Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepenggal Cerita Reformasi

26 Mei 2016   19:15 Diperbarui: 26 Mei 2016   19:25 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: gurindamkehidupan.wordpress.com

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (Bung Karno).

Disaat-saat ahir masa hidupnya, Soekarno mengalami penderitaan yang amat hebat, jauh melebihi penderitaan yang dialaminya dari Penjajah Belanda! Dari sejak muda, ia terbiasa di penjara dan dibuang ke seantero Nusantara. Tetapi ia selalu menganggap perjalanan buangan itu seperti “melancong” saja, karena ia tidak pernah kehilangan martabat dan pesona dirinya dihadapan para meneer Londo tersebut!

Buah pikiran dan tulisan “magic”nya justru banyak lahir dimasa-masa pembuangan tersebut. Dimana-mana tempat di pembuangan tersebut, ia selalu dihormati penduduk lokal maupun para penjaganya. Itulah salah satu yang membuatnya istimewa. Tidak ada yang ditakutinya di dunia ini, karena ia terlahir untuk menaklukkan dunia...

Akan tetapi diahir masa hidupnya tersebut, dia mengalami penghinaan yang teramat kejam. Ia dipenjara oleh “anaknya” sendiri, penghianat keji yang selalu bersembunyi dibalik tangan-tangan keji orang lain! Ahirnya dia takluk kepada takdir, karena tidak pernah ada seorang “Bapak” yang mampu membunuh anaknya sendiri...

**

Salah satu keberhasilan pembangunan pada masa Orba adalah Stabilitas Nasional. Dimulai dengan G30S/PKI dan pemusnahan Orla sampai ke akar-akarnya. Tidak ada ruang sedikitpun bahkan untuk bertanya apa itu Orla, karena Orla dan PKI sudah berubah menjadi “Hantu” atau “Virus HIV+Ebola” Kita harus takut, tetapi tidak tahu apa yang ditakutkan. komunis katanya sangat berbahaya, tapi tak berwujud! Itulah sebabnya harus takut karena tak berwujud!

“Penjaga Hantu” itu ahirnya harus lengser keprabon madeg pandhita juga. Sejarah Jawa selalu berulang. Apa yang dialami “bapak” harus dilalui anak! Dulu dia memang menghianati bapaknya. Tetapi dia melakukannya seorang diri saja, karena saudara yang lain sudah ditikamnya dari belakang! 

Kini dia seorang diri. kesepian dan terhina oleh “Anak-anak kucing kurap penghianat!”

Adakah yang lebih sakit dalam hidup ini selain dikhianati oleh anak-anak sendiri? Keroyokan lagi!

Senja berlalu, fajar menyingsing. Orba berlalu, reformasi menanti dengan harapan baru.

Tetapi harapan tinggal harapan. “Negeri” ini seperti berjalan ditempat, atau malahan berjalan mundur! Semua direformasi dan diamandemen! Kini ada ribuan Perda yang malahan membuat rakyat semakin sengsara, dan sengsara ini tidak membawa kenikmatan samasekali!

Sejak era reformasi, kekerasan tidak pernah berhenti mengacak-acak negeri ini. 

Ini gara-gara orang-orang gagal paham soal persoalan negeri ini, atau berusaha memanfaatkan kenaifan warga negeri ini, terutama orang-orang poros tengah itu!

Seharusnya reformasi membabat habis Orba sampai ke akar-akarnya seperti yang dilakukan Orba terhadap Orla! Barulah negeri ini akan aman!

Seharusnya Orba itu di “Komuniskan, di-Hantukan dan di-petruskan!” Lalu mereka itu ditempatkan di pulau buru, menggantikan penghuni lama yang di rehabilitasi kembali.

Kalau sudah begini, mana ada yang berani bilang, “Hallo? Piye kabare? Penak jaman ku to lek? Kapok kowe!” Karena kalau sampai ada yang berani ngomong begitu di muka umum, sudah pastilah orang tersebut telah beberapakali gagal hendak bunuh diri!

Orang pun tidak berani lagi berbicara kasar dan arogan, karena pasti dianggap menyimpan “beringin” dirumahnya. Kalau ada hajatan atau acara kawinan, janurnya pasti di cat warna merah atau warna-warna lain, supaya kelihatan lebih “sopan” Siapa yang berani men-sweeping orang lain dijalanan? Pastilah tidak mungkin! Karena mereka itu pasti akan dikejar “polisi khusus” karena mereka akan dianggap “Hantu” lalu dimasukkan ke dalam botol! Nasib merekapun pastilah tidak jelas, karena wajah mereka hanya ada dalam lukisan sketsa di kanvas!

Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur! Dan semuanya sudah bercampur baur. Tak jelas siapa kawan siapa lawan. Tak tahu siapa pro dan kontra. Yang ada hanya kepentingan! Kalau kurang penting, acuhin saja. Kalau kepentingan berbeda, kita jadi musuhan. Tapi kalau kepentingan itu terasa sangat penting, kenapa tidak kita atur saja? Itu akan lebih afdol kalau kita satu tim!

Era reformasi adalah era kelam dalam sejarah idealisme anak manusia Indonesia, karena mereka kembali lagi ke era penjajahan Kolonialisme. Kalau dulu mereka dijajah meneer Belanda, kini mereka dijajah oleh “diri” mereka sendiri. “Diri” yang dulu bukan siapa-siapa itu, kini dengan garang dan sombongnya ingin menunjukkan kehebatannya kepada orang lain.

Apa sajakah yang dianggap hebat pada era reformasi ini? Hedonisme jelas telah merasuki warga negeri ini. Harta, jabatan dan populeritas adalah ukuran prestasi seseorang. Kini orang bergaya bak selebriti, termasuk yang dibidang agama dan pendidikan. Kini semua terasa menjemukan! Orang hanya berkata-kata tanpa berbicara. Mendengar tanpa menyimak. Melihat tanpa mengamati.

Lihat saja acara Debat atau talk-show di tv. Satu jam kita menonton acara tersebut, tetapi tetap gagal paham, topik apa sebenarnya yang sedang dibahas! Semua peserta berebut berbicara dengan nada tinggi. Moderator tidak mampu menjaga ritme debat, karena dia juga tidak mempunyai kapasitas yang cukup untuk mengupas topik yang dibahas. Setelah satu jam “berisik” ahirnya acara ditutup dengan bersalaman sambil cengengesan.

Pemirsa terkaget, acara rupanya telah selesai tanpa sebuah jawaban. Apa yang mau dijawab kalau pertanyaannya sendiri tidak dimengerti? Lah dari tadi itu ngapain? Tapi acara tadi itu ratingnya tinggi! Ntar di twitter orang-orang pada nanya ke host, potongan rambutnya cakep, itu baju beli dimana?

Era reformasi memang begitu. Kemarin ada kehebohan di sosmed soal pemutaran film nasional.

Temanku berusaha berjuang keras agar dapat tiga kali menonton film tersebut, dan dia mengaku tetap gagal paham, mengapa film tersebut digandrungi orang-orang!

Peluncuran buku juga begitu. Belum apa-apa sudah habis, belinya harus rebutan! Tetapi aku sudah jungkir balik membacanya, termasuk mencoba membaca dari tengah balik ke depan, kemudian mencoba membaca pakai cermin, tetapi aku bernasib malang... aku tetap gagal paham mengapa buku ini digandrungi orang-orang!

Mungkin diperlukan satu era lagi agar negeri ini nyaman untuk ditinggali bersama tanpa rasa curiga.

Perasaan “Nalar” anak reformasi memang lebih rendah dari anak Orba, bahkan anak Orla! Tetapi anak reformasi “gaungnya” lebih kenceng karena mereka banyak bacot. Tong kosong memang nyaring bunyinya!

Reinhard Freddy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun