Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepenggal Cerita Reformasi

26 Mei 2016   19:15 Diperbarui: 26 Mei 2016   19:25 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: gurindamkehidupan.wordpress.com

Sejak era reformasi, kekerasan tidak pernah berhenti mengacak-acak negeri ini. 

Ini gara-gara orang-orang gagal paham soal persoalan negeri ini, atau berusaha memanfaatkan kenaifan warga negeri ini, terutama orang-orang poros tengah itu!

Seharusnya reformasi membabat habis Orba sampai ke akar-akarnya seperti yang dilakukan Orba terhadap Orla! Barulah negeri ini akan aman!

Seharusnya Orba itu di “Komuniskan, di-Hantukan dan di-petruskan!” Lalu mereka itu ditempatkan di pulau buru, menggantikan penghuni lama yang di rehabilitasi kembali.

Kalau sudah begini, mana ada yang berani bilang, “Hallo? Piye kabare? Penak jaman ku to lek? Kapok kowe!” Karena kalau sampai ada yang berani ngomong begitu di muka umum, sudah pastilah orang tersebut telah beberapakali gagal hendak bunuh diri!

Orang pun tidak berani lagi berbicara kasar dan arogan, karena pasti dianggap menyimpan “beringin” dirumahnya. Kalau ada hajatan atau acara kawinan, janurnya pasti di cat warna merah atau warna-warna lain, supaya kelihatan lebih “sopan” Siapa yang berani men-sweeping orang lain dijalanan? Pastilah tidak mungkin! Karena mereka itu pasti akan dikejar “polisi khusus” karena mereka akan dianggap “Hantu” lalu dimasukkan ke dalam botol! Nasib merekapun pastilah tidak jelas, karena wajah mereka hanya ada dalam lukisan sketsa di kanvas!

Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur! Dan semuanya sudah bercampur baur. Tak jelas siapa kawan siapa lawan. Tak tahu siapa pro dan kontra. Yang ada hanya kepentingan! Kalau kurang penting, acuhin saja. Kalau kepentingan berbeda, kita jadi musuhan. Tapi kalau kepentingan itu terasa sangat penting, kenapa tidak kita atur saja? Itu akan lebih afdol kalau kita satu tim!

Sumber foto: gurindamkehidupan.wordpress.com
Sumber foto: gurindamkehidupan.wordpress.com
Era reformasi adalah era kelam dalam sejarah idealisme anak manusia Indonesia, karena mereka kembali lagi ke era penjajahan Kolonialisme. Kalau dulu mereka dijajah meneer Belanda, kini mereka dijajah oleh “diri” mereka sendiri. “Diri” yang dulu bukan siapa-siapa itu, kini dengan garang dan sombongnya ingin menunjukkan kehebatannya kepada orang lain.

Apa sajakah yang dianggap hebat pada era reformasi ini? Hedonisme jelas telah merasuki warga negeri ini. Harta, jabatan dan populeritas adalah ukuran prestasi seseorang. Kini orang bergaya bak selebriti, termasuk yang dibidang agama dan pendidikan. Kini semua terasa menjemukan! Orang hanya berkata-kata tanpa berbicara. Mendengar tanpa menyimak. Melihat tanpa mengamati.

Lihat saja acara Debat atau talk-show di tv. Satu jam kita menonton acara tersebut, tetapi tetap gagal paham, topik apa sebenarnya yang sedang dibahas! Semua peserta berebut berbicara dengan nada tinggi. Moderator tidak mampu menjaga ritme debat, karena dia juga tidak mempunyai kapasitas yang cukup untuk mengupas topik yang dibahas. Setelah satu jam “berisik” ahirnya acara ditutup dengan bersalaman sambil cengengesan.

Pemirsa terkaget, acara rupanya telah selesai tanpa sebuah jawaban. Apa yang mau dijawab kalau pertanyaannya sendiri tidak dimengerti? Lah dari tadi itu ngapain? Tapi acara tadi itu ratingnya tinggi! Ntar di twitter orang-orang pada nanya ke host, potongan rambutnya cakep, itu baju beli dimana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun