” para inlander tersebut untuk mencalonkan diri!

Alasan utama inlander-inlander itu mencalonkan diri, adalah “amanah rakyat” Mengapa kalimat sakti tersebut kerap dipakai? Jawabannya, karena mereka memang tidak mempunyai visi, integritas, kejujuran, kecakapan dan kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun